Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Bos OJK Beri Pesan ini untuk Danantara

Berdasar pada UU P2SK, OJK memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi seluruh sektor jasa keuangan, termasuk BUMN.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 11 April 2025 | Penulis: Cicilia Ocha | Editor: Syahrianto
Bos OJK Beri Pesan ini untuk Danantara Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta. (Foto: Kabarbursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COMKetua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengingatkan pentingnya praktik manajemen risiko dan tata kelola yang baik dalam pengelolaan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025.

"OJK terus mengharapkan koordinasi dan sinergi baik dengan BPI Danantara maupun pihak terkait lainnya agar BUMN (badan usaha milik negara) sebagaimana dimaksud tetap dapat tumbuh berkesinambungan dengan mengedepankan praktik manajemen risiko dan tata kelola yang baik," ujar Mahendra dalam Konferensi Pers Asesmen sektor jasa keuangan dan kebijakan OJK berdasarkan hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) bulanan Maret 2025, Jumat, 11 April 2025.

Mahendra menambahkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), OJK memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi seluruh sektor jasa keuangan, termasuk BUMN yang bergerak di bidang tersebut atau yang menghimpun dana melalui pasar modal. Semua ini dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.

“OJK memiliki kewenangan mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan termasuk BUMN yang bergerak di sektor jasa keuangan dan yang menghimpun dana di pasar modal dalam kerangka menjaga stabilitas sistem keuangan nasional,” kata Mahendra.

Namun, di balik pernyataan resmi OJK yang menekankan pentingnya tata kelola dan stabilitas sistem keuangan, muncul sorotan kritis dari kalangan ekonom terhadap fondasi hukum dan struktur kelembagaan Danantara itu sendiri. 

Sinyal Privatisasi BUMN dan Kepercayaan

Salah satunya datang dari ekonom Yanuar Rizky yang mempertanyakan implikasi dari status Danantara sebagai entitas non-penyelenggara negara sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2025. Perspektif ini membuka ruang diskusi yang lebih luas, bukan hanya soal tata kelola dan pengawasan, tapi juga soal arah ideologis pengelolaan kekayaan negara dan posisi BUMN di bawah entitas baru ini. 

Menurutnya, aturan ini berimplikasi pada privatisasi penuh BUMN yang masuk ke dalam Danantara. “Dengan masuknya seluruh BUMN ke Danantara dengan dalih leverage untuk mengundang investor asing, sama artinya dengan privatisasi BUMN 100 persen. Ini karena Danantara hakikatnya diperlakukan sebagai entitas swasta,” ujar Yanuar kepada Kabarbursa.com, Senin, 31 Maret 2025.

Ia membandingkan konsep Danantara dengan State-owned Assets Supervision and Administration Commission (SASAC) di China yang dibentuk pada 2003. 

Menurutnya, meskipun seluruh BUMN China berada di bawah SASAC, badan tersebut tetap berstatus sebagai penyelenggara negara. Hal ini berbeda dengan Danantara yang justru didefinisikan sebagai entitas yang bukan bagian dari negara.

“China membuat Sovereign Wealth Fund (SWF) yang terpisah dari SASAC. China Investment Corporation (CIC) dibentuk pada 2008 dari surplus laba moneter bank sentralnya, yang berasal dari keuntungan valuta asing akibat krisis Wall Street 2008,” jelasnya.

Yanuar pun mempertanyakan ide yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam merancang aturan ini, terutama terkait status Danantara yang tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.

“Kalau kita, idenya dari mana untuk dengan tegas menyatakan bukan penyelenggara negara, padahal mengendalikan harta negara?” tanyanya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa kebijakan ini bukan memperkuat negara, tetapi justru melemahkan. Ia membandingkannya dengan model konsolidasi BUMN di China melalui SASAC atau di Malaysia dengan Petronas dan Khazanah yang masih berhubungan erat dengan keuangan negara.

“Kita malah pelemahan negara, yang nggak ada hubungan lagi ke keuangan negara. Jadi inbreng sama dengan hibah ke Danantara, bukan pemindahan antar lembaga negara. Ini bukan semata menghindari KPK dan BPK, tetapi sudah menyentuh aspek filosofi dalam konstitusi soal aset negara,” tegasnya.

Membangun Trust ke Danantara

Di tengah sorotan tajam dari pelaku pasar, kekhawatiran terhadap Danantara tak hanya berhenti pada isu kredibilitas internal. Persoalan ini merembet lebih jauh ke ranah tata kelola dan urgensi pengawasan eksternal yang memadai. Tanpa adanya perbaikan struktural dan keterlibatan aktif dari pemangku kepentingan, krisis kepercayaan ini bisa menjalar menjadi persoalan yang lebih sistemik.

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Bakhrul Fikri, menyoroti bahwa pasar hanya akan memberikan kepercayaan jika suatu lembaga investasi dikelola secara kredibel dan profesional.

"Gimana caranya pasar bisa trust ke Danantara kalau pengelolanya saja masih dipertanyakan? Struktur pengelolanya harus kredibel agar investor merasa aman," ujar Bakhrul kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Rabu, 2 April 2025.

Menurutnya, pasar modal memiliki karakteristik yang tegas dan transparan. Pelaku pasar tidak sekadar melakukan jual-beli aset, tetapi juga menganalisis secara mendalam sebelum memutuskan investasi.

"Market itu clean and clear. Bahkan, pasar sangat kejam dan realistis. Kalau ada indikasi bahwa sebuah investasi berpotensi buruk, pelaku pasar akan cepat menyadarinya dan mengambil keputusan," jelasnya.

Hal ini menunjukkan bahwa tanpa tata kelola yang baik, Danantara berisiko kehilangan kepercayaan dari investor. Jika masalah transparansi dan kredibilitas tidak segera dibenahi, pelemahan kepercayaan ini dikhawatirkan akan semakin dalam. (*)