Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Rapuhnya Sistem OJK dalam Menjaga Hak Nasabah Bank MAS

Seorang mantan direktur perusahaan kehilangan dua rumah dan satu apartemen setelah data utangnya tidak lagi tercatat di SLIK OJK. Kasus ini menguji integritas sistem pengawasan dan perlindungan konsumen di sektor keuangan.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 21 April 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Pramirvan Datu
Rapuhnya Sistem OJK dalam Menjaga Hak Nasabah Bank MAS Seorang pejalan kaki melintas di depan kantor pusat PT Bank Multiartha Sentosa Tbk (MASB) di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 14 April 2025. Foto: KabarBursa/Alpin Pulungan.

KABARBURSA.COM - Petang itu, Riska datang membawa dua bungkus es cincau. Ia menyodorkannya kepada KabarBursa dengan senyum kecil, lalu duduk di kursi sofa sederhana di depan kantor media ini di kawasan Mega Kuningan, Selasa, 25 Maret 2025. "Ini bikinan suami saya sendiri," katanya kepada KabarBursa.com.

Hari itu masih Ramadan dan ia ingin memberi kudapan untuk berbuka. Tapi lebih dari itu, ia membawa cerita getir tentang perjuangan keluarganya—tentang bagaimana dua rumah dan satu apartemen hilang di tengah ketidakjelasan status utang yang dalam catatan negara telah nihil, tapi tetap dipersoalkan oleh bank.

Bambang Heryono, suami Riska, kini berjualan es cincau tak jauh dari The Bellagio Mall, Mega Kuningan. Dahulu, ia adalah pendiri dan direktur PT Mitramed Farma Utama, perusahaan distribusi alat kesehatan. Pada 2014, Bambang mengajukan pinjaman modal kerja sebesar Rp16,2 miliar kepada PT Bank Multiartha Sentosa Tbk (MASB) atau biasa dikenal sebagai Bank MAS, dengan jaminan dua unit rumah dan satu apartemen.

Di tahun-tahun awal, cicilan berjalan lancar, dan usahanya berkembang. Namun pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Penjualan anjlok, arus kas tersendat, dan bisnis yang dulu stabil nyaris lumpuh total. Bambang tak tinggal diam. Ia mencoba segala cara untuk bertahan, termasuk menjual aset pribadinya.

Pada 2022, ia melepas sebuah rumah di kawasan Kota Wisata Cibubur senilai Rp1,25 miliar untuk memperkecil beban utangnya. Dari penjualan itu, Bambang membayar sebagian utang perusahannya sebesar Rp1,19 miliar atau lebih tepatnya Rp1.119.378.391,64. Selain itu, keluarga Bambang juga berencana menjual rumah utama mereka di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, untuk menyelesaikan seluruh kewajiban.

"Saya sudah beritikad baik untuk menyelesaikan hutang, salah satunya dengan menjual aset saya di Jalan Ubud Nomor 8, Kuningan Timur, dengan harga di bawah pasar," tulis Bambang dalam surat pernyataannya kepada KabarBursa.com di Jakarta, Selasa 18 Maret 2025.

Upaya itu membuat keluarga Bambang berharap bisa menyelesaikan sisa kewajiban mereka secara terhormat. Untuk memastikan status utang, mereka melakukan pengecekan ke Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2023. Hasilnya mengejutkan: baki debet tercatat nol. Tidak ada sisa tagihan. Tidak ada utang berjalan.

Rumah di Jalan Ubud Nomor 8, Kuningan Timur, menjadi tumpuan harapan terakhir keluarga Bambang. Mereka berencana melepas rumah itu untuk melunasi seluruh kewajiban kepada Bank MAS. Calon pembeli pun sudah datang dan kedua pihak bernegosiasi hingga menyepakati harga final Rp18,5 miliar.

Harga itu disepakati meski lebih rendah dari nilai NJOP 2024 yang tercatat Rp19,5 miliar. Bagi Bambang, melepas rumah di bawah harga pasar bukan soal untung atau rugi—melainkan bentuk itikad untuk menyelesaikan kewajiban dengan cara yang bermartabat.

"Harga ini jelas di bawah harga pasar, tapi karena kami beritikad baik untuk menyelesaikan hutang kami kepada Bank Multiartha Sentosa, maka kami menyetujui nilai harga itu," kata Bambang.

Calon pembeli sudah bersiap untuk transaksi. Namun, proses itu bergantung pada satu hal, yakni konfirmasi angka tagihan resmi dari Bank MAS. Bambang dan Riska berkali-kali meminta bank menyampaikan rincian utang terakhir secara tertulis. Tapi jawaban yang diharapkan tak kunjung datang.

Yang muncul justru angka mengejutkan. Tiba-tiba, Bank MAS menyebut angka tagihan mereka menjadi Rp29 miliar—hampir dua kali lipat dari nilai kesepakatan jual beli rumah. Angka itu pun, menurut Bambang, tak pernah disampaikan secara resmi ke OJK. Mereka menyebut Bank MAS hanya memberikan perincian utang secara internal—termasuk biaya, bunga, dan denda—namun tidak mencatatkan informasi tersebut ke dalam sistem SLIK OJK. Padahal, sistem inilah yang selama ini menjadi acuan resmi kondisi kredit debitur.

Kesepakatan transaksi rumah pun urung. Calon pembeli mundur. Rumah gagal terjual.

Perjalanan utang Bambang dan Riska.
Bank yang Melelang, Bank yang Membeli

Beberapa hari setelah kesepakatan itu batal, datang kabar lain yang lebih pahit. Melalui seorang agen properti yang membantu proses penjualan, Bambang mendapat informasi bahwa dua aset miliknya—rumah di Jalan Ubud dan satu unit apartemen di Bellagio Residence—sudah masuk dalam daftar lelang.

Nilai buka penawaran untuk rumah di Jalan Ubud ditetapkan sebesar Rp16,5 miliar. Sementara apartemen di Bellagio dilepas mulai dari Rp1,6 miliar. Harga ini bahkan lebih rendah dari nilai negosiasi yang sebelumnya disepakati Bambang dengan calon pembelinya.

Lebih mengejutkan lagi, menurut informasi yang diterima Bambang, pemenang lelang rumah tersebut bukan pembeli umum, melainkan perwakilan dari bagian hukum internal Bank MAS sendiri. Seolah-olah rumah itu "dilepas" hanya untuk kembali dikuasai pihak bank.

Menurut penasihat hukum Bambang, Erick, hal ini menimbulkan dugaan kuat adanya abuse of power dalam proses lelang. Di sisi lain, keluarga Bambang berkali-kali meminta kejelasan angka utang kepada bank. Namun menurut Erick, tidak satu pun dari permintaan itu ditindaklanjuti secara tertulis. "Kalau sudah diingatkan berkali-kali dan tetap tidak diperbaiki, itu bukan kelalaian lagi. Itu sudah dugaan kuat ada pelanggaran," ujarnya kepada KabarBursa.com.

Ia juga menyoroti hasil pengecekan ke SLIK OJK yang dilakukan pada 2023 dan menunjukkan bahwa sisa utang Bambang telah nihil. “Kalau seseorang cek data di SLIK dan saldo utangnya nol, itu artinya sudah tidak ada lagi kewajiban. Kalau tiba-tiba rumah tetap dilelang, ada yang harus dipertanyakan,” katanya.

Setelah rumah dan apartemen mereka dilelang tanpa kejelasan rincian utang, Bambang dan Riska tak tinggal diam. Merasa diperlakukan tidak adil, mereka mulai menempuh jalur resmi untuk mencari keadilan.

Langkah pertama yang mereka ambil adalah melaporkan kasus ini ke OJK. Bambang menyusun surat keberatan, lengkap dengan dokumen hasil pengecekan SLIK OJK yang menunjukkan baki debet Rp0, korespondensi dengan pihak bank, serta kronologi utuh perjalanan utang mereka.

Laporan itu juga mereka tembuskan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi XI DPR RI, yang secara kelembagaan bertanggung jawab atas pengawasan sektor jasa keuangan.

Pada 28 April 2025, Bambang juga mengirimkan surat resmi ke Komisi XI DPR RI. Dalam surat tersebut, ia menegaskan penolakan atas penyelesaian yang ditawarkan oleh Bank MAS dan meminta DPR untuk mengawasi kasus ini secara lebih mendalam. Bambang berharap, pengawasan dari parlemen dapat mencegah terjadinya praktik serupa terhadap nasabah lain di masa depan.

Dalam pernyataannya kepada KabarBursa.com, Bambang menegaskan bahwa upaya ini bukan sekadar untuk memperjuangkan hak pribadi. "Saya berharap pemerintah melalui OJK dan DPR turun tangan, bukan hanya untuk diri saya, tetapi untuk mencegah kerugian debitur lain di masa depan," ujarnya.

SLIK OJK vs Realitas Lelang. Infografis dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

Selain meminta perhatian dari lembaga negara, Bambang juga mengajukan alternatif solusi kepada Bank MAS. Ia menawarkan dua opsi: bank bisa membeli kembali aset yang telah dilelang lalu mengembalikannya kepada debitur, atau menyediakan aset pengganti dengan nilai setara atau lebih tinggi.

Bagi Bambang, perjuangan ini bukan hanya soal nominal kerugian. Ini tentang mempertahankan prinsip keadilan yang—dalam pandangannya—telah diabaikan oleh sistem.

KabarBursa telah mengirimkan surat resmi permintaan konfirmasi kepada PT Bank Multiartha Sentosa Tbk (MASB), baik dalam bentuk fisik yang diantarkan langsung ke kantor pusat di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, maupun melalui email resmi ke alamat Corporate Secretary Bank MAS. Surat tersebut berisi permintaan klarifikasi seputar proses lelang, pelaporan data SLIK, dan prosedur penyelesaian utang Bambang Heryono.

Selain itu, KabarBursa juga telah meneruskan laporan debitur secara langsung kepada Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku PUJK, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK yang juga Komisioner lembaga tersebut. Laporan itu dilengkapi dengan bukti pengecekan SLIK, surat korespondensi, dan dokumen pengaduan yang sebelumnya telah diajukan pihak debitur ke OJK.

Hingga berita ini diturunkan, baik pihak Bank MAS maupun OJK belum memberikan tanggapan resmi atas permintaan klarifikasi yang diajukan KabarBursa.

Kisah Bambang dan Riska bukan sekadar cerita tentang rumah yang hilang atau angka utang yang mendadak nihil di sistem negara. Ini adalah potret kecil tentang bagaimana sistem lembaga keuangan bisa kehilangan fungsi dasarnya dalam melindungi konsumen.

SLIK OJK yang selama ini digadang sebagai fondasi transparansi keuangan nasional, terbukti menyimpan celah. Kasus ini menimbulkan tanda tanya penting, jika satu entri nol bisa diabaikan begitu saja oleh perbankan, lalu untuk siapa data itu disusun? Jika rumah bisa dilelang tanpa kejelasan tagihan, lalu siapa yang seharusnya bertanggung jawab?(*)