KABARBURSA.COM - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali meluncurkan strategi dagang yang agresif terhadap sejumlah mitra dagang utama AS, termasuk Indonesia. Pada 2 April 2025, Trump mengumumkan kebijakan tarif ganda yang mengejutkan, dengan tarif dasar sebesar 10 persen diberlakukan untuk seluruh barang impor dari negara-negara mitra dagang AS, ditambah tarif tambahan sebesar 32 persen bagi Indonesia, yang tercatat sebagai negara dengan surplus perdagangan sebesar USD14,2 miliar terhadap AS pada 2024.
Kebijakan ini menandai dimulainya babak baru dalam perang dagang global yang berdampak pada ekonomi Indonesia. Dalam rangka menanggapi kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan AS, Indonesia kini menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan daya saing produk ekspor dan stabilitas ekonomi makro.
Peneliti dari CORE Indonesia mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi mengguncang perekonomian Indonesia, dengan dampak yang luas terhadap sektor ekspor, produk domestik bruto (PDB), kebijakan fiskal, moneter, serta kinerja perdagangan jasa. Meskipun tarif tambahan ini sempat ditunda oleh Trump pada 10 April 2025, ketidakpastian dalam sistem perdagangan global semakin memuncak.
Pemberlakuan tarif resiprokal ini, yang mencakup 57 negara, termasuk Indonesia, dapat memicu ketegangan bilateral lebih lanjut. Kebijakan ini berpotensi mengancam sektor manufaktur Indonesia, yang sangat bergantung pada ekspor, serta memperburuk kesejahteraan petani mengingat sebagian besar impor dari AS adalah produk pertanian yang vital bagi pendapatan mereka.
CORE Indonesia menekankan pentingnya Indonesia untuk merespons kebijakan ini dengan cermat dan penuh pertimbangan. Pemerintah Indonesia harus memperhatikan bahwa perang tarif ini bukan hanya soal negosiasi perdagangan, melainkan juga soal mempertahankan stabilitas makroekonomi dan memastikan ketahanan sektor-sektor strategis seperti manufaktur dan pertanian.
"Langkah reaktif dapat memperburuk keadaan, seperti yang dialami oleh Tiongkok. Indonesia perlu mempersiapkan strategi negosiasi yang berbasis data komprehensif untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional," ujar para peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, Azhar Syahida, dan Lailatun Nikmah, dalam riset Rabu, 16 April 2025.
Pemerintah Indonesia juga harus mengantisipasi tantangan lebih lanjut berupa potensi serbuan produk manufaktur murah (dumped imports) ke pasar domestik dan lonjakan impor produk pertanian dari AS serta negara lain.
Lebih lanjut, penelitian ini mendorong Indonesia untuk menjadikan dinamika perang dagang ini sebagai momentum untuk memperkuat struktur ekonomi domestik. Indonesia perlu meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor manufaktur agar dapat bersaing di pasar global, serta memperkuat sektor pertanian domestik untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor.
"Sejarah swasembada kedelai yang pernah tercapai Indonesia menunjukkan bahwa kemandirian ekonomi bukanlah impian yang mustahil," tambah mereka.
Dalam menghadapi kebijakan AS yang mengkritik kebijakan perdagangan Indonesia, terutama terkait tarif, pajak, dan hambatan non-tarif, pemerintah Indonesia harus tetap menjaga diplomasi ekonomi yang fokus pada kepentingan nasional. Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan domestiknya tidak memperburuk hubungan perdagangan dengan AS dan negara mitra lainnya, sambil tetap mempertahankan kestabilan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Pukulan Telak bagi Sektor Unggulan Ekspor
Penerapan tarif resiprokal 32 persen oleh AS berpotensi menghajar kinerja ekspor Indonesia di berbagai sektor vital. Industri tekstil dan garmen berada di garis depan keterpaparan ini, dengan tarif AS untuk produk pakaian Indonesia yang sudah mencapai 11-14,7 persen sebelum tambahan 32 persen.
Dengan 61 persen ekspor pakaian Indonesia bergantung pada pasar AS, industri ini praktis terperangkap dalam dilema ketergantungan yang berbahaya. Reputasi produk garmen Indonesia, yang selama ini dibangun atas dasar keseimbangan kualitas dan harga kompetitif, kini terancam terguncang oleh lonjakan tarif yang dapat mengeliminasinya dari persaingan global.
Sektor alas kaki Indonesia menghadapi tantangan yang tidak kalah berat, dengan nilai ekspor ke AS mencapai USD1,9 miliar pada 2023. Tarif dasar 11,4 persen untuk alas kaki kulit dan tekstil, ditambah tarif resiprokal 32 persen, akan menciptakan hambatan komersial yang nyaris mustahil diatasi.
Industri yang telah membangun rantai nilai kokoh dari komponen dasar hingga produk jadi ini kini menghadapi risiko kehancuran pasar. Sebagai industri padat karya, guncangan pada sektor alas kaki akan langsung menimbulkan gelombang pengangguran yang mengkhawatirkan.
Industri furnitur Indonesia, dengan 57 persen ekspornya bergantung pada AS, tidak luput dari ancaman ini. Sektor yang secara eksplisit masuk dalam daftar pengenaan tarif ini terkenal dengan keunggulan desain dan bahan alami, namun kenaikan harga drastis akibat tarif berpotensi menghapus keunggulan kompetitifnya di pasar AS.
Sementara itu, eksportir karet Indonesia juga berada dalam zona bahaya, dengan 49,7 persen ekspor ban karet dan 23,2 persen ekspor karet alam ditujukan ke AS. Setelah berinvestasi besar dalam pengembangan kapasitas dan peningkatan kualitas, industri ini kini terancam kehilangan posisi kompetitifnya akibat lonjakan harga yang dipicu oleh tarif tambahan.
Sektor makanan dan minuman Indonesia juga terjebak dalam pusaran dampak tarif ini. Produk unggulan seperti kopi, kelapa, kakao, minyak sawit, dan produk perikanan yang menjadikan AS sebagai pasar utama kini menghadapi ketidakpastian.
Kompleksitas situasi ini diperparah oleh ketergantungan timbal balik, di mana Indonesia juga mengimpor bahan baku penting dari AS seperti gandum, kedelai, dan susu. Ketegangan dagang berpotensi merusak rantai pasok dua arah yang telah terbangun selama bertahun-tahun.
Industri elektronik dan peralatan listrik Indonesia, dengan 63,3 persen ekspornya terarah ke AS, menghadapi prospek yang mengkhawatirkan. Sektor yang telah berkembang menjadi kontributor utama dalam ekspor berteknologi menengah Indonesia ini terintegrasi dalam rantai pasok global. Gangguan akibat tarif tidak hanya akan memukul industri elektronik, tetapi juga merambat ke industri hulu seperti logam dan plastik, menciptakan efek domino yang merusak seluruh ekosistem manufaktur.
Meskipun totalnya "hanya" 9 persen dari keseluruhan ekspor Indonesia, konsentrasi dampak pada sektor-sektor padat karya ini berpotensi menciptakan krisis ketenagakerjaan yang substansial.
Efek berantai pada rantai pasok domestik dapat menimbulkan gelombang gangguan ekonomi yang melampaui angka statistik, menuntut respons strategis yang cepat dan tepat dari pemerintah Indonesia. (*)