Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Lebaran Sepi, Pinjol Naik: Sinyal Darurat Ekonomi

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 13 April 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Citra Dara Vresti Trisna
Lebaran Sepi, Pinjol Naik: Sinyal Darurat Ekonomi Ilustrasi mudik lebaran tahun 2025 sepi. (Foto: doc kabarbursa.com)

KABARBURSA.COM - Kondisi keuangan masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah bawah, kian menunjukkan tekanan yang serius. Salah satu indikator mencolok muncul dari fenomena Lebaran tahun ini, di mana angka pemudik tercatat menurun signifikan dan di saat yang sama, pinjaman online (pinjol) justru melonjak.

Untuk diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan peningkatan pada pembiayaan melalui layanan pinjaman online (pinjol) dan skema buy now pay later (BNPL) milik perbankan. Sementara total pinjaman yang tersalurkan lewat platform pinjol tercatat mencapai Rp80,7 triliun hingga akhir Februari 2025.

Angka tersebut meningkat sebesar 31,6 persen secara tahunan year-on-year (yoy) dibandingkan Januari 2025 yang tercatat sebesar Rp 78,5 triliun. Kenaikan ini terjadi bertepatan dengan periode menjelang Ramadan hingga Lebaran 2025.

Dosen Ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyoroti bahwa konsumsi masyarakat yang lemah tercermin dari keputusan menahan belanja dan tidak pulang kampung selama masa Lebaran. Hal ini menurutnya memperlihatkan bahwa kondisi keuangan banyak keluarga sedang dalam posisi terjepit.

“Artinya, makan tabungan itu sudah mentok sehingga masyarakat menengah bawah sudah mulai pinjam ke pinjol. Ini menggambarkan situasi keuangan masyarakat,” ungkap Wijayanto dalam diskusi yang bertajuk Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia, Jumat, 11 April 2025.

Tak hanya itu, ia juga mencatat adanya tren peningkatan signifikan dalam pemesanan makanan secara daring selama momen Lebaran, yang menurutnya merupakan cerminan dari jumlah warga Jakarta yang tidak mudik.

“Selama Lebaran kemarin, itu terjadi peningkatan pemesanan makanan secara online yang luar biasa dibandingkan Lebaran tahun yang lalu. Artinya, banyak masyarakat Jakarta yang tidak mudik karena mereka sendiri di Jakarta dan pesan makanan online,” lanjutnya.

Bahkan data yang ia kumpulkan dari operator seluler memperkuat temuan tersebut. Dalam dua pekan menjelang Lebaran, tercatat penurunan hampir 25 persen dalam jumlah nomor pelanggan yang keluar dari Jakarta ke daerah lain.

“Beberapa data yang saya kumpulkan dari perusahaan operator telepon seluler, itu juga mengatakan 2 minggu sebelum Lebaran, jumlah nomor telepon pelanggan mereka yang keluar dari Jakarta ke daerah lain itu turun hampir 25 persen,” jelasnya.

Menurut Wijayanto, kondisi ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika masyarakat sudah menahan konsumsi hingga Lebaran atau momen yang lazimnya menjadi puncak konsumsi tahunan, maka kondisi ekonomi riil bisa dikatakan sedang tidak sehat. Ditambah lagi, kekhawatiran masyarakat terhadap potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin mempertegas tekanan tersebut.

“Jadi kalau kita lihat, Lebaran saja mengindikasikan masyarakat kita fokus menahan untuk berbelanja, menahan untuk mudik. Artinya memang kondisi keuangan mereka sedang sulit, apalagi takut dengan fenomena PHK,” ujarnya.

IHSG Merosot Pascalebaran

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diprediksi akan menghadapi tekanan kuat pada perdagangan pekan pertama usai libur panjang. Hans Kwee, analis pasar sekaligus Co-Founder Pasardana, menyatakan bahwa tanggapan pelaku pasar terhadap kebijakan tarif yang dikeluarkan oleh Trump sangat negatif karena dikhawatirkan dapat memperluas konflik dagang dan meningkatkan potensi resesi secara global.

Hans memperkirakan IHSG akan mengalami penurunan signifikan pada Selasa, 8 April 2025, sebagai dampak dari koreksi bursa global ketika pasar Indonesia masih dalam masa libur. Meski demikian, ia juga menilai terdapat peluang terjadinya rebound teknikal menjelang akhir pekan. Ia menyarankan agar investor bersikap lebih strategis dengan mempertimbangkan aksi beli saat harga saham terkoreksi cukup dalam atau menerapkan strategi buy on weakness, mengingat penurunan tajam bisa menjadi peluang investasi jangka menengah.

Dari sisi teknikal, IHSG saat ini bergerak dalam kisaran support antara 6.179 hingga 5.967, sementara resistance berada pada level 6.550 hingga 6.706. Hal ini mengindikasikan bahwa tekanan jual masih berpeluang terjadi, tetapi kemungkinan pemulihan tetap ada apabila sentimen global membaik.

Kebijakan tarif tersebut tidak hanya memengaruhi stabilitas pasar saham, tetapi juga berdampak pada ekspektasi ekonomi makro secara keseluruhan. Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) diperkirakan akan memangkas suku bunga acuan sebanyak tiga hingga empat kali sepanjang tahun 2025 guna meredam dampak perlambatan ekonomi di dalam negeri. Di kawasan Eropa, tekanan serupa mendorong proyeksi bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) akan mengambil langkah pelonggaran moneter dengan penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin dalam tiga tahap mulai akhir April.

Indonesia termasuk salah satu negara yang terdampak cukup besar oleh kebijakan tarif ini, dengan total beban tarif yang mencapai 42 persen jika digabungkan dengan tarif dasar. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi para eksportir nasional. Oleh sebab itu, negosiasi yang cepat dan aktif dengan pemerintah Amerika Serikat sangat penting dilakukan guna mencegah tekanan ekonomi lebih lanjut. Di sisi lain, memperkuat hubungan dengan kelompok ekonomi alternatif seperti BRICS bisa menjadi strategi jangka panjang yang menjanjikan untuk menjaga stabilitas perdagangan.

Dari sisi kinerja pasar, berdasarkan data dari aplikasi IPOT, sepanjang tahun hingga akhir Maret 2025 IHSG tercatat mengalami koreksi sebesar 8,0 persen, dari 7.079 menjadi 6.472. Meski begitu, menjelang libur Lebaran IHSG sempat mencatatkan kenaikan mingguan sebesar 3,2 persen, sebagai respons optimistis terhadap kemungkinan stabilisasi ekonomi global.

Walau sempat menguat, arah pergerakan jangka menengah masih menunjukkan tekanan, dan perkembangan selanjutnya sangat tergantung pada langkah kebijakan fiskal serta arah diplomasi perdagangan yang diambil oleh Indonesia.

Di tengah kondisi global yang sarat ketidakpastian, pasar saham Indonesia berada dalam posisi krusial. Keseimbangan antara risiko geopolitik dan peluang dari sisi kebijakan akan menjadi elemen penting dalam menentukan pergerakan IHSG ke depan.(*)