Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Penjelasan Mengapa AS Kehilangan Pengaruh di Pasar Global

Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) menjelaskan meskipun Amerika Serikat (AS) tetap menjadi konsumen terbesar di dunia, pengaruhnya dalam perdagangan global semakin tergerus, terutama oleh China yang kini lebih dominan dalam hal surplus perdagangan.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 16 April 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Syahrianto
Penjelasan Mengapa AS Kehilangan Pengaruh di Pasar Global Ilustrasi ekspor dan impor China. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) mengeluarkan riset terbarunya mengenai Amerika Serikat yang sudah kehilangan pengaruh dalam perdagangan global.

Dilansir dari riset terbarunya menunjukkan bahwa meskipun AS tetap menjadi konsumen terbesar di dunia, pengaruhnya dalam perdagangan global semakin tergerus, terutama oleh China yang kini lebih dominan dalam hal surplus perdagangan. 

Data tersebut mengungkapkan bahwa AS mengalami defisit perdagangan yang terus membengkak, sementara China berhasil memperkuat posisinya sebagai kekuatan ekonomi utama, dengan kontribusi besar terhadap global trade surplus.

Pada tahun 2024, AS tercatat mengalami defisit perdagangan sebesar USD1,4 triliun. AS memiliki total perdagangan sebesar USD0,47 triliun yakni ekspor USD0,25 triliun dan impor USD0,23 triliun dengan surplus perdagangan sebesar USD0,02 triliun.

Meskipun demikian, 88 persen dari defisit perdagangan AS berasal dari 15 mitra dagang utamanya, yang mencakup negara-negara seperti China, Meksiko, dan Jerman. China sendiri memiliki surplus perdagangan sebesar USD0,99 triliun, dengan total perdagangan mencapai USD6,16 triliun dengan nilai ekspor USD3,58 triliun dan impor USD2,59 triliun.

Di bawah pemerintahan Presiden AS, Donald Trump, kebijakan America First menjadi salah satu kebijakan utama yang berfokus pada pengurangan defisit perdagangan dengan negara-negara mitra, terutama China. 

Salah satu langkah yang diambil adalah mengenakan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari China dan negara lainnya dengan tujuan untuk mendongkrak produksi domestik dan mengurangi ketergantungan pada impor. 

"Misalnya, tarif terhadap iPhone yang diproduksi di China dapat menyebabkan harga naik hingga 28 persen, meskipun dampak tarif yang sebenarnya hanya sekitar 13.9 persen," tulis isi riset itu dikutip Rabu, 16 April 2025.

Sementara itu, AS masih menjadi negara yang unggul dalam hal ketahanan pangan global, dengan peringkat ke-13 dalam Global Food Security Index (GFSI) dan skor 78. China berada di peringkat ke-25 dengan skor 74.2. AS memimpin dalam hal luas lahan pertanian per kapita, dengan rata-rata 1,20 ha per kapita, jauh lebih tinggi dibandingkan China yang hanya mencatatkan 0,37 ha per kapita. 

Keunggulan AS ini memungkinkan negara tersebut untuk tetap menjadi produsen pangan terbesar dunia.

China mendominasi di Pasar Global

China telah mengubah wajah perdagangan global. Dengan kebijakan industri yang agresif dan pengembangan infrastruktur yang masif, 

China kini lebih mampu menarik perusahaan-perusahaan multinasional untuk memindahkan pusat produksi mereka ke dalam negeri. Hal ini berimbas pada penurunan daya tarik AS sebagai lokasi utama bagi industri manufaktur global, karena biaya produksi yang tinggi di AS.

Meskipun AS masih memegang posisi sebagai konsumen terbesar di dunia, perdagangan global kini semakin dikuasai oleh China. 

Kebijakan perdagangan AS yang lebih berfokus pada proteksi industri domestik dan pengurangan ketergantungan pada impor belum sepenuhnya mengatasi masalah defisit perdagangan yang terus meluas. 

Sementara itu, kebijakan tarif yang diterapkan oleh pemerintah AS tidak hanya memengaruhi harga barang-barang di pasar, tetapi juga memberikan dampak pada daya saing global AS dalam jangka panjang.

Sebagai tambahan, pertumbuhan China yang lebih pesat, serta posisinya yang semakin dominan dalam perdagangan dan manufaktur, menantang posisi AS sebagai kekuatan ekonomi utama dunia. Bagaimana AS merespons perubahan ini, dan apakah kebijakan America First akan membawa hasil yang positif atau justru memperburuk ketergantungan pada pasar global, menjadi pertanyaan besar yang akan menentukan arah ekonomi dunia di masa depan.

Di sisi lain, Negeri Tirai Bambu justru sukses mencetak lonjakan ekspor sebesar 12,4 persen pada Maret 2025 dibanding tahun lalu. Bukan sulap, bukan sihir, lonjakan ini diduga karena perusahaan-perusahaan buru-buru kirim barang sebelum tarif AS yang mencekik itu benar-benar berlaku penuh.

Sementara ekspor ngebut, impor malah jalan di tempat. Bahkan, berdasarkan data dari Administrasi Bea Cukai China yang dirilis Senin, 14 April 2025, sebagaimana dikutip dari AP di Jakarta, impor China justru turun 4,3 persen pada bulan yang sama. Secara kumulatif, kuartal pertama 2025 memperlihatkan pertumbuhan ekspor naik 5,8 persen, sedangkan impor turun sampai 7 persen. Itu artinya, neraca dagang mereka semakin surplus.

Khusus dengan Amerika, surplus China pada Maret tercatat USD27,6 miliar, seiring kenaikan ekspor sebesar 4,5 persen. Kalau ditotal selama Januari-Maret, China sudah mengantongi surplus dagang dengan AS senilai USD76,6 miliar.

Tapi jangan lupa, di balik angka-angka ini ada bayang-bayang gelap, yakni kebijakan tarif baru Trump yang bikin ekspor China kena palu godam 145 persen. Walau begitu, pasar China ternyata tidak cuma bergantung pada AS. Mereka juga menggenjot perdagangan ke negara-negara tetangga.

Buktinya? Ekspor ke negara-negara Asia Tenggara melonjak hampir 17 persen dibanding Maret tahun lalu. Sementara ekspor ke Afrika juga tak kalah kinclong, naik lebih dari 11 persen. Jadi, China memang lagi agresif cari jalan keluar dari tekanan tarif AS. (*)