Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

RI tak Ambil Sikap Balasan di Tengah Perang Tarif AS-China

Kementerian Perdagangan menyatakan Indonesia tak akan ikut-ikutan balas tarif ke AS atau China. Sikap ini diambil untuk jaga keseimbangan di tengah tensi dagang global.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 21 April 2025 | Penulis: Dian Finka | Editor: Moh. Alpin Pulungan
RI tak Ambil Sikap Balasan di Tengah Perang Tarif AS-China Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono (kiri), memaparkan kebijakan tarif sektor industri Amerika Serikat dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin, 21 April 2025. Foto: KabarBursa/Dian Finka.

KABARBURSA.COM Di tengah ketegangan dagang global yang makin memanas, pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan ikut-ikutan mengambil langkah balasan terhadap negara mana pun — termasuk Amerika Serikat dan China.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono, menyatakan Indonesia justru memilih tetap tenang dan mempertahankan pendekatan diplomatik yang seimbang. Ia menegaskan posisi Indonesia sebagai salah satu negara terakhir yang belum menegosiasikan ulang tarif dengan AS merupakan bentuk komitmen untuk menjaga hubungan dagang jangka panjang.

“Jadi, kita tidak mengambil tindakan balasan, apapun termasuk dengan Amerika yang merupakan pusat pemerintah Indonesia,” ujar Djatmiko kepada media di Kantor Kementerian Perdagangan, di Jakarta, Senin, 21 April 2025.

Menanggapi potensi tekanan dari China akibat penundaan negosiasi tarif dengan AS, Djatmiko menilai relasi kedua negara tetap dijaga dengan prinsip saling menghormati. “Indonesia dan China memiliki komitmen bersama terhadap prinsip-prinsip multilateral. Kami tidak berspekulasi, tapi jika ada isu di lapangan, akan kami tangani melalui forum diplomasi dan negosiasi yang sesuai,” tegasnya.


China Siapkan Jurus Balasan Perang Dagang untuk AS

Sejak Presiden Donald Trump memulai perang dagang jilid satu beberapa tahun lalu, China diam-diam menyiapkan amunisi balasan. Kini, setelah tarif terbaru Amerika Serikat resmi berlaku tengah malam dengan lonjakan bea masuk hingga 125 persen terhadap semua produk asal China, Beijing tidak tinggal diam.
 
 Hari Rabu ini, pemerintah China mengumumkan akan menaikkan tarif balasan terhadap seluruh produk asal Amerika Serikat menjadi 84 persen. Tak hanya itu, enam perusahaan AS—termasuk perusahaan pertahanan dan dirgantara seperti Shield AI dan Sierra Nevada—masuk daftar hitam dagang. Belasan perusahaan lain, seperti American Photonics dan BRINC Drones, kena kontrol ekspor ketat.
 
 Jika Trump memilih tarif sebagai senjata andalan, maka strategi China lebih halus tapi mematikan. Mereka memanfaatkan kekuatan pasar domestik mereka sebagai alat tekanan. Target utamanya adalah perusahaan-perusahaan AS yang selama ini menikmati manisnya berbisnis di Negeri Tirai Bambu.

China telah menggunakan dan kemungkinan akan memperluas berbagai senjata ekonominya, dari pengendalian ekspor bahan baku penting untuk industri semikonduktor dan pertahanan, hingga investigasi regulasi yang membuat gentar korporasi Barat. Ditambah lagi, mereka siap menekan perusahaan AS agar menyerahkan hak kekayaan intelektual jika masih ingin menikmati akses ke pasar China.
 
Menurut Evan Medeiros, mantan pejabat keamanan nasional AS era Obama yang saat ini menjadi profesor di Universitas Georgetown, China secara sistematis telah merakit senjata baru untuk perang dagang. “(Ini) merugikan AS sebesar mungkin, tapi tetap menekan biaya untuk diri sendiri,” katanya, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta

Beijing tak hanya bertindak, tapi juga bersuara lantang. Kementerian Perdagangan China menyebut, “Jika AS tetap keras kepala, maka China siap bertarung hingga akhir.” Tarif tambahan yang ditandatangani Trump dalam masa jabatan keduanya ini membuat tarif rata-rata atas barang-barang China nyaris menyentuh 125 persen.
 
 Meski demikian, China masih membuka pintu negosiasi, asalkan dilakukan atas dasar kesetaraan, saling menghormati, dan resiprokal. Kementerian Luar Negeri China menegaskan akan mengambil langkah tegas untuk melindungi kepentingan nasional mereka.

Amerika Masih Butuh China dan Sebaliknya
 
Data tahun 2023 mencatat, Amerika justru masih mencatat surplus perdagangan jasa terhadap China sebesar USD26,6 miliar. Meski China mengekspor jauh lebih banyak ke AS daripada sebaliknya, Negeri Tirai Bambu tetap menjadi pembeli ketiga terbesar barang-barang buatan Amerika, terutama kedelai, pesawat, dan minyak bumi.
 
Namun tidak semua opsi akan langsung dikeluarkan oleh China. Misalnya, menurunkan nilai tukar yuan secara drastis atau menjual besar-besaran obligasi pemerintah AS yang mereka pegang. Langkah seperti itu justru bisa mengguncang stabilitas keuangan mereka sendiri dan kontraproduktif terhadap misi memperkuat hubungan dagang dengan negara lain.
 
Sebagai gantinya, China memilih memperluas pengaruh lewat jalur lain. Dalam beberapa pekan terakhir, pejabat China mulai intensif menjalin komunikasi dagang dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Kamboja, Laos, dan Thailand—sembari mendorong penggunaan yuan dalam transaksi internasional.

Dalam pertemuan dengan beberapa negara Asia Tenggara, pejabat China diam-diam menyampaikan satu pesan utama, yakni mereka ingin menjaga stabilitas nilai tukar yuan. Tujuannya adalah mengurangi dominasi dolar AS atau yang mereka sebut misi dedolarisasi dengan memperluas penggunaan yuan dalam transaksi dagang global.
 
 Di saat ketegangan antara Washington dan Beijing kian panas, setiap gebrakan tarif dari Presiden Trump selalu dibalas dengan reaksi keras dari kubu Xi Jinping. Harapan awal China untuk bisa berunding di periode kedua Trump kini berubah menjadi frustrasi dan kemarahan.
 
 Serangan balasan terbaru dari China menunjukkan bahwa Beijing kini makin fokus menargetkan perusahaan Amerika, khususnya yang bermain di sektor teknologi tinggi. Meski pertumbuhan ekonomi China belakangan melambat, daya tarik pasar domestik masih menjadi senjata utama untuk menekan perusahaan asing yang ingin terus menancapkan bisnisnya di sana.(*)