Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Trump Melunak, AS Sepakat dengan China?

Presiden Amerika Serikat Donald Trump terlihat mulai melunak terhadap China setelah juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menyampaikan terbuka untuk mencapai kesepakatan dengan China.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 13 April 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Yunila Wati
Trump Melunak, AS Sepakat dengan China? Ilustrasi otimistis terhadap kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

KABARBURSA,COM-Setelah Amerika Serikat dan China bersitegang dalam penetapan tarif ekspor, Presiden Amerika Serikat Donald Trump terlihat mulai melunak. Ia menyatakan optimisme untuk mencapai kesepakatan perdagangan dengan China.

Meskipun perang dagang antara kedua negara semakin memanas dan berdampak pada pasar, Trump tetap terbuka untuk negosiasi. Gedung Putih memperingatkan bahwa jika China terus membalas, hal tersebut tidak akan menguntungkan.

Dilansir dari Reuters, Trump menyatakan optimisme terkait pencapaian kesepakatan perdagangan dengan China, demikian disampaikan oleh juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, pada Jumat, 11 April 2025. Hal ini muncul di tengah perang dagang yang semakin memanas antara kedua raksasa ekonomi tersebut, yang telah berdampak pada pasar global.

Leavitt menyampaikan dalam sesi konferensi pers bahwa Presiden Trump telah menegaskan bahwa ia terbuka untuk mencapai kesepakatan dengan China. 

"Presiden sangat jelas menyatakan bahwa dia terbuka untuk sebuah kesepakatan dengan China," ujarnya. 

Leavitt juga menambahkan bahwa jika China terus membalas, itu bukanlah langkah yang menguntungkan bagi negara tersebut.

Optimisme Trump ini datang saat ketegangan perdagangan antara kedua negara terus meningkat, dengan tarif yang diberlakukan kedua pihak yang memengaruhi pasar dan ekonomi global. Pemerintah AS mengharapkan China untuk lebih kooperatif dalam negosiasi guna mencapai solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.

Ekonom Yanuar Rizky menyoroti sejumlah isu penting terkait dengan dominasi hedge fund, deindustrialisasi, dan peran China dalam perekonomian dunia.

Menurutnya, Amerika Serikat (AS) telah mengalami pergeseran signifikan sejak penerapan teori Milton Friedman pada tahun 1971 yang mengoreksi pendekatan Keynesian yang berlaku pada era New Deal Roosevelt

"Kesejahteraan di AS kini lebih bergantung pada pasar keuangan dan hedge fund, yang menjadi mesin utama perekonomian sejak tahun 1970-an," ujarnya melalui keterangan tertulis, dikutip Minggu, 13 April 2025.

Ia juga menyebutkan bahwa deindustrialisasi yang terjadi di AS adalah akibat dari racun monetaris yang sering dikritik oleh ekonom Keynesian, termasuk Bernie Sanders yang pernah mencalonkan diri sebagai presiden dari Partai Demokrat. Model perekonomian AS telah beralih dari basis industri menjadi fokus pada sektor finansial, yang pada gilirannya mempengaruhi ekonomi global.

Mengambil perspektif tentang China, ia menyatakan bahwa meskipun negara tersebut memiliki ambisi besar untuk menjadi penguasa mata uang global, mereka menghadapi tantangan besar dalam melawan hegemon AS yang didukung oleh hedge fund. 

"China harus menghadapi kenyataan bahwa untuk menjadi penguasa mata uang, mereka harus berhadapan dengan kekuatan hedge fund AS yang sangat dominan dalam ekonomi global," katanya.

Ia menjelaskan konflik antara kedua negara besar ini tidak bisa diselesaikan dengan cara saling menjatuhkan, namun dengan memahami keterkaitan antara kekuatan finansial dan produksi barang.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan keprihatinan terhadap kondisi Indonesia yang, menurutnya, telah mengulang sejarah serupa dengan AS, yakni deindustrialisasi yang dipengaruhi oleh penguasaan jabatan-jabatan strategis oleh kelompok monetaris. 

"Indonesia kini mengikuti pola yang sama seperti AS, di mana monetarisasi mengarah pada pengurangan kapasitas industri dalam negeri," ujarnya.

Ia juga menekankan bahwa Indonesia kini berada dalam posisi yang sangat mengkhawatirkan, di mana kepentingan ekonomi global, terutama terkait dengan sumber daya alam, semakin mendominasi. China semakin kuat dalam memanfaatkan sumber daya alam Indonesia melalui hilirisasi, sementara kelompok-kelompok yang berfokus pada portofolio semakin mendapatkan konsesi negara untuk memfasilitasi kepentingan asing.

Dengan keadaan yang semakin kompleks, Yanuar Rizky menegaskan bahwa Indonesia kini diuji untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, tanpa tergantung pada kekuatan luar yang memiliki kepentingan tersendiri. Negara iharus mampu berdiri tegak dan menyelesaikan tantangannya sendiri, atau akan terus terjebak dalam skema yang telah ditentukan oleh kekuatan ekonomi global.

China Tak Tinggal Diam

Di tengah perdagangan yang labil ini, China tak tinggal diam. Kemarin, Beijing mengumumkan mereka akan menaikkan tarif atas produk-produk dari AS hingga 125 persen, sebagai balasan terhadap langkah Trump yang sebelumnya kembali menaikkan tarif barang impor dari China.

Kementerian Keuangan China bahkan menyebut, kebijakan tarif berulang dari Washington ini “sudah menjadi permainan angka yang tidak lagi punya arti ekonomi praktis.” Dalam pernyataannya, mereka menambahkan, “Namun jika AS terus secara substansial melanggar kepentingan China, maka kami siap melawan hingga akhir.”

Ketegangan yang semakin memanas antara dua ekonomi terbesar dunia ini berpotensi memicu resesi global. Padahal sebelumnya Trump baru saja mengumumkan jeda tarif selama 90 hari untuk banyak negara—kecuali China.

Keyakinan Konsumen AS Luntur

Perang dagang yang kian panas ternyata bukan cuma bikin pasar saham gonjang-ganjing, tapi juga mulai menggerogoti rasa percaya diri konsumen di Amerika Serikat. Padahal, ekonomi AS mengawali tahun ini dengan laju yang cukup solid.

Survei awal dari University of Michigan menunjukkan sentimen konsumen AS mengalami penurunan lebih tajam dari yang diperkirakan para ekonom. Direktur survei, Joanne Hsu, menyebutkan penurunan ini terbilang luas dan merata di semua kelompok umur, pendapatan, tingkat pendidikan, wilayah geografis, dan afiliasi politik.

Presiden Wells Fargo Investment Institute, Darrell Cronk, menilai situasi sekarang masih berada di fase awal dari “perubahan rezim perdagangan global.” Ia menambahkan, jeda 90 hari untuk tarif balasan memang sempat menenangkan pasar, tapi di sisi lain juga memperpanjang ketidakpastian.(*)