KABARBURSA.COM – Google kembali dijatuhi vonis sebagai pelaku monopoli ilegal oleh pengadilan federal Amerika Serikat. Ini adalah kali kedua dalam setahun raksasa teknologi itu disebut menyalahgunakan dominasi pasarnya — kali ini melalui teknologi iklan digital yang disebut memberi Google keuntungan tidak wajar dalam membangun kerajaan digital bernilai USD1,8 triliun.
Putusan itu dikeluarkan Kamis, 18 April 2025, oleh Hakim Distrik AS Leonie Brinkema di Virginia. Sebelumnya, pada Agustus tahun lalu, hakim lain juga menyatakan bahwa mesin pencari Google telah digunakan untuk menghalangi persaingan dan menghambat inovasi secara ilegal.
Kasus ini menjadi lanjutan dari langkah Departemen Kehakiman AS (DOJ) yang menarget dominasi Google sejak era Presiden Donald Trump, dan kemudian diteruskan di masa pemerintahan Presiden Joe Biden dengan menyasar bisnis jaringan periklanan digital Google pada 2023.
Meskipun regulator antitrust menang dua kali berturut-turut, perjuangan hukum ini belum selesai. Google diperkirakan akan mengajukan banding atas dua putusan monopoli tersebut, sembari tetap melaju dalam eksplorasi teknologi masa depan seperti kecerdasan buatan (AI).
Sidang selanjutnya akan memasuki fase sanksi yang dijadwalkan berlangsung akhir tahun ini atau awal 2026. Untuk kasus monopoli mesin pencari, DOJ bahkan mendorong agar Google diwajibkan melepas kepemilikan atas browser Chrome, yang menjadi tulang punggung iklan dan layanan daring Google.
Dalam putusan setebal 115 halaman, Hakim Brinkema menjelaskan bahwa Google telah membangun sistem pemasaran online selama 17 tahun yang terintegrasi dengan produk-produk populernya — mulai dari mesin pencari, YouTube, Maps, hingga browser Chrome. Semua itu dimungkinkan lewat rangkaian akuisisi sejak pembelian DoubleClick senilai USD3,2 miliar pada 2008.
Regulator awalnya menyetujui akuisisi tersebut, namun kemudian menyadari bahwa Google membangun platform yang memungkinkan manipulasi harga dalam ekosistem periklanan digital, yang menjadi sumber pendapatan utama bagi banyak situs web di seluruh dunia.
Google Dinilai Mengunci Pasar Periklanan
DOJ menuduh Google menguasai tiga teknologi utama dalam ekosistem iklan daring:
Setelah menilai bukti dalam persidangan yang berlangsung hingga akhir 2024, Brinkema menyatakan bahwa Google tidak terbukti merugikan pengiklan secara langsung, tetapi terbukti menyalahgunakan kekuasaan pasarnya untuk menekan persaingan, terutama terhadap para penerbit online yang bergantung pada jaringan Google.
“Selama lebih dari satu dekade, Google mengikat layanan server iklan dan platform lelangnya secara kontraktual dan teknologi,” tulis Brinkema, dikutip dari AP di Jakarta, Jumat, 18 April 2025. “Mereka mempertahankan monopoli dengan cara memberlakukan kebijakan antipersaingan dan menghapus fitur produk yang diinginkan pasar.”
Meski begitu, pengadilan menyatakan bahwa akuisisi DoubleClick dan Admeld oleh Google tidak terbukti melanggar hukum antimonopoli secara langsung. Brinkema menilai bahwa meski dua akuisisi ini membantu Google membangun dominasi di pasar iklan digital, hal itu belum cukup untuk menyatakan bahwa Google memelihara monopoli lewat praktik eksklusif yang dilarang hukum.
Temuan ini berpotensi menjadi tameng Google untuk menolak kewajiban menjual divisi teknologi iklannya sebagai bentuk hukuman.
Jaksa Agung AS, Pamela Bondi, menyambut putusan ini sebagai kemenangan penting. “Ini adalah kemenangan besar dalam upaya menghentikan Google menguasai ruang publik digital,” ujarnya dalam pernyataan resmi.
Google, di sisi lain, menyatakan akan mengajukan banding atas putusan tersebut. “Kami tidak setuju dengan keputusan pengadilan soal alat iklan kami untuk penerbit,” kata Lee-Anne Mulholland, Wakil Presiden Urusan Regulasi Google. “Penerbit punya banyak pilihan. Mereka memilih Google karena alat kami sederhana, terjangkau, dan efektif.”
Investor Sudah Diperingatkan, Saham Alphabet Tetap Tersungkur
Analis seperti Brian Pitz dari BMO Markets sebenarnya sudah lama memprediksi Google bakal kalah dalam kasus ini. Karena itu, sebagian investor sudah cukup siap mental menghadapi putusan terbaru yang menyudutkan perusahaan induk Google, yaitu Alphabet Inc. Namun tetap saja, saham Alphabet turun sekitar 1 persen pada penutupan Kamis waktu setempat, berakhir di level USD151,22. Sejak awal tahun, saham Alphabet tercatat sudah anjlok 20 persen.
Masalah Google bukan cuma soal dominasi mesin pencari dan iklan digital. Perusahaan juga tengah melawan putusan juri federal pada 2023 yang menyatakan Play Store miliknya juga merupakan monopoli ilegal, karena dinilai menekan persaingan dalam ekosistem aplikasi berbasis Android.
Seperti dalam kasus mesin pencari, Google menepis semua tuduhan Departemen Kehakiman AS. Dalam pembelaannya, tim hukum Google menyatakan bahwa pemerintah menggunakan definisi pasar yang sudah usang, menggambarkan situasi iklan digital seperti satu dekade lalu, dan mengabaikan realitas persaingan saat ini dari perusahaan-perusahaan seperti Meta (Facebook), Amazon, Microsoft, dan Comcast.
Bahkan, menurut pengacara Google Karen Dunn, definisi pasar yang dipakai pemerintah lebih mirip “kapsul waktu berisi BlackBerry, iPod, dan kartu member Blockbuster,” sindirnya dalam sidang pembukaan pada September tahun lalu. Google juga berargumen bahwa pasar iklan saat ini telah menyebar ke berbagai platform baru—termasuk aplikasi mobile, layanan streaming, dan jaringan iklan digital di luar situs web konvensional.
Namun di pengadilan, pengacara pemerintah menyoroti dampak nyata dari dominasi Google terhadap penerbit berita digital. Sejumlah saksi dari perusahaan media besar seperti Gannett (penerbit USA Today) dan News Corp. (penerbit The Wall Street Journal) bersaksi bahwa mereka sulit mendapatkan alternatif selain teknologi iklan Google.
Mereka menyatakan ketergantungan ini membuat pemasukan iklan mereka tidak optimal, padahal sebagian besar bisnis media digital bergantung pada iklan untuk membiayai pemberitaan dan tetap menyediakan konten gratis bagi publik.
Kini, dengan kemenangan di tangan, Departemen Kehakiman AS berada dalam posisi kuat untuk mendorong pembongkaran sistem iklan online milik Google yang dianggap rumit dan eksklusif. Sejak gugatan ini diajukan dua tahun lalu, DOJ sudah mengisyaratkan bahwa Google seharusnya dipaksa untuk menjual produk Ad Manager-nya — yaitu sistem yang mencakup teknologi bagi penerbit situs dan pasar lelang iklan digital (ad exchange).
Jika usulan itu dikabulkan pengadilan, bukan tidak mungkin struktur bisnis iklan Google yang selama ini jadi mesin uangnya akan mengalami perubahan mendasar.(*)