Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Emas Pecah Rekor, Tembus All-Time High USD3.400

Harga emas melambung mencapai rekor tertinggi (all-time high) di atas USD3.400 per ounce pada Senin, 21 April 2025 didorong oleh pelemahan dolar AS.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 22 April 2025 | Penulis: Syahrianto | Editor: Syahrianto
Emas Pecah Rekor, Tembus All-Time High USD3.400 Ilustrasi sebongkah emas batangan (Foto: Pexels/Michael Steinberg)

KABARBURSA.COM - Harga emas melambung mencapai rekor tertinggi (all-time high) di atas USD3.400 per ounce pada Senin, 21 April 2025 didorong oleh pelemahan dolar AS dan ketidakpastian terkait dampak ekonomi dari ketegangan perdagangan AS-China, yang memicu permintaan untuk emas sebagai investasi safe-haven.

Seperti dikutip dari Reuters, harga spot emas naik 2,7 persen menjadi USD3.417,62 per ounce dan sempat mencapai rekor tertinggi USD3.430,18 lebih awal dalam sesi perdagangan.

Dolar AS jatuh ke level terendah dalam tiga tahun, setelah kepercayaan investor terhadap perekonomian AS terpukul akibat komentar Presiden Donald Trump mengenai Ketua Federal Reserve Jerome Powell. Pelemahan dolar membuat emas lebih menarik bagi pemegang mata uang lain.

Terkait perang dagang, China menuduh Washington menyalahgunakan tarif dan memperingatkan negara-negara untuk tidak melakukan kesepakatan ekonomi yang lebih luas dengan AS yang merugikan mereka.

"Seiring ketegangan tarif yang terus meningkat, kami terus melihat harga emas naik sebagai respons safe-haven," kata David Meger, Direktur Perdagangan Logam di High Ridge Futures. "Akan ada penurunan harga dan pengambilan keuntungan pada beberapa waktu, tetapi kami tetap percaya bahwa tren dasar pasar ini bergerak ke arah stabil hingga naik."

Emas, yang dikenal sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian ekonomi dan aset yang sangat likuid, telah mencapai beberapa rekor tertinggi dan naik lebih dari USD700 sejak awal 2025. Emas bahkan melampaui USD3.300 pada hari Rabu minggu lalu, dan momentum kuatnya mendorong harga naik lagi sekitar USD100 hanya dalam beberapa hari.

"Pergerakan harga harian yang lebih besar dalam emas adalah petunjuk awal bahwa pasar bull yang sangat matang ini hampir mencapai puncaknya, dan puncak pasar dalam waktu dekat mungkin sudah dekat, lebih pada perspektif waktu daripada harga," kata Jim Wyckoff, Analis Senior di Kitco Metals.

Sementara itu, harga logam lainnya juga bergerak stabil, dengan perak (silver) bertahan di USD32,60 per ounce, platinum turun 0,6 persen menjadi USD961,61, dan palladium terkoreksi 3 persen menjadi USD934,25.

Saham di Wall Street Rontok 

Pasar saham Amerika Serikat ditutup merana pada Senin, 21 April 2025, setelah Donald Trump kembali melemparkan “bom” retoris ke arah Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell. Lewat unggahan panas di Truth Social, mantan Presiden AS itu menyebut Powell sebagai "Tuan Terlambat, si pecundang besar" dan mendesak pemangkasan suku bunga "SEKARANG JUGA." 

Serangan ini sontak mengguncang sentimen pelaku pasar yang tengah sensitif terhadap segala sinyal kebijakan moneter. Kekhawatiran pun merebak bahwa independensi The Fed, pilar penting stabilitas pasar, sedang berada dalam tekanan politik.

Seperti dilansir Reuters, reaksi pasar tak kalah dramatis. Ketiga indeks utama di Wall Street, Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq, kompak ambruk lebih dari 2 persen. Yang paling terpukul adalah kelompok saham megacap teknologi yang dikenal dengan julukan "Magnificent Seven," yang membebani kinerja Nasdaq. 

Saham-saham teknologi seperti Tesla dan Nvidia mengalami tekanan jual signifikan, mencerminkan ketegangan yang tak hanya datang dari ranah kebijakan moneter, tetapi juga dari dinamika geopolitik dan persaingan teknologi global.

Dow Jones Industrial Average ditutup melemah 971,82 poin atau 2,48 persen ke level 38.170,41, sementara S&P 500 terkoreksi 124,50 poin atau 2,36 persen ke 5.158,20. Nasdaq Composite, yang paling terpapar saham teknologi, ambles 415,55 poin atau 2,55 persen ke posisi 15.870,90. Kini, S&P 500 berada sekitar 16 persen di bawah rekor penutupan tertingginya pada 19 Februari. Jika koreksi terus berlanjut hingga mencapai 20 persen, maka indeks ini secara teknikal akan memasuki zona pasar bearish.

Di tengah kekacauan itu, muncul pula komentar yang lebih tenang namun sarat peringatan. “Negara-negara dengan bank sentral yang independen tumbuh lebih cepat, inflasinya lebih rendah; hasil ekonominya lebih baik bagi masyarakatnya,” ujar Jed Ellerbroek, manajer portofolio di Argent Capital Management, St. Louis. 

Ia menyebut upaya politisasi terhadap The Fed sebagai hal yang "sangat buruk dan sangat menakutkan bagi pasar."

Namun, problem bukan hanya datang dari dalam negeri. Di luar sana, ketegangan dagang antara AS dan China kembali mengencang. Beijing memperingatkan negara-negara lain agar tak menjalin kesepakatan dengan Washington yang bisa merugikan China, memicu kekhawatiran bahwa babak baru perang tarif bisa segera dimulai. 

"Perusahaan-perusahaan, tidak tahu harus bagaimana bersikap, masih menunggu kepastian tarif dari Amerika Serikat," lanjut Ellerbroek. 

"Yang bikin frustrasi adalah, ini seperti menyakiti diri sendiri; kita ada dalam situasi ini karena pilihan—pilihan dari pemerintahan ini," imbuhnya.

Di sisi lain, musim laporan keuangan kuartal pertama masih berlangsung panas. Dari 59 perusahaan S&P 500 yang telah melaporkan kinerja, 68 persen berhasil melampaui ekspektasi analis menurut data LSEG. Namun, ekspektasi secara keseluruhan justru terkikis. 

Awalnya analis memperkirakan pertumbuhan laba kuartalan sebesar 12,2 persen secara tahunan, namun kini hanya tinggal 8,1 persen. Investor akan mencermati lebih lanjut laporan dari perusahaan-perusahaan besar pekan ini, termasuk Tesla dan Alphabet dari kelompok Magnificent Seven, serta raksasa industri seperti Boeing, Northrop Grumman, Lockheed Martin, dan 3M. (*)