KABARBURSA.COM – Wall Street kembali terjerembap pada Jumat, 11 April 2025, dini hari WIB dan menghapus sebagian besar kenaikan historis sehari sebelumnya. Penyebabnya adalah perang dagang yang masih panas-dingin antara Presiden Donald Trump dan China yang terus menciptakan ketidakpastian dan membuat pelaku pasar gelisah.
Indeks S&P 500 anjlok 5 persen di sesi perdagangan tengah hari, menyusul lonjakan 9,5 persen pada Rabu setelah Trump mengumumkan jeda untuk sebagian besar tarif impornya ke negara lain. Indeks Dow Jones terperosok 1.724 poin atau 4,2 persen, sementara Nasdaq ambles 5,7 persen.
“Trump tampaknya mengedip. Tapi kerusakan yang terjadi belum sepenuhnya bisa dipulihkan,” tulis analis UBS, Bhanu Baweja, dikutip dari AP di Jakarta, Jumat, 11 April 2025.
Trump memang tampak lebih keras terhadap China, menaikkan tarif barang-barang asal Negeri Tirai Bambu hingga di atas 100 persen. Bahkan, jika pun kelak negosiasi berhasil menurunkan tarif menjadi sekitar 50 persen dan sisanya hanya sepuluh persen untuk negara lain, dampak ekonomi ke Amerika tetap besar. Baweja menyebut tekanan ini bisa mengganggu proyeksi pertumbuhan laba perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dalam beberapa kuartal ke depan.
Kepanikan pasar makin menjadi setelah Gedung Putih pada Kamis meralat angka resmi tarif, bukan 125 persen seperti yang ditulis Trump di platform Truth Social sehari sebelumnya, melainkan 145 persen setelah dijumlahkan dengan tarif-tarif lain yang telah diumumkan sebelumnya. S&P 500 bahkan sempat turun hingga 6,3 persen sebelum sedikit pulih.
“Segalanya masih sangat tidak stabil. Dengan Donald Trump, Anda tidak pernah tahu akan ke mana arahnya,” kata CEO Geo Securities, Francis Lun, “Ini ketidakpastian besar bagi pasar. Ancaman resesi belum benar-benar pergi.”
Di sisi lain, China mencoba menjajaki pendekatan ke negara-negara lain. Tampaknya, Beijing tengah menggalang barisan untuk membentuk front bersama menghadapi tekanan dagang dari Trump. Salah satu dampak langsung terasa di sektor hiburan. Saham Warner Brothers Discovery—perusahaan di balik film “A Minecraft Movie”—terjun 14 persen setelah pemerintah China mengumumkan akan “mengurangi jumlah film Amerika Serikat yang diimpor.” Saham The Walt Disney Company juga ikut terbenam delapan persen.
Juru bicara Administrasi Film China mengatakan, dengan langkah agresif AS menaikkan tarif, sangat mungkin penonton di China menjadi kurang tertarik menonton film-film Hollywood. “Kebijakan salah dari Amerika Serikat tentu akan berimbas pada selera penonton kami,” katanya.
Sehari sebelumnya, Trump dan Menteri Keuangannya, Scott Bessent, telah memberikan pesan keras kepada negara lain saat mengumumkan jeda tarif mereka. “Jangan membalas dan Anda akan mendapat imbalan.”
Menanggapi hal tersebut, Uni Eropa menyatakan akan menunda tindakan balasan dagangnya selama 90 hari. Mereka berharap masih ada ruang untuk solusi melalui jalur perundingan.
Wall Street Masih Labil
Gejolak ini menegaskan alasan kenapa banyak pelaku pasar di Wall Street mulai bersiap menghadapi ayunan pasar yang lebih liar. Indeks S&P 500 sempat nyaris masuk zona bear market, ketika hampir menyentuh titik 20 persen di bawah rekor tertingginya. Yang bikin pusing, fluktuasinya bukan hanya harian, tapi bisa berubah drastis hanya dalam hitungan jam. Hingga Kamis kemarin, indeks S&P 500 masih belum bisa kembali ke posisi semula sebelum Trump mengumumkan paket tarif “Hari Pembebasan” minggu lalu.
Satu-satunya sinyal yang sempat bikin lega datang dari pasar obligasi. Di sana, tekanan terlihat mulai mereda. Dalam sejarahnya, pasar obligasi sering jadi hakim tak kasatmata bagi kebijakan ekonomi yang dinilai ngawur. Tahun 2022 misalnya, gejolak di pasar obligasi membantu menjatuhkan Perdana Menteri Inggris Liz Truss yang cuma bertahan 49 hari—tercatat sebagai masa jabatan tersingkat sepanjang sejarah Negeri Ratu Elizabeth.
Tak heran, penasihat politik Bill Clinton, James Carville, pernah bilang kalau bisa bereinkarnasi, ia ingin jadi pasar obligasi—karena begitu besar pengaruhnya. Awal pekan ini, lonjakan imbal hasil obligasi pemerintah AS sempat mengguncang pasar. Saking paniknya, Trump sampai berkomentar kalau investor tampak “mulai mual”.
Banyak faktor bisa memicu lonjakan itu. Bisa jadi hedge fund tengah menjual obligasi demi cari likuiditas. Bisa juga investor asing mulai mencampakkan aset AS karena perang dagang yang makin tak jelas juntrungannya.
Apa pun penyebabnya, imbal hasil yang lebih tinggi bakal menambah tekanan ke pasar saham. Selain itu, suku bunga pinjaman—termasuk KPR dan kredit usaha—juga terancam naik, menambah beban rumah tangga dan pelaku usaha di AS.
Namun, tensi sempat turun setelah Trump melakukan manuver mundur soal tarif. Imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun langsung turun ke level 4,30 persen, usai rilis data inflasi yang lebih jinak dari perkiraan pada Kamis pagi. Ini menjadi titik balik setelah sehari sebelumnya sempat melonjak ke 4,50 persen dari 4,01 persen di akhir pekan lalu.
Sayangnya, ketenangan itu tak bertahan lama. Menjelang Kamis sore waktu setempat, imbal hasil mulai merangkak naik lagi ke posisi 4,35 persen.
Sementara itu di pasar saham global, bursa-bursa di Eropa dan Asia justru merayakan kabar baik dari jeda tarif Trump. Bursa Jepang, Nikkei 225, melonjak 9,1 persen. Indeks Kospi Korea Selatan melesat 6,6 persen. Sedangkan DAX Jerman ikut menanjak 4,5 persen. Reaksi ini wajar, karena pasar global baru sempat merespons keputusan Trump di sesi perdagangan Kamis mereka.(*)