Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ekonom: Perlu Penguatan Strategi Jaga Sektor Perbankan

Ketegangan perdagangan yang tak kunjung reda mendorong para pelaku pasar mengalihkan portofolio ke instrumen safe haven, termasuk dolar AS.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 10 April 2025 | Penulis: Deden Muhammad Rojani | Editor: Yunila Wati
Ekonom: Perlu Penguatan Strategi Jaga Sektor Perbankan Ilustrasi dampak perang dagang terhadap sektor perbankan. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

KABARBURSA.COM - Dampak lanjutan dari perang dagang global, terutama setelah eskalasi kebijakan tarif Amerika Serikat terhadap mitra dagang utama seperti China dan sejumlah negara Asia, turut menyeret stabilitas pasar keuangan Indonesia. 

Di tengah tekanan nilai tukar rupiah dan risiko ketidakpastian global, penguatan strategi kebijakan menjadi keharusan demi menjaga kelangsungan bisnis sektor perbankan, khususnya dalam menghadapi tantangan likuiditas dan risiko kredit yang meningkat.

Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo, menilai bahwa ketegangan perdagangan yang tak kunjung reda mendorong para pelaku pasar mengalihkan portofolio ke instrumen safe haven, termasuk dolar AS. Akibatnya, tekanan depresiatif terhadap rupiah makin tajam.

“Perang dagang yang berkelanjutan meningkatkan ketidakpastian global dan mendorong investor mengalihkan dananya ke aset safe haven seperti dolar AS, menyebabkan tekanan depresiatif pada nilai tukar rupiah,” ujar Arianto kepada KabarBursa.com, Kamis, 10 April 2025.

Saat rupiah sempat menyentuh posisi terendahnya di angka Rp17.261 per dolar AS, Bank Indonesia dihadapkan pada dilema kebijakan. Pilihan menaikkan suku bunga acuan memang dapat membantu menahan depresiasi dan arus keluar modal. Namun, Arianto mengingatkan bahwa kebijakan tersebut juga membawa risiko terhadap permintaan domestik dan profitabilitas perbankan nasional.

“Ketika rupiah menyentuh level terendah secara historis, Bank Indonesia dapat merespons dengan menaikkan suku bunga acuan guna menstabilkan kurs dan menahan arus keluar modal. Namun, langkah ini berisiko menekan permintaan domestik dan memperberat beban pembiayaan di sektor perbankan, sehingga bisa berdampak negatif terhadap kinerja intermediasi dan profitabilitas perbankan nasional,” jelasnya.

Menurutnya, sektor yang paling rentan terhadap dampak kenaikan suku bunga adalah nasabah korporasi dengan eksposur utang dalam valuta asing dan pelaku UMKM yang memiliki keterbatasan arus kas. Kenaikan biaya pinjaman berisiko meningkatkan tingkat gagal bayar yang berdampak langsung pada rasio kredit bermasalah perbankan.

“Kenaikan suku bunga acuan akan meningkatkan biaya pinjaman, yang berpotensi memperburuk kualitas kredit di sektor perbankan. Nasabah korporasi dengan utang valas dan nasabah UMKM dengan arus kas terbatas menjadi paling rentan, karena kombinasi beban bunga yang meningkat dan tekanan biaya impor. Hal ini dapat meningkatkan risiko gagal bayar dan menurunkan rasio kolektibilitas kredit,” tambahnya.

Dalam situasi yang sarat tekanan ini, Arianto menilai pentingnya pemerintah dan otoritas moneter menerapkan bauran kebijakan yang seimbang. Stabilitas nilai tukar tetap menjadi prioritas, namun tidak bisa mengesampingkan keberlanjutan pertumbuhan dan fungsi intermediasi perbankan.

“Pemerintah dan otoritas moneter perlu menerapkan bauran kebijakan yang mencakup stabilisasi nilai tukar melalui intervensi pasar dan diplomasi dagang, disertai insentif fiskal untuk mendukung sektor ekspor dan industri substitusi impor,” tegas Arianto.

Ia menambahkan, kebijakan suku bunga sebaiknya ditempuh dengan sangat hati-hati, sambil memperkuat instrumen makroprudensial agar tidak memperparah tekanan terhadap sektor riil dan keuangan. Bank Indonesia juga perlu memperluas dukungan pembiayaan melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) ekspor dan fasilitas pembiayaan beragun pemerintah untuk membantu pelaku UMKM tetap bertahan dan ekspansif di tengah tekanan global.

“Bank Indonesia perlu menyeimbangkan antara stabilitas moneter dan pertumbuhan dengan menerapkan suku bunga secara hati-hati serta memperkuat instrumen makroprudensial. Dukungan pembiayaan kepada sektor UMKM dan ekspor melalui kredit beragun pemerintah juga penting untuk menjaga kelangsungan bisnis perbankan dalam menghadapi gejolak eksternal,” tutupnya.

Dengan ketegangan global yang belum menunjukkan tanda mereda, arah kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi akan menjadi kunci dalam memastikan ketahanan sektor perbankan nasional sekaligus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah ancaman resesi global. 

Prospek Menjanjikan Sektor Konsumsi

Di tengah kondisi sektor perbankan yang tengah menghadapi tekanan, Muhammad Thoriq Fadilla, seorang Analis Riset dari Lotus Andalan Sekuritas, melihat bahwa sektor konsumsi menawarkan prospek yang lebih menjanjikan dibandingkan sektor keuangan, baik dari segi analisis teknikal maupun dari sisi makroekonomi saat ini.

Thoriq menuturkan bahwa tekanan yang menimpa saham-saham bank besar menuntut investor untuk lebih cermat dalam memilih, dan hal ini justru membuka peluang rotasi ke sektor konsumsi domestik. 

“Jika melihat pergerakan indeks sektoral, sektor konsumer menunjukkan sinyal potensi breakout dari fase konsolidasi jangka menengah, sementara sektor keuangan masih bergerak datar,” ujar Thoriq dalam program Bursa Pagi-Pagi pada Kamis, 10 April 2025.

Ia menambahkan bahwa secara teknikal, indeks sektor konsumsi telah beberapa kali menguji batas resistance dan mulai memperlihatkan pola penguatan yang stabil sejak Maret 2025. Sebaliknya, saham-saham perbankan masih belum mampu menembus area resistance akibat tekanan eksternal yang belum mereda.

Lebih lanjut, Thoriq mengaitkan tekanan yang dialami sektor keuangan dengan ketidakpastian global, terutama berkaitan dengan proyeksi suku bunga Amerika Serikat. Tingginya imbal hasil obligasi AS (US Treasury) mendorong arus keluar modal asing dari saham-saham kapitalisasi besar, terutama perbankan. 

“Kondisi seperti sekarang membuat sektor bank menjadi lebih sensitif, terutama terhadap arah kebijakan moneter AS yang belum pasti, sehingga momentum masuk ke sektor ini masih kurang meyakinkan,” jelasnya.

Sebaliknya, sektor konsumsi dinilai lebih tahan banting di tengah tantangan ekonomi. Stabilnya inflasi dalam negeri dan potensi kenaikan upah minimum tahun ini diyakini mampu menjaga daya beli masyarakat. 

Saham Perbankan Stagnan

Menurut Thoriq, saat ini pergerakan saham perbankan cenderung stagnan karena pasar telah memperhitungkan pembagian dividen dari bank-bank besar seperti BBCA, BBRI, dan BMRI. Hal ini membatasi ruang kenaikan harga saham perbankan dalam jangka pendek.

Sebagai contoh, BBCA akan mendistribusikan dividen tunai sebesar Rp300 per saham untuk tahun buku 2024, termasuk Rp50 per saham yang telah dibayarkan sebagai dividen interim. Dengan jumlah saham beredar 123,28 miliar lembar, total dividen mencapai Rp36,98 triliun, atau sekitar 67,4 persen dari laba bersih Rp54,8 triliun.

BBRI juga menunjukkan performa kuat dengan dividen interim sebesar Rp135 per saham yang dibagikan pada Januari 2025, meningkat 60,7 persen dari tahun sebelumnya. Perusahaan ini mencatatkan laba konsolidasian sebesar Rp45,36 triliun hingga kuartal III 2024, dengan pertumbuhan kredit sebesar 8,21 persen (yoy) mencapai Rp1.353,36 triliun.

BMRI pun tidak ketinggalan dalam konsistensi pembagian dividen. Pada Maret 2024, BMRI membagikan Rp353,96 per saham dengan yield sebesar 7,66 persen dan rasio payout 59,22 persen, memperlihatkan komitmen terhadap para pemegang saham.

Sementara itu, sektor konsumsi mulai menunjukkan sinyal teknikal positif seperti pola breakout di beberapa saham unggulan. Hal ini menjadikan sektor ini menarik untuk dikoleksi, apalagi dalam kondisi ekonomi yang sedang menyesuaikan diri terhadap suku bunga tinggi dan tekanan terhadap belanja rumah tangga. 

“Sektor ini tergolong defensif, memiliki ketergantungan tinggi terhadap belanja rumah tangga, dan lebih tahan terhadap fluktuasi suku bunga. Kebutuhan dasar tetap dikonsumsi meskipun bunga naik,” jelasnya.

Thoriq juga mencermati bahwa tekanan terhadap margin yang dirasakan sektor perbankan tidak terjadi di sektor konsumsi. Emiten seperti ICBP, MYOR, dan KLBF dinilai masih mampu menjaga kinerja keuangan mereka. 

ICBP, misalnya, tetap mampu menaikkan harga tanpa kehilangan volume penjualan karena kekuatan pricing power-nya. MYOR mulai kembali memperluas pasar ekspor, sementara KLBF memiliki arus kas yang solid dengan permintaan produk farmasi yang tetap tinggi.

ICBP mencatatkan penjualan Rp67,91 triliun pada 2023, naik 5 persen dari tahun sebelumnya, dengan margin operasi sebesar 21,2 persen. Pada semester pertama 2024, penjualan naik 7 persen menjadi Rp36,96 triliun dan laba inti tumbuh 20 persen menjadi Rp5,62 triliun. Strategi bertahan semacam ini terbukti efektif menghadapi gejolak ekonomi.

MYOR sendiri melakukan ekspansi agresif ke luar negeri dengan menyasar pasar baru seperti Uzbekistan, Maroko, dan Bangladesh. Pada semester pertama 2024, laba bersih MYOR melonjak hampir 41 persen menjadi Rp1,71 triliun berkat peningkatan penjualan ekspor sebesar Rp6,58 triliun. 

Meski laba akhir tahun turun 6 persen karena kenaikan harga pokok penjualan, langkah ekspansi ini menandai posisi MYOR sebagai pemain global yang semakin matang.

KLBF tampil stabil di tengah tekanan, dengan pertumbuhan penjualan 7,16 persen pada 2024 menjadi Rp32,63 triliun, dan kenaikan laba bersih sebesar 17,13 persen menjadi Rp3,24 triliun. Kinerja ini mencerminkan efisiensi manajemen dalam menjaga margin dan menangkap peluang pasar.

Dari sisi valuasi, Thoriq melihat bahwa saham-saham konsumer kini lebih menarik setelah mengalami koreksi sepanjang 2023 dan bergerak mendatar di awal 2024. Ia melihat adanya peluang kenaikan yang sehat apabila tren teknikal ini terus berlanjut selama dua kuartal ke depan. 

“Dalam sejarahnya, sektor konsumsi biasanya menjadi yang pertama naik saat pasar mulai mengantisipasi stabilnya suku bunga, dan saat ini sinyal ke arah itu mulai muncul,” katanya.

Untuk sektor perbankan, Thoriq memilih untuk berhati-hati. Ia menyarankan investor untuk tidak tergesa-gesa masuk ke saham bank besar kecuali terdapat katalis positif yang nyata, seperti pemangkasan suku bunga acuan atau percepatan penyaluran kredit. 

“Valuasi bank besar saat ini sudah cukup tinggi, dan bila Net Interest Margin (NIM) tertekan sementara kredit tidak tumbuh optimal, itu akan menjadi beban. Saya lebih menyukai bank digital atau bank lapis kedua yang punya potensi pertumbuhan lebih tinggi,” tuturnya.

Sebagai strategi investasi, Thoriq menganjurkan untuk fokus pada saham-saham konsumer yang memiliki kekuatan merek, jaringan distribusi luas, serta margin yang konsisten. Ia menilai bahwa momentum teknikal yang sedang berlangsung saat ini dapat dimanfaatkan sebagai titik masuk oleh investor jangka menengah yang mencari sektor defensif dengan kombinasi potensi teknikal dan fundamental yang seimbang.(*)