Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

DEN: Evaluasi Anggaran Dulu, Baru Bicara Defisit

Langkah yang lebih tepat adalah memastikan efektivitas alokasi anggaran saat ini sebelum membuka ruang defisit lebih lebar.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 14 April 2025 | Penulis: Dian Finka | Editor: Pramirvan Datu
DEN: Evaluasi Anggaran Dulu, Baru Bicara Defisit ASEAN bisa menunjukkan bahwa kawasan ini siap menjadi mitra strategis Amerika, bukan sekadar bagian dari skema ‘hub and spokes’

KABARBURSA.COM – Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Mari Elka Pangestu, menekankan pentingnya peningkatan kualitas belanja negara sebelum pemerintah mempertimbangkan pelebaran defisit fiskal. 

“Kalau pelebaran, apakah defisitnya langsung ke 3 persen? Dengan 3 persen saja, belanja kita belum tentu berkualitas,” ujar Mari kepada media di Jakarta, Senin, 14 April 2025.

Menurutnya, langkah yang lebih tepat adalah memastikan efektivitas alokasi anggaran saat ini sebelum membuka ruang defisit lebih lebar.

Lanjutnya, untuk menanggapi dinamika dagang global, Mari juga mengkritisi pendekatan unilateral Presiden AS Donald Trump yang cenderung menghindari kerja sama multilateral dan lebih memilih negosiasi bilateral.

“Trump itu lebih unilateral. Kita harus hati-hati, jangan terjebak dalam pendekatan yang memecah belah. ASEAN sebaiknya punya satu suara dalam menghadapi Amerika Serikat,” tegasnya.

Mantan Menteri Perdagangan itu menambahkan bahwa kawasan ASEAN, termasuk melalui perluasan kerja sama RCEP, dapat menjadi solusi untuk mendiversifikasi rantai pasok global yang saat ini terlalu bergantung pada Tiongkok. Hal ini sekaligus bisa membuka peluang investasi dan perdagangan dari Amerika Serikat secara lebih berimbang.

“ASEAN bisa menunjukkan bahwa kawasan ini siap menjadi mitra strategis Amerika, bukan sekadar bagian dari skema ‘hub and spokes’ yang memecah kekuatan regional,” tambahnya.

Selain itu, Mari menekankan pentingnya peran ASEAN dalam memperkuat sistem perdagangan multilateral yang berbasis aturan, seperti WTO. Ia menilai hal ini sangat krusial, terutama bagi negara-negara berkembang.

“Kita harus mendukung multilateralisme, tidak melakukan aksi balasan atau meningkatkan proteksionisme. Sebaliknya, kita perlu merancang kebijakan domestik yang tepat dan menggunakan instrumen yang sah sesuai aturan WTO,” ujar mantan Menteri Perdagangan tersebut.

 Atur dengan Transparansi, Bukan Kuota

Menjawab isu seputar impor pangan, Mari menyatakan bahwa pengendalian impor tetap diperlukan, namun harus dilakukan dengan mekanisme yang sesuai aturan WTO. 

Ia mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak menggunakan istilah kuota, melainkan pendekatan pengaturan yang sah secara internasional.

“Saya tidak pernah pakai kata kuota. Kita bisa atur impor untuk melindungi petani dan menjaga ketahanan pangan, tapi harus transparan, tidak menciptakan monopoli, dan tidak menyebabkan kelangkaan,” jelasnya.

Mari mencontohkan, pada masa panen beras misalnya, impor bisa dihentikan satu bulan sebelum dan sesudah periode panen. Kebijakan seperti ini, menurutnya, sah dilakukan dan efektif menjaga keseimbangan antara produksi dalam negeri dan kebutuhan pasar.

“Kuncinya adalah tata kelola yang baik dan kebijakan yang adil. Jangan sampai demi pengendalian impor, justru harga melonjak dan masyarakat yang dirugikan,” tutup Mari.

Salurkan Anggaran Ke Sektor Memiliki Efek Pengganda

Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Chatib Basri, menekankan pentingnya optimalisasi kebijakan fiskal melalui dua jalur utama belanja negara yang tepat sasaran dan perbaikan administrasi perpajakan. 

Hal ini disampaikan dalam forum The Yudhoyono Institute bertema Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan, dan Ekonomi Global.

Chatib menyebutkan dalam jangka pendek seperti periode 90 hari penundaan tarif dari Amerika Serikat, pemerintah harus fokus menyalurkan anggaran ke sektor-sektor yang memiliki efek pengganda tinggi dan mampu menyerap banyak tenaga kerja.

“Kalau ditanya apa yang bisa dilakukan segera, ya cari sektor dengan multiplier besar. Pariwisata contohnya. Tapi tidak hanya itu, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) juga layak didorong,” ujar Chatib dalam paparannya dikutip, Senin, 14 April 2025.

Menurutnya, belanja pemerintah ke sektor-sektor tersebut akan memberikan dukungan nyata terhadap perekonomian nasional, terutama dalam menjaga daya beli dan lapangan kerja di tengah tekanan global.

Bongkar Masalah Pajak: Fokus pada Kepatuhan, Bukan Tarif

Di sisi penerimaan negara, Chatib mengungkap bahwa inti permasalahan bukan pada besaran tarif, melainkan pada rendahnya kepatuhan pajak (tax compliance). Bahkan, menaikkan tarif justru tidak menjamin peningkatan penerimaan.

“Kalau tarif dinaikkan, penerimaan belum tentu naik. Kalau diturunkan, bisa jeblok. Jadi yang perlu dibenahi adalah kepatuhan wajib pajak,” tegas mantan Menteri Keuangan itu.

DEN, lanjutnya, telah merekomendasikan reformasi administrasi pajak kepada Presiden sejak tiga bulan lalu. Salah satu langkah cepat yang bisa dilakukan adalah memperbanyak Kantor Pajak Menengah, yang secara teknis dinilai mudah diterapkan oleh Kementerian Keuangan.

Selain itu, pemanfaatan teknologi juga menjadi fokus, termasuk kerja sama dengan GovTech untuk pemetaan perilaku wajib pajak melalui data pertukaran dengan sistem Payment ID.

“Kita bisa tahu ke mana pembayaran dilakukan, tahu perilaku pembayar pajak. Ini penting untuk profiling dan pengawasan,” jelasnya.

Chatib juga menyinggung ambang batas penghasilan kena pajak bagi UMKM yang saat ini berada di angka Rp4,8 miliar. Menurutnya, ambang batas ini idealnya diturunkan, namun sebelum itu dilakukan, pemerintah perlu mendorong integrasi dan pelaporan data secara menyeluruh.

“Secara politik memang sensitif. Tapi kalau data masuk, baru kita bisa bergerak lebih luas. Kalau langkah-langkah ini diterapkan, potensi penerimaan fiskal bisa meningkat tanpa harus langsung memperlebar defisit,” pungkasnya.(*)