Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pengamat: Pungli dan Parkir Mahal, Biaya Logistik Naik

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 21 April 2025 | Penulis: Citra Dara Vresti Trisna | Editor: Citra Dara Vresti Trisna
Pengamat: Pungli dan Parkir Mahal, Biaya Logistik Naik Ilustrasi kemacetan di Tanjung Priok. (Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM – Pungutan-pungutan di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok disebut menjadi salah satu penyebab utama mahalnya biaya logistik di Indonesia. Tak hanya kemacetan panjang yang menyiksa sopir truk, biaya parkir sebesar Rp17.500 per sekali masuk disebut-sebut sebagai bentuk ekonomi biaya tinggi yang tidak jelas manfaatnya.

Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, menyebut bahwa biaya masuk pelabuhan yang dikenakan kepada truk logistik seharusnya tidak untuk tujuan komersial.

“Perparkiran adalah konsesi dari pemerintah. Biaya biaya semacam ini selain menyebabkan ekonomi biaya tinggi, hal ini juga tidak jelas maksud dan manfaatnya. Penarikan biaya pada ranah publik harus jelas peruntukan dan manfaatnya. Ruang publik bukan untuk sebagai ladang penghasil uang, tapi sudah ada aturannya,” ujar Djoko, Jumat, 18 April 2025.

Menurutnya, tidak mengherankan jika biaya logistik di Indonesia termasuk tinggi. Tingginya biaya logistik, kata dia, tidak lepas dari penerapan kebijakan yang keliru oleh pemerintah.

Ia mengungapkan, jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, ongkos produksi barang di Indonesia jauh lebih mahal.

Selain faktor logistik, biaya perizinan yang rumit dan tarif tinggi juga turut membebani. Belum lagi, pelaku usaha masih harus menghadapi pungutan dari oknum Aparat Penegak Hukum (APH) serta praktik premanisme yang makin merajalela.

Beragam biaya tambahan ini menjadi beban serius yang menyebabkan daya saing nasional terus tergerus. Kebijakan yang ada pun sering tidak berpihak pada pelaku lokal.

Djoko menilai, kondisi ekonomi berbiaya tinggi mencerminkan kegagalan dalam pengambilan keputusan di tingkat kebijakan. Saat masa angkutan Lebaran, pembatasan aktivitas logistik diberlakukan terlalu lama, mencapai 16 hari. Padahal, idealnya pembatasan operasional angkutan logistik tidak melebihi lima hari.

Akibatnya, kegiatan bongkar muat di pelabuhan mengalami penumpukan hingga terganggu. Kondisi seperti ini dikhawatirkan akan menjadi penghambat laju pertumbuhan ekonomi, mengingat kelancaran distribusi logistik merupakan salah satu indikator utama dalam menjaga perputaran ekonomi nasional.

Jadi Pelajaran untuk Pemerintah

Kemacetan parah yang terjadi belakangan ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi semua pihak agar mulai memprioritaskan angkutan barang berbasis rel dibandingkan moda jalan raya.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, jaringan rel sudah terkoneksi langsung dengan dermaga. Tujuannya jelas, untuk memastikan kelancaran distribusi barang. Sayangnya, saat ini hampir seluruh jaringan tersebut telah terputus. Hanya tersisa di Pelabuhan Tanjung Intan, Cilacap.

Pada era Belanda, sejumlah pelabuhan seperti Pelabuhan Belawan (Medan), Teluk Bayur (Padang), Panjang (Lampung), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Emas (Semarang), Juwana (Pati), dan Tanjung Perak (Surabaya) telah dilengkapi dengan jalur rel dan kawasan buffer zone. Namun kini, banyak dari area penyangga tersebut telah beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman maupun perumahan.

Karena itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang telah diterapkan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Jangan sampai kesalahan kebijakan kembali merugikan banyak pihak dan pada akhirnya berdampak negatif terhadap perekonomian negara yang gagal mencapai target pertumbuhan.

Kemacetan Terparah

Djoko menilai, kemacetan parah terjadi di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Kamis, 17 April 2025, dan disebut-sebut sebagai salah satu kemacetan terburuk yang pernah terjadi. 

Menurutnya, situasi seperti ini bukanlah hal baru di area pelabuhan tersebut. Sementara bagi para sopir truk, kemacetan sudah menjadi bagian dari rutinitas. Sejak malam Kamis hingga pagi Jumat, antrean kendaraan mengular hingga sepanjang 8 kilometer, mulai dari kawasan Sungai Bambu hingga gerbang Pelabuhan Tanjung Priok.

Saat ini, akses menuju Pelabuhan Tanjung Priok sepenuhnya bergantung pada jalur jalan raya. Sementara itu, penggunaan jalur rel sudah semakin jarang karena dianggap kurang efisien dan biayanya lebih tinggi.

Transportasi via rel lebih mahal karena masih menggunakan bahan bakar non-subsidi, terkena PPN sebesar 11 persen, serta dikenakan biaya akses rel (track access charge/TAC).

Mengutip, Rodrigue dan Comtois (2006), moda transportasi jalan lebih ekonomis jika digunakan untuk jarak pendek (kurang dari 500 km). Sementara itu, kereta api lebih efisien pada jarak menengah (antara 500–1.500 km), dan untuk jarak di atas 1.500 km, moda laut menjadi pilihan yang paling hemat biaya.

Berbeda dengan bandara yang memiliki pedoman (guidelines) dalam menentukan kapasitas, sektor pelabuhan laut belum memiliki acuan serupa dalam menghitung kapasitas pelabuhan (port capacity).

Di Pelabuhan Tanjung Priok, pengembangan lebih difokuskan pada sisi laut, sementara kapasitas sisi darat cenderung terabaikan. Dalam penentuan kapasitas, seharusnya diperhitungkan pula ketersediaan area parkir untuk truk, fasilitas toilet, dan fasilitas penunjang lainnya. Justru kapasitas terkecil dari seluruh elemen itulah yang harus dijadikan acuan utama.

“Jika aspek-aspek dasar ini terus diabaikan, maka kemacetan di kawasan pelabuhan akan terus berulang. Penataan ulang kawasan Pelabuhan Tanjung Priok menjadi sangat penting, termasuk pembentukan area penyangga (buffer zone) antara pelabuhan dan lingkungan sekitar seperti pemukiman atau pusat pertokoan,” ujarnya.

Area buffer ini seharusnya memiliki jarak minimal 1 kilometer dan bebas dari bangunan. Idealnya, kita kembali mengikuti tata letak pelabuhan di era Hindia Belanda, di mana batas pelabuhan ditetapkan dari Cempaka Mas hingga ke arah timur.(*)