KABARBURSA.COM - Presiden Donald Trump kembali melempar kode untuk sedikit melonggarkan aturan dagang yang sempat ia buat sendiri. Kali ini, sasarannya adalah industri otomotif. Kepada wartawan di Gedung Oval, Senin waktu setempat, Trump bilang ada kemungkinan ia bakal sementara mengecualikan industri mobil dari beban tarif yang sebelumnya ia tetapkan.
“Aku sedang memikirkan sesuatu untuk bantu beberapa perusahaan mobil,” ucap Trump, seperti dikutip dari AP di Jakarta, Senin, 15 April 2025.
Menurut dia, para produsen otomotif perlu waktu untuk menyusun ulang rantai pasok mereka. Apalagi banyak pabrikan yang selama ini masih mengandalkan komponen dari Kanada, Meksiko, dan negara lain. “Mereka butuh waktu sedikit karena nantinya mereka akan buat (mobilnya) di sini. Tapi sekarang mereka masih perlu waktu sedikit,” lanjut Trump. “Jadi ya, aku sedang mempertimbangkan hal-hal seperti itu.”
Pernyataan itu jadi sinyal bahwa Trump—yang terkenal keras soal perdagangan—mulai membuka kemungkinan untuk putar balik arah kebijakan. Setidaknya, itu yang terbaca dari respons asosiasi pelaku industri otomotif di AS.
Matt Blunt, Presiden American Automotive Policy Council—asosiasi yang mewakili Ford, General Motors, dan Stellantis—menyambut baik sikap itu. Ia bilang, organisasinya juga ingin mendorong peningkatan produksi dalam negeri, tapi dengan pendekatan yang lebih realistis.
“Kesadaran bahwa tarif menyeluruh terhadap komponen bisa mengganggu target bersama—yakni membangun industri mobil Amerika yang tumbuh dan sehat—itu makin besar. Dan transisi rantai pasok semacam ini memang butuh waktu,” ujar Blunt.
Kata-kata Trump tersebut makin memperkuat dugaan bahwa kebijakan tarif ala Trump makin hari makin fleksibel, atau dalam bahasa Wall Street “makin kabur garis batasnya”. Maklum, sejak Trump memberlakukan tarif 25 persen untuk mobil pada 27 Maret lalu, pasar keuangan langsung gelisah. Banyak ekonom memperingatkan, jika terus dipaksakan, tarif ini bisa memicu resesi.
Padahal, waktu mengumumkan tarif itu, Trump sempat bilang akan membuatnya “bersifat permanen.” Tapi tampaknya, tekanan ekonomi dan suara dari pasar membuatnya kembali berpikir ulang.
Trump Longgarin Tarif, tapi Pasar Masih Puyeng
Pekan lalu, setelah pasar obligasi Amerika Serikat goyah dan bunga utang pemerintah ikut melonjak, Donald Trump mengumumkan tarif impor untuk puluhan negara—yang sebelumnya ia setel dengan nada tinggi—akan diturunkan ke level dasar 10 persen untuk 90 hari ke depan. Tujuannya adalah memberi waktu untuk negosiasi.
Tapi di saat yang hampir bersamaan, ia malah menaikkan tarif impor dari China jadi 145 persen. Tak lama setelah itu, barang-barang elektronik seperti ponsel dan komputer malah dikasih pengecualian. Tarifnya turun jadi 20 persen. Bolak-balik kayak gasing
“Aku tidak berubah pikiran, tapi aku fleksibel,” kata Trump kepada wartawan hari Senin kemarin. Kalimat itu terdengar seperti pernyataan cinta yang ambigu, tidak berubah, tapi bisa goyah kalau situasi memaksa.
Masalahnya, fleksibilitas Trump itu justru membuat pasar makin bingung. Tidak jelas arah akhir kebijakan ini ke mana. Indeks S&P 500 memang sempat naik 0,8 persen hari Senin, tapi sepanjang tahun ini nilainya masih turun hampir 8 persen. Sementara suku bunga obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun bertahan tinggi di kisaran 4,4 persen.
Kepala Ekonom Northern Trust, Carl Tannenbaum, bahkan menyindir keras. “Perubahan arah Trump bikin leher saya encok. Kayaknya saya perlu dipasangi penyangga leher,” kata dia. Dalam analisis terbarunya, Tannenbaum menyebut kepercayaan konsumen, pelaku usaha, dan pasar keuangan bisa saja sudah rusak secara permanen.
Sementara itu dari sisi mitra dagang, Eropa juga ikut gerak. Komisioner Perdagangan dan Keamanan Ekonomi Uni Eropa, Maros Sefcovic, lewat akun X (Twitter) menyampaikan bahwa ia sudah bertemu dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick dan U.S. Trade Representative Jamieson Greer.
“Uni Eropa tetap terbuka dan ingin kesepakatan yang adil—termasuk melalui skema tarif 0 untuk 0 di sektor industri, dan pembahasan hambatan non-tarif,” kata Sefcovic.
Di sisi korporasi, Apple juga ikut kebagian sorotan. Trump mengklaim bahwa dirinya telah berbicara dengan CEO Apple, Tim Cook, dan “membantu” sang bos dalam hal tertentu. Meski tidak dirinci apa bantuannya, diduga berkaitan dengan pengecualian tarif elektronik. Sebab, sebagian besar iPhone dan produk Apple lainnya dirakit di China.
Apple sendiri tidak memberikan komentar atas pernyataan Trump itu. Tapi pengumuman soal pelonggaran tarif berhasil mendorong harga saham Apple naik 2 persen hari Senin. Walaupun sempat naik 7 persen sebelumnya, sebagian kenaikan itu terpangkas setelah investor menyadari bahwa relaksasi tarif ini mungkin hanya sementara.
Analis dari Wedbush Securities, Dan Ives, menyebut posisi Apple saat ini jelas lebih baik ketimbang seminggu lalu. Tapi ia juga menambahkan bahwa masih ada “ketidakpastian besar, kekacauan, dan kebingungan soal langkah Trump selanjutnya.”
Salah satu siasat yang sedang dikaji Apple, menurut laporan, adalah mempercepat relokasi produksi iPhone dari Tiongkok ke India. Proses ini memang sudah dimulai sejak periode pertama Trump menjabat dan melancarkan perang dagang. Kini, tampaknya langkah itu kembali masuk ke mode percepatan.
Trump sendiri mengklaim kebijakan tarifnya telah berhasil “mengisolasi” China dan memperkuat posisi negosiasi AS dengan negara-negara lain. Tapi, di sisi lain, China juga tidak tinggal diam. Presiden Xi Jinping pada hari Senin bertemu dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, To Lam, di Hanoi. Xi menyampaikan pesan yang jelas: “tidak ada yang menang dalam perang dagang.”
Saat ditanya soal pertemuan itu, Trump malah menyentil dua negara tersebut dengan gaya khasnya. Ia bilang, “Mereka lagi mikir gimana caranya nyakitin Amerika Serikat bareng-bareng.”
Dampak ke Investor: Pasar Bergerak karena Ekspektasi, Bukan Fakta
Ketika Presiden Donald Trump bilang mungkin akan melonggarkan tarif mobil, pasar keuangan global langsung bergeming. Saham-saham otomotif naik, investor bersorak kecil, dan headline media keuangan ramai menyambut “angin segar” dari Washington. Tapi apakah benar ada yang berubah secara nyata di sektor otomotif? Jawabannya: belum tentu.
Inilah momen ketika teori ekspektasi rasional (rational expectations) menjadi kacamata yang paling masuk akal untuk membaca gejolak pasar. Seperti yang dijelaskan oleh ekonom Thomas J. Sargent, “Kesalahan prediksi itu wajar, tapi pasar akan menyesuaikan terus menerus agar tidak salah secara sistematis.”
Artinya, pelaku pasar selalu bereaksi terhadap apa yang mungkin akan terjadi, bukan hanya apa yang sudah terjadi. Dalam kasus ini, wacana Trump soal pengecualian tarif untuk sektor otomotif belum final. Tapi karena dinilai potensial mengurangi tekanan pada rantai pasok global, pasar langsung merespons.
Saham Apple, misalnya, naik 2 persen karena produk-produknya yang dirakit di China termasuk dalam daftar barang elektronik yang dapat kelonggaran tarif. Di otomotif, Saham Ford Motor Company (F) naik 4,07 persen ke level USD9,71, menunjukkan sentimen positif dari pelaku pasar terhadap potensi perbaikan rantai pasok.
Padahal, tidak ada jaminan bahwa pengecualian tarif ini akan berlangsung lama. Namun, seperti kata Sargent dalam tulisannya untuk Library of Economics and Liberty, “Dalam situasi yang berulang, orang akan mengubah prediksi mereka agar sesuai dengan pola yang stabil.”
Bagi investor di Indonesia, ini bisa jadi pelajaran penting. Banyak keputusan investasi hari ini bukan berbasis laporan keuangan, melainkan berdasarkan spekulasi tentang masa depan. Itu tidak salah, bahkan wajar menurut teori. Tapi ekspektasi yang tidak diikuti realisasi akan cepat dikoreksi pasar.
Dalam konteks domestik, dampaknya ke pasar modal Indonesia cenderung kecil dan bersifat tidak langsung. Emiten seperti Astra International (ASII) mungkin bisa sedikit menikmati sentimen positif jika stabilitas global terjaga. Tapi jangan berharap saham sektor otomotif RI melonjak hanya karena pabrik Ford atau GM di Meksiko dapat nafas tambahan.
Yang lebih penting adalah memahami pola pikir pasar. Harga saham mencerminkan ekspektasi masa depan. Ketika Trump bilang akan longgarin tarif, pasar membaca itu sebagai kabar baik. Tapi jika dua pekan kemudian ia banting setir dan mengancam China lagi, pasar akan menghukum euforia itu dengan koreksi yang sama cepatnya.
Jadi, buat investor, ini bukan soal “apa yang diumumkan,” tapi soal bagaimana pasar memperkirakan dampaknya. Reaksi pasar terhadap Trump adalah contoh konkret dari bagaimana ekspektasi, bukan fakta mentah yang menggerakkan harga.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.