KABARBURSA.COM – Pemerintah membuka peluang untuk mendorong impor pangan dari Amerika Serikat sebagai bagian dari strategi negosiasi penurunan tarif dagang. Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa langkah ini tidak akan mengganggu program swasembada pangan nasional.
“Indonesia, khusus untuk pangan, melakukan impor seperti yang saat ini dilakukan dari Amerika Serikat, yaitu impor gandum. Kemudian yang kedua, kedelai dan susu kedelai,” jelas Airlangga dalam konferensi pers daring, dikutip Sabtu, 19 April 2025.
Menurutnya, ketiga komoditas tersebut selama ini memang sudah diimpor dari berbagai negara, termasuk Australia dan Ukraina. Oleh karena itu, langkah Indonesia untuk memperluas impor dari Amerika Serikat hanyalah sebatas pengalihan sumber pasokan, bukan penambahan kuantitas impor.
“Selama ini, baik gandum, kedelai, maupun susu kedelai, kita juga mengimpor, namun tidak hanya dari Amerika Serikat, tetapi juga dari Australia, Ukraina, dan beberapa negara lain. Jadi, yang dilakukan hanyalah pengalihan sumber impor bahan baku pangan tersebut,” ujar Airlangga.
Lebih jauh, ia memastikan bahwa langkah tersebut tidak akan mengganggu program ketahanan pangan dalam negeri. Pemerintah tetap menjaga komitmen terhadap target swasembada.
“Kita tidak akan mengganggu program swasembada, sehingga swasembada pangan sama sekali tidak terganggu dengan rencana pembelian dari Amerika Serikat,” tegasnya.
RI Siap Beli Produk AS hingga Rp318 Triliun
Untuk diketahui, Airlangga Hartarto mengungkapkan pemerintah Indonesia berjanji akan melakukan pembelian sejumlah produk milik AS.
Nilai pembelian produk dari AS yang direncanakan pemerintah berkisar antara USD18 miliar hingga USD19 miliar atau sekitar Rp318,6 triliun dengan asumsi kurs Rp16.770 per dolar AS.
"Indonesia akan beli barang dari Amerika sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Senilainya (defisit negara) mendekati,” tutur Airlangga dalam konferensi pers, Perkembangan dan Persiapan Pertemuan dengan Pemerintah Amerika Serikat Terkait Tarif Perdagangan, Senin 14 April 2025.
Menurutnya, transaksi ini bukan semata-mata untuk meredakan ketegangan akibat kebijakan tarif resiprokal AS, melainkan juga demi menyeimbangkan hubungan dagang kedua negara.
“Indonesia akan beli barang dari Amerika sesuai dengan kebutuhan Indonesia,” ujar Airlangga.
Meski belum merinci secara detail komoditas apa saja yang akan dibeli dalam kerangka negosiasi dengan Amerika Serikat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa komoditas yang diimpor Indonesia mayoritas berasal dari sektor pertanian atau agri-culture.
Adapun sebagian besar komoditas pertanian yang diimpor Indonesia dari Amerika Serikat, seperti kedelai dan gandum, sebenarnya sudah dikenakan tarif nol persen.
Ia juga menambahkan bahwa untuk komoditas lain seperti kapas, tarif maksimal yang diberlakukan hanya sebesar 5 persen.
“Dan agri-culture komoditas kan kedelai (soya bean) dan gandum (wheat). sebetulnya tarifnya nol. Jadi kapas, jadi itu sebetulnya maksimum dengan Amerika kita punya tarif 5 persen. Jadi yang kita import, tarifnya 5 persen,” terangnya.
Karena tarif impor sudah sangat rendah atau bahkan mendekati nol, menurutnya pihak Amerika kini lebih fokus pada hambatan non-tarif dalam perdagangan.
“Jadi kita keluarkan yang selesai kita keluarkan dalam paket-paket. Nanti kita akan, karena itu banyak. Ada tarif, ada PPN, ada non-tarif. Jadi itu menjadi bagian dari negosiasi,” papar Airlangga.
Sementara untuk sektor energi seperti LNG dan LPG menjadi salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan.
Namun, ia menegaskan bahwa pembelian ini tidak serta-merta dalam bentuk impor langsung, melainkan akan disesuaikan dengan skema dan kebutuhan nasional yang tengah dibahas dalam kerangka negosiasi.
“Untuk LNG-LPG ada tonnya berapa yang mau di… Kita belum bicarakan,” jelasnya.
Harus Diimbangi Ketahanan Nasional
Pemerintah Indonesia membuka peluang impor pangan dari Amerika Serikat sebagai bagian dari strategi negosiasi penurunan tarif dagang. Langkah ini, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, merupakan bentuk diversifikasi sumber pasokan dan bukan penambahan kuantitas impor.
Indonesia selama ini memang sudah mengimpor komoditas seperti gandum, kedelai, dan susu kedelai dari negara lain seperti Australia dan Ukraina. Kini, Amerika Serikat akan menjadi alternatif sumber pasokan baru.
Namun, di balik keputusan strategis ini, muncul sejumlah pertanyaan: Bagaimana dampaknya terhadap industri pangan nasional? Apakah kebijakan ini memperkuat atau justru melemahkan kemandirian pangan dalam negeri?
Menjaga Stabilitas Pasokan di Tengah Gejolak Global
Salah satu manfaat utama dari kebijakan ini adalah menjaga ketersediaan bahan baku pangan yang selama ini masih bergantung pada impor. Dengan menggandeng AS sebagai pemasok, Indonesia berupaya memperkuat rantai pasok dan mengurangi risiko gangguan akibat konflik geopolitik atau hambatan logistik di negara pemasok lain.
Langkah ini penting, terutama untuk industri pengolahan makanan yang sangat bergantung pada bahan baku impor seperti gandum dan kedelai—dua komoditas yang belum bisa diproduksi secara optimal di dalam negeri.
Dengan tarif impor yang rendah, bahkan nol persen untuk beberapa komoditas, pelaku industri akan mendapat suplai bahan baku dengan harga yang lebih kompetitif, membantu menekan biaya produksi dan menjaga harga jual tetap stabil.
Diplomasi Dagang Bernilai Triliunan Rupiah
Dalam kerangka yang lebih luas, pembukaan peluang impor ini merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk memperkuat hubungan dagang bilateral dengan Amerika Serikat. Pemerintah berencana membeli produk dari AS senilai USD18–19 miliar atau sekitar Rp318 triliun.
Transaksi ini bukan hanya untuk meredakan ketegangan akibat kebijakan tarif resiprokal dari AS, tetapi juga sebagai upaya menyeimbangkan neraca dagang kedua negara.
Tidak hanya sektor pangan, pemerintah juga mempertimbangkan sektor energi seperti LNG dan LPG dalam skema pembelian ini, meski belum dalam bentuk kesepakatan final. Artinya, kebijakan ini membawa nilai strategis yang lebih luas, mencakup diplomasi ekonomi dan diversifikasi pasokan energi.
Tantangan: Ketergantungan dan Tekanan bagi Petani Lokal
Di sisi lain, kebijakan ini juga menyimpan potensi risiko yang tak bisa diabaikan. Ketergantungan jangka panjang pada impor bahan pangan bisa menjadi ancaman serius bagi upaya swasembada. Meski pemerintah menegaskan bahwa program ketahanan pangan tidak akan terganggu, realitas di lapangan bisa berbeda.
Petani lokal bisa tertekan akibat masuknya bahan pangan impor dengan harga lebih murah. Tanpa proteksi yang memadai atau insentif yang jelas, daya saing produk lokal bisa melemah. Industri pertanian domestik berpotensi stagnan jika tidak didukung oleh kebijakan yang mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi.
Lebih jauh, kebijakan ini juga bisa melemahkan semangat untuk melakukan substitusi impor, seperti pengembangan kedelai lokal atau diversifikasi sumber karbohidrat nasional. Ketergantungan yang terlalu lama pada bahan impor bisa menjadi jebakan jangka panjang jika tidak dibarengi dengan strategi pembangunan sektor pertanian yang kuat dan berkelanjutan.
Menjaga Keseimbangan: Impor sebagai Solusi Sementara, Bukan Andalan Abadi
Kebijakan membuka peluang impor pangan dari Amerika Serikat bisa menjadi langkah taktis yang menguntungkan dalam jangka pendek. Namun, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa strategi ini tidak menggeser komitmen terhadap swasembada dan ketahanan pangan nasional.
Solusinya adalah menjaga keseimbangan: jadikan impor sebagai solusi sementara, bukan sebagai andalan abadi. Dalam waktu yang sama, pemerintah perlu mempercepat pembangunan pertanian berbasis teknologi, memperluas riset varietas unggul, memperkuat akses pembiayaan bagi petani, serta melindungi harga produk lokal dari gempuran impor.
Jika keseimbangan ini dijaga, maka kebijakan ini bisa membawa manfaat ganda: memperkuat diplomasi dagang sekaligus menjaga kedaulatan pangan bangsa.(*)