KABARBURSA.COM – Harga barang-barang konsumsi di China kembali turun pada Maret 2025. Angka ini mempertegas tekanan disinflasi yang tak kunjung reda dan menambah desakan bagi pemerintah Beijing untuk segera menggenjot belanja rumah tangga, apalagi setelah tarif Amerika Serikat resmi melonjak tajam.
Biro Statistik Nasional China mengumumkan pada Kamis bahwa indeks harga konsumen (CPI) turun tipis 0,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Memang penurunannya tidak sedalam bulan sebelumnya yang sempat anjlok 0,7 persen, tapi tetap saja ini jadi bulan kedua berturut-turut inflasi minus.
Penurunan ini sudah diperkirakan oleh para ekonom dalam survei Wall Street Journal, yang memang memprediksi inflasi tahunan akan negatif 0,1 persen.
Namun, tetap saja pasar dan pengamat tak banyak berubah pandangan—mereka masih ragu bahwa upaya Beijing untuk merangsang permintaan domestik akan efektif. Data menunjukkan bahwa masyarakat China masih berat membuka dompet, apalagi dengan pasar properti yang lesu masih menghantui.
Perang dagang jilid baru yang kini makin panas dengan AS juga tak membantu. Alih-alih membawa angin segar, justru menambah ketidakpastian di pasar. Presiden Trump memang sempat membuat kejutan dengan mencabut tarif ke hampir 100 negara lain, tapi untuk produk China, tarif justru dilipatgandakan jadi 125 persen.
Tarif setinggi itu diperkirakan bakal memukul ekspor China yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu. Sejumlah ekonom juga memperingatkan, ekspor yang terpukul ini akan makin membebani harga-harga konsumen—alias disinflasi bisa makin dalam.
Selain CPI, data Kamis kemarin juga menunjukkan bahwa harga dari pabrik-pabrik (producer price index) masih terjebak di zona negatif selama lebih dari dua tahun terakhir. Indeks harga produsen turun 2,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya, lebih dalam dibandingkan penurunan 2,2 persen di bulan Februari dan lebih buruk dari ekspektasi analis sebesar 2,3 persen.
“Tekanan deflasi belum pergi dan kemungkinan besar akan makin parah dalam beberapa kuartal ke depan, terutama kalau perusahaan-perusahaan China makin sulit mengekspor kelebihan pasokan mereka,” kata Julian Evans-Pritchard, Kepala Ekonom China di Capital Economics.
Namun, ada sedikit titik terang. Evans-Pritchard mencatat bahwa inflasi inti—yang tidak memasukkan harga pangan dan energi—justru naik ke 0,5 persen secara tahunan. Sayangnya, kabar baik itu dibayangi oleh penurunan harga energi yang justru makin dalam.
Kini semua mata tertuju ke Beijing, apakah pemerintah akan menggelontorkan stimulus lagi demi meredam efek tarif? Menurut Zhiwei Zhang, Kepala Ekonom di Pinpoint Asset Management, kemungkinan besar pemerintah akan menunggu rilis data perdagangan yang dijadwalkan pekan depan sebelum memutuskan untuk menambah amunisi fiskal. Rapat Politbiro yang dijadwalkan akhir bulan ini juga diperkirakan bakal memberi petunjuk soal waktu dan skala stimulus baru tersebut.
Ekspor Indonesia Terancam Makin Turun
Dalam teori permintaan agregat internasional, pelemahan inflasi—terlebih jika mengarah pada deflasi—merupakan sinyal bahwa permintaan domestik sebuah negara sedang lesu. Karena China merupakan mitra dagang utama Indonesia, maka gejala ini punya implikasi langsung terhadap kinerja ekspor nasional.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ke China mulai melandai sejak 2023. Tahun itu, total ekspor tercatat sebesar USD64,93 miliar, sedikit menurun dari capaian tahun 2022 yang mencapai USD65,83 miliar. Kemudian pada 2024, nilai ekspor kembali turun 4 persen menjadi USD62,4 miliar, meskipun secara total nilai perdagangan kedua negara meningkat.
Penurunan ini tidak bisa dilepaskan dari gejala deflasi yang masih membayangi China. Harga konsumen yang terus melemah, ditambah tekanan pada harga produsen, menjadi pertanda bahwa industri dan rumah tangga di sana sedang menahan belanja. Jika kondisi ini berlanjut, maka permintaan terhadap produk-produk ekspor Indonesia—seperti batu bara, besi baja, dan nikel—bisa semakin surut.
Dalam konteks global yang dibayangi ketegangan perdagangan dan tarif tinggi, pemerintah dan pelaku ekspor perlu mewaspadai risiko ini. Terutama karena sektor ekspor Indonesia masih bertumpu pada komoditas mentah yang sangat tergantung pada daya serap negara mitra.
Tarif Naik Tambah Beban bagi China
Di tengah sinyal lemahnya konsumsi domestik China dan potensi penurunan permintaan ekspor Indonesia, suasana global makin tidak menentu. Beban China kali ini bukan hanya karena tekanan disinflasi domestik, tapi juga karena pukulan tarif baru dari Washington yang datang bertubi-tubi.
Terbaru, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menaikkan tarif impor China dari 104 persen menjadi 125 persen—hanya berselang beberapa jam setelah tarif sebelumnya mulai berlaku. Langkah Trump ini makin memperkeruh suasana global. Trump memang memberikan jeda pengenaan tarif selama 90 hari bagi sejumlah negara lain, namun tidak untuk China.
Sebagai balasan, Beijing langsung mengumumkan tarif tambahan sebesar 84 persen terhadap produk asal Amerika Serikat dan berlaku mulai Kamis, 10 April 2025. Perseteruan ini tak cuma membuat hubungan dagang dua negara tambah panas, tapi juga mulai menyulut efek domino ke pasar energi dan negara mitra dagang lainnya.
“Pasar sepertinya masih berharap akan ada kesepakatan dagang dari China,” ujar Direktur Niaga Energi di Mizuho, Bob Yawger, dikutip dari Reuters. “Tapi kita sudah mulai melihat Amerika membangun kerja sama baru dengan negara-negara yang sebelumnya lebih dekat ke China.”
Jika Trump memilih tarif sebagai senjata andalan, maka strategi China lebih halus tapi mematikan. Mereka memanfaatkan kekuatan pasar domestik mereka sebagai alat tekanan. Target utamanya adalah perusahaan-perusahaan AS yang selama ini menikmati manisnya berbisnis di Negeri Tirai Bambu.
China telah menggunakan dan kemungkinan akan memperluas berbagai senjata ekonominya, dari pengendalian ekspor bahan baku penting untuk industri semikonduktor dan pertahanan, hingga investigasi regulasi yang membuat gentar korporasi Barat. Ditambah lagi, mereka siap menekan perusahaan AS agar menyerahkan hak kekayaan intelektual jika masih ingin menikmati akses ke pasar China.
Menurut Evan Medeiros, mantan pejabat keamanan nasional AS era Obama yang saat ini menjadi profesor di Universitas Georgetown, China secara sistematis telah merakit senjata baru untuk perang dagang. “(Ini) merugikan AS sebesar mungkin, tapi tetap menekan biaya untuk diri sendiri,” katanya, dikutip dari The Wall Street Journal.
Beijing tak hanya bertindak, tapi juga bersuara lantang. Kementerian Perdagangan China menyebut, “Jika AS tetap keras kepala, maka China siap bertarung hingga akhir.” Tarif tambahan yang ditandatangani Trump dalam masa jabatan keduanya ini membuat tarif rata-rata atas barang-barang China nyaris menyentuh 125 persen.
Meski demikian, China masih membuka pintu negosiasi, asalkan dilakukan atas dasar kesetaraan, saling menghormati, dan resiprokal. Kementerian Luar Negeri China menegaskan akan mengambil langkah tegas untuk melindungi kepentingan nasional mereka.(*)