KABARBURSA.COM – Di tengah situasi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, banyak pengusaha yang terhambat karena adanya monopoli dari pihak tertentu yang menghambat usaha.
Ekonom sekaligus dosen FEB Unhas Muhammad Syarkawi Rauf menyoroti terkait dengan persaingan usaha yang tidak sehat di tengah situasi ekonomi yang sedang sulit.
Menurutnya, selain mengawasi usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berperan penting dalam memperkuat ekonomi. Peran KPPU, kata dia, penting untuk mencegah dominasi dari segelintir pelaku usaha yang cenderung membentuk oligarki.
Lembaga ini juga berperan mengantisipasi penyalahgunaan kekuatan pasar dan mencegah distorsi yang merugikan konsumen serta pelaku usaha kecil.
Menurut dia, penguatan kelembagaan dan kewenangan KPPU merupakan langkah strategis untuk melindungi perekonomian nasional dari bahaya kartel dan kolusi lintas sektor, termasuk dalam era digital dan ekonomi global yang tanpa batas.
Syarkawi menilai, sistem ekonomi pasar yang diperkenalkan oleh Adam Smith tidak mampu mencegah terkonsentrasinya kekuatan ekonomi pada segelintir pelaku usaha.
“Invisible hand tidak bekerja optimal. Akibatnya, ekonomi justru dikuasai oligopolis yang memiliki kekuatan pasar (market power), bahkan menjelma menjadi oligarki yang mengatur urusan publik," kata Syarkawi dalam analisanya pada Senin, 14 April 2025.
Ia menyoroti fenomena kartel di negara-negara emerging markets yang tak hanya terjadi antar pelaku usaha (horizontal), tetapi juga terjadi secara vertikal, yakni antara pelaku usaha dan penyelenggara negara, atau yang ia sebut sebagai public cartel.
Syarkawi mengutip pemikiran Jean Tirole, peraih Nobel Ekonomi 2014, menurut dia pasar dengan struktur oligopoli memerlukan regulasi dan pengawasan ketat.
“Ketika hanya segelintir pelaku usaha yang menguasai pasar, maka kecenderungan mereka adalah menyalahgunakan posisi dominan dengan cara menaikkan harga, membatasi penjualan, dan bersekongkol mengatur pasar,” paparnya.
Menurutnya, pasar persaingan sempurna hanya bersifat artifisial, karena realitasnya pelaku usaha yang menguasai pasar sangat sedikit. Bahkan, ia menambahkan bahwa penguasa di masa lalu kerap menciptakan oligopolis yang kemudian berubah menjadi oligarki, misalnya dalam tata niaga impor pangan dan tender pengadaan pemerintah yang secara desain hanya bisa diikuti pelaku usaha tertentu.
Mencontoh Korea Selatan, Perkuat KPPU
Syarkawi mengusulkan agar Indonesia meniru model Korea Selatan pasca krisis 1997/1998 yang memperkuat otoritas persaingannya, yaitu Korea Fair Trade Commission (KFTC), dengan kewenangan besar untuk mengawasi dan menegakkan hukum terhadap praktik antipersaingan.
Ia menilai, model ini menjadi relevan di tengah proses rekrutmen komisioner baru KPPU periode 2023–2028 yang sedang menunggu persetujuan Presiden dan DPR.
Ia menekankan bahwa KPPU membutuhkan tambahan kewenangan, terutama dalam penggeledahan dan penyadapan untuk membongkar persekongkolan yang kini berlangsung lewat platform digital.
“Perlu pula kewenangan penegakan hukum secara cross-border, karena praktik usaha saat ini tidak lagi dibatasi teritori negara,” ujarnya.
Terkait merger dan akuisisi, Syarkawi menilai skema post-merger notification dalam UU No. 5 Tahun 1999 seharusnya diganti dengan pre-merger notification. “Supaya dampak M&A terhadap persaingan bisa dinilai lebih dini, bukan sekadar sanksi administratif karena keterlambatan notifikasi,” katanya.
Selain soal kewenangan, Syarkawi menyoroti lemahnya struktur kelembagaan KPPU. Hingga saat ini, status kepegawaian staf KPPU belum jelas. Pegawai KPPU terbagi menjadi PNS yang ditugaskan dari Kementerian/Lembaga dan pegawai non-PNS hasil rekrutmen mandiri yang hak-haknya tak setara dengan PNS lainnya.
Lebih lanjut, ia menyayangkan posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPPU yang hanya disetarakan dengan eselon II, padahal memiliki tanggung jawab strategis yang jauh lebih besar. Ia mendesak Kementerian PANRB untuk menyelesaikan ketidakjelasan ini demi efektivitas lembaga.
Menutup analisanya, Syarkawi mengingatkan pada pesan ekonom Daron Acemoglu (MIT) dan James A. Robinson (Harvard) dalam buku Why Nations Fail, bahwa kegagalan negara bukan karena faktor budaya atau geografis, melainkan karena kegagalan pemimpin dalam menciptakan regulasi yang memberdayakan seluruh aset ekonomi.
DPR Desak KPPU Tangani Kasus Predatory Pricing
Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak, mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk segera menuntaskan kasus strategi predatory pricing atau penetapan harga sangat rendah yang bertujuan menyingkirkan pesaing, khususnya di sektor industri semen nasional. Ia menyoroti pentingnya langkah tegas terhadap produsen semen asal Tiongkok yang beroperasi di Indonesia.
Menurut Amin, praktik penjualan di bawah harga pasar tersebut dapat mengganggu daya saing industri semen dalam negeri serta mengancam kesejahteraan para pekerja, terutama mereka yang bekerja di perusahaan semen milik negara seperti PT Semen Indonesia Tbk (SIG/SMGR) dan PT Semen Padang.
"Predatory pricing yang dilakukan oleh pelaku industri semen asing dengan harga jual yang lebih rendah dapat menghancurkan industri semen dalam negeri. Ini berpotensi merugikan perusahaan-perusahaan nasional dan berdampak pada ribuan pekerja yang menggantungkan hidupnya di sektor ini," ujar Amin kepada kabarbursa.com, Sabtu, 4 Januari 2025.
Ia menegaskan perlunya penguatan kapasitas KPPU dengan dukungan anggaran yang memadai agar lembaga tersebut dapat menjalankan fungsi pengawasan dan penindakan secara optimal.
"Kami mendorong agar KPPU diberikan anggaran yang cukup untuk dapat mengawasi dengan baik dan mengambil tindakan tegas terhadap praktik yang merugikan industri dalam negeri," tutur Amin.
Selain itu, Komisi VI DPR juga meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk memperbaiki transparansi sistem pemantauan harga di seluruh rantai distribusi. Amin meyakini, sistem pemantauan harga yang terbuka akan mempermudah identifikasi terhadap potensi manipulasi harga yang bisa merugikan pelaku usaha dan konsumen.
"Pemantauan harga yang lebih transparan akan membantu pemerintah dalam mengidentifikasi adanya ketidakwajaran dalam harga yang beredar di pasar, terutama dalam sektor-sektor yang rawan terhadap manipulasi harga," tambahnya. (*)