KABARBURSA.COM – Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai kebijakan proteksionis Amerika Serikat yang berpotensi menghambat arus ekspor tidak akan memberikan tekanan besar terhadap perekonomian Indonesia.
Menurut Fahmy, porsi ekspor Indonesia ke AS relatif kecil dibanding negara tujuan ekspor lainnya.
“Ekspor kita ke Amerika itu hanya sekitar 10 sampai 20 persen. Sementara 80 persen lainnya ke Asia, Jepang, dan Eropa,” ujar Fahmy kepada KabarBursa.com di Jakarta, Minggu, 20 April 2025.
Ia menilai, jika skenario terburuk terjadi, seperti kenaikan tarif impor tinggi oleh AS, dampaknya masih dapat ditoleransi.
“Kalau misalnya Indonesia dikenakan tarif tinggi, sejujurnya tidak terlalu berpengaruh. Karena ekspor ke AS porsinya kecil,” jelasnya.
Sebagai langkah antisipatif, Fahmy mendorong pemerintah untuk memperluas pasar ekspor non-AS dan memperkuat permintaan domestik. “Pasar lain yang sudah jadi tujuan ekspor bisa digarap lebih serius. Termasuk membuka pasar baru,” katanya.
Ia menambahkan, beberapa produk ekspor seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik dapat diarahkan ke pasar dalam negeri. Namun, ia mengakui pasar domestik masih sulit bersaing dengan produk impor, terutama dari China.
“Produk lokal masih kalah bersaing karena barang dari China masuk legal maupun ilegal. Ini perlu dibenahi. Bisa lewat kuota impor dari China, atau penindakan tegas impor ilegal,” ungkapnya.
Fahmy menegaskan, jika strategi diversifikasi pasar berjalan optimal, maka industri dalam negeri tidak akan terpukul, bahkan bisa tumbuh.
“Kalau ini dilakukan, ekspor tetap berjalan, pasar dalam negeri juga tumbuh. Jadi tidak akan membangkrutkan industri kita,” tutupnya.
RI Balas AS Lewat Hilirisasi
Sebelumnya diberitakan Kabarbursa.com, Bahlil menanggapi santai kebijakan AS yang menaikkan tarif impor terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Menurutnya, langkah ini bukan sesuatu yang perlu ditanggapi secara reaktif, tetapi justru menjadi momentum untuk memperkuat strategi ekonomi nasional melalui hilirisasi dan optimalisasi sektor energi.
“Kita tahu, dalam 1-2 minggu terakhir ini hampir setiap hari kita membaca berita soal kenaikan tarif perdagangan oleh Amerika. Dan Indonesia termasuk yang dikenakan tarif sebesar 32 persen. Tapi saya bilang, ini biasa aja. Jangan ditanggapi seperti dunia mau kiamat,” ujar Bahlil.
Menurut Bahlil, strategi seperti ini sudah menjadi pola lama dalam diplomasi perdagangan global.
“Kalau kita ingin ajak orang kompromi tapi dia enggak mau datang, ya kita bikin gerakan tambahan. Itu yang dilakukan Amerika sekarang. Dan itu sah-sah saja,” katanya.
Bahlil menyebut bahwa berdasarkan data BPS yang sudah dikonfirmasi ke Kementerian Perdagangan, neraca dagang Indonesia terhadap Amerika masih defisit sekitar USD14,6 miliar pada tahun 2024.
Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi penyeimbang untuk memperkecil defisit tersebut. Salah satunya melalui sektor ESDM.
“Kami sudah lapor ke Presiden. Kita bisa geser dari sektor ESDM untuk menambah devisa 10 sampai 14 miliar USD, salah satunya dari pembelian LPG dan cloth dari Amerika,” aku Bahlil.
Lebih lanjut, strategi ini bisa dilakukan tanpa harus mengubah regulasi fundamental yang sudah baik, termasuk kebijakan hilirisasi dan industrialisasi.
Menteri ESDM ini juga merespons wacana menjadikan mineral kritis Indonesia sebagai alat tawar dalam kerja sama dagang dengan Amerika. Menurutnya, ini bukan ancaman, tapi peluang.
“Kita harus membuka diri. Critical mineral bukan alat tekanan, tapi bisa jadi bagian dari kerja sama bilateral kita. Kita senang kalau bisa membawa mineral itu ke meja dialog internasional,” jelasnya.
Bagian Dari Strategi Diversifikasi
Pemerintah Indonesia mengambil langkah proaktif untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar ekspor Amerika Serikat dengan mempercepat penjajakan dan penyelesaian perjanjian dagang dengan berbagai mitra strategis lainnya. Langkah ini menjadi bagian dari strategi diversifikasi ekspor di tengah ketidakpastian negosiasi dagang dengan Amerika Serikat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa kontribusi ekspor Indonesia ke Amerika Serikat saat ini hanya sekitar 10 persen. Meski demikian, langkah diversifikasi tetap diperlukan guna mengantisipasi dampak dari potensi kenaikan tarif.
“Terkait dengan pasar ekspor, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat saat ini mencapai 10 persen. Oleh karena itu, kita juga menjajaki kerja sama dengan mitra dagang lainnya,” ujar Airlangga dalam konferensi pers daring, dikutip Jakarta, Sabtu, 19 April 2025.
Salah satu fokus utama pemerintah adalah percepatan penyelesaian perjanjian dagang antara Indonesia dan Uni Eropa, atau European Union–Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU–CEPA). Selain itu, Indonesia juga menargetkan penyelesaian kerja sama dengan kawasan Eurasia pada bulan Juni mendatang.
“Dalam pembicaraan dengan Menteri Perdagangan Australia, Australia menyatakan kesediaannya untuk menyerap lebih banyak produk dari Indonesia,” tambahnya.
Langkah strategis lainnya adalah mendorong percepatan aksesi Indonesia ke dalam Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP), yang akan membuka akses ke pasar baru seperti Meksiko, Inggris, dan beberapa negara Amerika Latin.
“Indonesia juga mendorong percepatan aksesi ke dalam CPTPP, karena dengan bergabung dalam perjanjian tersebut, pasar Meksiko dan Inggris akan terbuka, serta beberapa negara di Amerika Latin lainnya,” jelas Airlangga.
Kendati pemerintah mulai memperluas pasar ekspor, Airlangga tetap optimistis terhadap hasil akhir negosiasi dagang dengan Amerika Serikat yang akan berlangsung selama 60 hari. Pemerintah berharap, melalui jalur diplomasi dan negosiasi teknis, Indonesia bisa mendapatkan perlakuan tarif yang lebih adil.(*)