Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

DPR: Hapus Kuota Impor Bisa Bunuh UMKM

Tanpa pengawasan ketat, Indonesia bisa digulung “tsunami” produk asing yang memicu persaingan tak sehat, mematikan industri lokal, hingga memicu gelombang PHK.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 13 April 2025 | Penulis: Dian Finka | Editor: Yunila Wati
DPR: Hapus Kuota Impor Bisa Bunuh UMKM Salah satu UMKM binaan BRI. Foto: Dokumentasi Bank Rakyat Indonesia Tbk

KABARBURSA.COM  – Anggota Komisi VII DPR RI Novita Hardini, menyoroti rencana pemerintah menghapus kuota impor. Menurutnya, kebijakan tersebut berisiko melemahkan ekonomi nasional secara signifikan, terutama bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). 

Novita berpendapat, tanpa pengawasan ketat, Indonesia bisa digulung “tsunami” produk asing yang memicu persaingan tak sehat, mematikan industri lokal, hingga memicu gelombang PHK.

"Persaingan pasar menjadi timpang. Produk impor dengan harga lebih murah dan biaya produksi rendah berpotensi menyingkirkan produk lokal," jelasnya dalam keterangan, di Jakarta, Jumat, 11 April 2025.

Lebih jauh ia menilai, penghapusan kuota impor akan menurunkan permintaan produk nasional karena konsumen beralih ke barang impor yang lebih murah. Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ini juga menegaskan, industri dalam negeri yang masih berkembang berisiko gagal tumbuh akibat tekanan pasar.

"Peningkatan pengangguran tak terelakkan jika UMKM dan industri lokal mulai gulung tikar. Ini diperburuk oleh kondisi daerah dengan UMR rendah atau SDM terbatas. Neraca perdagangan Indonesia bisa defisit akibat banjir impor tanpa penyeimbang ekspor dan kebijakan protektif," tambahnya.

Legislator asal Jawa Timur itu mengatakan, jika UMKM, yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, menghadapi risiko terbesar. Tanpa proteksi selektif dan dukungan pemerintah, mereka bisa kehilangan pangsa pasar dan mengalami penurunan pendapatan drastis. 

Barang impor yang lebih murah dan lebih dikenal menggerus keberadaan produk lokal. Meski ada dampak positif seperti variasi pilihan barang, dorongan inovasi, dan potensi transfer teknologi, dampak ini lebih terasa di sisi konsumen, bukan pelaku usaha. Sementara bagi ekonomi nasional, manfaat tersebut bersifat jangka panjang dan belum tentu inklusif.

"Perlu Kebijakan Protektif dan Dukungan Nyata dalam merespons wacana penghapusan kuota impor, pemerintah perlu menetapkan langkah-langkah tegas. Misalnya: memberikan subsidi dan insentif kepada UMKM agar tetap kompetitif. Mendorong kampanye nasional untuk mempromosikan produk lokal. Menyediakan pelatihan digital dan pemasaran sebagai program advokasi UMKM. Menetapkan standar mutu impor untuk menyaring barang berkualitas rendah. Menyusun regulasi jelas atas jenis produk yang boleh diimpor, khususnya bahan pokok atau baku yang belum diproduksi dalam negeri," paparnya.

Indonesia bukan negara liberal yang menyerahkan semuanya pada pasar.

"Negara wajib hadir melindungi pelaku usaha lokal dan memastikan keberlangsungan ekonomi yang adil dan berdaulat. Dibutuhkan pengawasan ketat dan keberpihakan nyata agar kebijakan ini tidak menjadi bumerang bagi perekonomian nasional," tutupnya.

Tekanan Kebijakan Dagang Amerika

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan strategi Indonesia dalam menghadapi tekanan kebijakan dagang Amerika Serikat, termasuk tarif tinggi yang diberlakukan terhadap sejumlah negara mitra dagang. Pemerintah Indonesia, kata dia, tidak tinggal diam. Berbagai reformasi fiskal dan administrasi terus digencarkan agar pelaku usaha tidak terlalu terbebani dan tetap kompetitif di tengah dinamika global.

“Kita juga penetapan nilai pabean dan ini juga termasuk yang dikomplain oleh pelaku usaha, termasuk yang dari Amerika. Kita akan menggunakan rentang harga yang berbasis yang valid, jadi ini lebih memberikan kepastian,” ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di menara Mandiri, Jakarta Selatan, Selasa 8 April 2025.

Ia menjelaskan bahwa kuota-kuota impor yang sebelumnya diberlakukan justru menambah beban transaksi, mengurangi transparansi, dan tidak memberikan tambahan penerimaan negara. Dengan menghapus kebijakan tersebut dan menggantinya dengan sistem berbasis data yang valid, proses impor-ekspor akan jauh lebih efisien.

“Kalau ini dihapus akan sangat menentukan banget perbaikan dari sisi import-ekspor Indonesia. Penyediaan perizinan dan tata niaga impor akan disederhanakan berbasis IT dan data,” jelasnya.

Langkah lain yang dilakukan adalah penguatan National Logistic Ecosystem (NLE). Saat ini, 53 pelabuhan dan 7 bandara sudah terintegrasi dengan sistem tersebut. 

“Sehingga seluruh transaksi itu semuanya digital dan jauh lebih cepat dan pasti,” tambah Sri Mulyani.

Ekonom: Tarif Trump Menjepit UMKM Lokal

Ekonom Institute Pertanian Bogor (IPB), Didin Damanhuri, menyebut perdagangan yang tinggi yang diterapkan oleh Amerika Serikat, yakni sebesar 32 persen, berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif langsung terhadap perekonomian Indonesia.

Salah satu dampak yang sudah terlihat adalah depresiasi Rupiah, yang saat ini telah mencapai Rp 16.700 per USD dan berpotensi melampaui Rp 17.000 per USD dalam beberapa hari ke depan.

"Depresiasi Rupiah akan memberikan tekanan lebih besar terhadap biaya impor dan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah," kata Didin kepada wartawan di Jakarta pada Kamis, 3 April 2025.

Selain itu, Didin memperingatkan bahwa pemutusan hubungan kerja atau PHK besar-besaran di perusahaan-perusahaan besar dapat terjadi akibat ketergantungan pada transaksi dalam dolar AS.

Hal ini dapat menyebabkan kemerosotan ekonomi perusahaan-perusahaan yang berisiko bangkrut, yang pada gilirannya akan berdampak pada UMKM, karena banyak usaha kecil yang terhubung dalam rantai pasokan dari perusahaan besar.

"Turunnya penerimaan pajak juga tak terelakkan, yang sudah terlihat sejak beberapa bulan terakhir dengan penurunan sekitar 30 persen," kata Didin.

Dampak lainnya adalah penurunan daya beli masyarakat, yang telah terlihat dengan penurunan jumlah orang yang melakukan mudik dan penurunan perputaran uang yang mencapai 24 persen.

Didin juga menekankan potensi meningkatnya sentimen pesimisme, baik di kalangan pelaku usaha maupun pemerintah, yang dapat memperburuk kepercayaan publik terhadap perekonomian. Tidak hanya itu, ia juga mengingatkan kemungkinan kenaikan tingkat kriminalitas yang dapat meresahkan masyarakat.(*)