KABARBURSA.COM – Pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan strategi perlindungan terhadap sektor industri nasional yang berpotensi terdampak langsung oleh ketegangan dagang dan pemberlakuan tarif tinggi, terutama dalam konteks hubungan ekonomi dengan Amerika Serikat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan bahwa fokus utama pemerintah dalam kerja sama bilateral dengan Amerika Serikat adalah menjaga keberlangsungan sektor-sektor industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Langkah ini dianggap penting untuk mengantisipasi dampak lanjutan dari perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang bisa berimbas pada Indonesia.
“Dalam kerja sama bilateral ini, perhatian utama diberikan pada sektor-sektor yang menciptakan banyak lapangan kerja, seperti sektor garmen, alas kaki, furnitur, dan perikanan. Selain itu, juga dibahas sektor elektronik,” ujar Airlangga dalam konferensi pers daring di Jakarta, dikutip Sabtu, 19 April 2025.
Airlangga mengungkapkan bahwa sebagian produk elektronik Indonesia telah mendapatkan pembebasan tarif dari Amerika Serikat, seperti handphone (HP) dan semikonduktor. Namun, masih banyak produk lain yang belum mendapatkan perlakuan serupa, khususnya elektronik konsumsi seperti peralatan rumah tangga.
“Kemarin, ada beberapa produk elektronik yang sudah dibebaskan dari tarif, sementara yang lainnya belum. Kita meminta agar seluruh produk elektronik mendapatkan perlakuan yang sama. Sebagai contoh, HP sudah dibebaskan dari tarif, begitu pula semikonduktor. Namun, belum semua barang elektronik konsumsi, termasuk peralatan rumah tangga (home appliance), mendapatkan perlakuan serupa. Ini yang kita dorong agar mendapatkan perlakuan yang setara,” jelasnya.
Pemerintah juga tengah mendorong penyusunan kerangka kerja sama yang lebih kuat melalui skema kemitraan ekonomi atau economic partnership, untuk menyelesaikan persoalan harmonisasi tarif secara menyeluruh. Menurut Airlangga, harmonisasi ini penting tidak hanya untuk menjaga daya saing produk nasional, tetapi juga memperkuat posisi ekspor Indonesia di pasar Amerika.
“Indonesia sendiri mendorong agar kerangka kerja sama economic partnership dapat menyelesaikan harmonisasi tarif, baik yang diterapkan terhadap Indonesia maupun yang diberlakukan Indonesia terhadap Amerika,” ujarnya.
Pemerintah Siapkan Paket Ekonomi untuk Industri Padat Karya dan Udang
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu, menambahkan bahwa paket deregulasi yang komprehensif akan segera dikeluarkan. Fokus utama adalah pada sektor-sektor yang terimbas langsung oleh tarif tambahan, seperti industri padat karya dan industri udang.
“Kalau tadi ditanyakan apakah ada paket-paket ekonomi yang akan dikeluarkan oleh pemerintah dalam menghadapi perang tarif, tadi Pak Menko sudah menjelaskan bahwa akan ada paket deregulasi yang komprehensif. Namun, khusus untuk beberapa sektor yang akan terkena dampak, terutama dari perang tarif ini, seperti industri padat karya dan juga industri udang, saat ini sedang dipelajari langkah-langkah spesifik apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi tantangan yang dihadapi sektor-sektor tersebut,” kata Mari dalam konferensi pers daring, Jumat, 18 April 2025.
Lebih lanjut, Pangestu menjelaskan bahwa pemerintah juga telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Tenaga Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang akan bertugas mengantisipasi dampak dari perang tarif terhadap ketenagakerjaan di sektor-sektor yang paling terdampak.
“Pak Menko juga telah membentuk Satgas Tenaga Kerja dan PHK yang bertugas mengantisipasi dampak dari perang tarif terhadap ketenagakerjaan. Sementara itu, kita masih berada dalam tahap negosiasi dan belum dapat dipastikan apa yang akan terjadi dalam 30–60 hari ke depan,” tambah Mari.
Tingkat Komponen Dalam Negeri
Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) mengkritisi rencana pemerintah untuk merelaksasi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), khususnya pada produk besi, baja, dan pipa untuk sektor infrastruktur. Kebijakan ini dinilai berisiko menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produk asing dan mematikan industri dalam negeri.
Isu ini mencuat usai Presiden Prabowo Subianto memerintahkan agar regulasi TKDN dibuat lebih fleksibel dan realistis. Langkah tersebut diklaim untuk menjaga daya saing industri nasional di tengah tekanan global, termasuk dari Amerika Serikat (AS).
Diketahui, pelonggaran aturan TKDN diduga menjadi bagian dari respons pemerintah terhadap kebijakan tarif resiprokal dari AS. Negeri Paman Sam sebelumnya mengenakan bea masuk hingga 32 persen untuk produk dari Indonesia dan meminta agar aturan TKDN disesuaikan dalam kerangka negosiasi perdagangan bilateral.
Sekretaris Jenderal Gapensi, La Ode Safiul Akbar, menyampaikan kekhawatirannya jika kebijakan relaksasi TKDN tetap diberlakukan. Ia menilai hal tersebut berpotensi menjadikan Indonesia hanya sebagai negara konsumen dan mengancam kelangsungan industri nasional, khususnya pada sektor besi, baja, dan pipa infrastruktur.
“Ujungnya nanti, jika industri di dalam negeri tidak bergerak karena dihimpit oleh produk impor, sudah dipastikan PHK besar-besaran akan kembali terjadi. Saat ini saja, angka pengangguran kita sudah cukup tinggi. Karena, hampir semua pabrik bisa terkena dampaknya,” tutur La Ode dalam keterangannya di Jakarta, Selasa 15 April 2025.
Lebih lanjut, La Ode berharap TKDN tidak dihapuskan. Menurutnya, kebijakan tersebut penting untuk menjaga daya saing Indonesia di pasar global serta melindungi industri nasional dari gempuran produk asing.
“Akibatnya, kita hanya akan menjadi negara konsumen dan semakin bergantung pada barang-barang impor. Padahal, jika kita menggunakan produk dalam negeri, kita bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, karena industri di dalam negeri bergerak. Keberadaan TKDN itu sudah seharusnya ada untuk melindungi industri di dalam negeri,” ucapnya.
La Ode menilai pemerintah seharusnya menunjukkan komitmen terhadap penguatan TKDN sebagai bagian dari upaya mendorong kemandirian industri nasional. Ia menyarankan agar pemerintah memberikan insentif bagi pelaku industri lokal, mempermudah akses pembiayaan dan teknologi, serta mengawasi pelaksanaan TKDN secara tegas dan transparan.
“Dengan komitmen kuat dari pemerintah dalam mengawal produk TKDN, dapat membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya dan mendorong pertumbuhan ekonomi 8 persen,” pungkas La Ode.
Saat ini, pemerintah menetapkan batas minimal TKDN sebesar 25 persen dengan syarat Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) minimal 40 persen. Kebijakan ini merupakan bagian dari program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) yang bertujuan mendorong industri lokal.
Di sisi lain, Presiden Prabowo meminta agar kebijakan TKDN tidak dibebankan secara kaku kepada pelaku industri, melainkan disesuaikan dengan kapasitas nasional.
“Tolong diubah itu, TKDN dibikin yang realistis saja. Masalah kemampuan dalam negeri, konten dalam negeri itu adalah masalah luas, itu masalah pendidikan, iptek, sains. Jadi itu masalah, nggak bisa kita dengan cara bikin regulasi TKDN naik,” tegas Presiden.
(*)