Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

RI Intai Peluang dari Ketegangan Tarif AS-China

Sejumlah sektor sudah mulai mengalami pergeseran lokasi produksi sejak sebelum 2 April 2025.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 20 April 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Yunila Wati
RI Intai Peluang dari Ketegangan Tarif AS-China Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu.

KABARBURSA.COM – Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China tak hanya menimbulkan kekhawatiran, tetapi juga membuka celah peluang strategis bagi Indonesia. Pemerintah kini menatap relokasi industri dan diversifikasi rantai pasok global sebagai momentum untuk memperkuat sektor padat karya sekaligus memperluas posisi Indonesia dalam peta perdagangan internasional.

Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu, menjelaskan bahwa sejumlah sektor sudah mulai mengalami pergeseran lokasi produksi sejak sebelum 2 April 2025, yakni sebelum pengumuman tarif tambahan oleh Amerika Serikat terhadap produk asal China. Pergeseran ini membuka ruang bagi Indonesia untuk menangkap peluang relokasi industri dari negara-negara yang terdampak.

“Sebetulnya, proses itu sudah mulai terjadi sejak sebelum 2 April 2025, di mana beberapa sektor mulai mencari lokasi baru untuk melakukan produksi maupun ekspor ke Amerika, seperti sektor garmen, alas kaki, dan sektor-sektor padat karya lainnya,” kata Mari dalam konferensi pers virtual, dikutip Sabtu, 19 April 2025.

Menurut Mari, pemerintah telah lebih dulu menyiapkan strategi guna menyambut gelombang relokasi tersebut. 

“Pemerintah pun, bahkan sebelum 2 April, telah memiliki program untuk revitalisasi sektor padat karya dalam rangka menangkap peluang relokasi ini. Upaya tersebut juga mencakup fasilitasi terhadap investasi yang akan masuk ke sektor-sektor tersebut,” jelasnya.

Di samping industri padat karya, Mari juga menyoroti potensi Indonesia untuk masuk ke dua sektor strategis yang masuk dalam isu keamanan nasional Amerika Serikat: mineral kritis (critical minerals) dan semikonduktor (semiconductor). Kedua sektor ini tengah mengalami tekanan geopolitik yang tinggi, sehingga Amerika berupaya mengalihkan rantai pasoknya dari China.

“Secara khusus, ada dua sektor dalam rantai pasok yang masuk dalam isu keamanan nasional Amerika Serikat yang berpotensi dimasuki oleh Indonesia, yaitu sektor mineral kritis dan semikonduktor,” ujarnya.

Lebih lanjut, Mari menyebut bahwa peluang lain juga muncul dari upaya global untuk mendiversifikasi rantai pasok agar tidak terlalu terkonsentrasi di China. Indonesia memiliki posisi strategis dalam kemitraan dengan negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Australia dalam lingkup kerja sama regional maupun bilateral.

“Diversifikasi rantai pasok agar tidak terlalu terkonsentrasi di China juga menjadi peluang. Indonesia, sebagai bagian dari kerja sama ASEAN dan kemitraan dengan negara-negara seperti Korea, Jepang, dan Australia, memiliki potensi untuk mendiversifikasi rantai pasok,” tambahnya.

Tak hanya dari sisi produksi, strategi ekspansi pasar juga menjadi sorotan. Eropa disebut sebagai prioritas dalam pembukaan akses pasar, terutama melalui percepatan penyelesaian perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA).

“Eropa menjadi salah satu prioritas, dan negosiasi perjanjian EU-CEPA perlu segera diselesaikan. Di luar itu, keterlibatan dengan mitra dagang lainnya juga perlu ditingkatkan, termasuk kerja sama di kawasan sendiri melalui ASEAN dan RCEP,” ujar Mari.

Peluang Emas Investasi

Di tengah meningkatnya tensi dagang antara Amerika Serikat dan China  bayang-bayang kekhawatiran global justru memunculkan secercah harapan bagi Indonesia. 

Bukan sekadar negara penonton, Indonesia kini berdiri di persimpangan penting rantai pasok global, siap merebut peluang dari relokasi industri dan diversifikasi ekonomi dunia. Bagi investor yang jeli, ini bukan sekadar isu geopolitik, melainkan peluang strategis untuk meraih keuntungan jangka panjang.

Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu, mengungkapkan bahwa sejak sebelum pengumuman tarif tambahan AS terhadap produk asal China pada 2 April 2025, sejumlah sektor industri telah mulai mencari lokasi baru untuk produksi. 

Indonesia menjadi salah satu tujuan utama, terutama untuk industri padat karya seperti garmen, alas kaki, dan tekstil. Pemerintah pun telah menyiapkan berbagai strategi revitalisasi sektor tersebut guna menyambut gelombang relokasi ini.

Bagi investor domestik, kabar ini membuka pintu lebar terhadap potensi saham di sektor padat karya. Emiten seperti PT Pan Brothers Tbk (PBRX) layak mendapat sorotan, mengingat posisi mereka sebagai pemain utama di industri tekstil dan garmen yang berorientasi ekspor. Jika relokasi dari China terus berlanjut, prospek peningkatan pesanan ekspor ke pasar AS dan Eropa menjadi sangat mungkin.

Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki keunggulan besar di sektor mineral kritis, seperti nikel dan tembaga—komoditas penting dalam ekosistem kendaraan listrik dan semikonduktor. Amerika Serikat kini tengah mencari alternatif pasokan mineral di luar China, dan Indonesia menjadi salah satu kandidat utama. 

Di sinilah saham seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) menjadi incaran para investor. Ketiganya memiliki cadangan mineral strategis dan terlibat dalam proyek hilirisasi yang didorong langsung oleh pemerintah.

Sektor logistik dan kawasan industri juga menjadi penopang penting dalam proses relokasi industri. Emiten seperti PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA), PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS), dan PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) menawarkan eksposur yang menarik, terutama karena mereka memiliki kawasan industri yang siap huni, lengkap dengan infrastruktur pendukung. 

Ketersediaan lahan industri yang terintegrasi dengan pelabuhan dan jalur distribusi menjadi nilai jual utama di tengah pergeseran rantai pasok global.

Di saat bersamaan, strategi Indonesia dalam membuka akses pasar internasional, terutama ke Eropa melalui percepatan negosiasi Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA), memberi sinyal positif untuk peningkatan ekspor non-komoditas. 

Sektor makanan dan peternakan berpotensi terdongkrak, membuat saham seperti PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) menarik untuk dicermati.

Bagi investor yang ingin mengambil posisi lebih terdiversifikasi, pilihan seperti ETF IDX ESG Leaders (ESGL) atau reksa dana berbasis infrastruktur dan manufaktur ASEAN bisa menjadi opsi. Mengingat arus modal global yang mulai bergeser ke kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada dalam posisi istimewa sebagai magnet investasi baru.

Singkatnya, badai perang dagang ini mungkin meresahkan banyak negara, namun bagi Indonesia—dan para investornya—gelombang ini justru membawa angin segar. Dengan strategi yang tepat dan keberanian membaca arah pasar, peluang di tengah ketegangan global bisa menjadi batu loncatan menuju keuntungan yang berkelanjutan.(*)