KABARBURSA.COM - Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menginstruksikan agar aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tidak terlalu kaku. Menurut dia, kalau aturannya terlalu ketat, industri dalam negeri bisa kesulitan bersaing dan investor asing jadi enggan masuk.
Maka, ia meminta TKDN diganti dengan insentif seperti potongan pajak atau bantuan lainnya agar tetap mendorong industri lokal tanpa mempersulit.
Di sisi lain, pemerintah Amerika Serikat menganggap aturan TKDN Indonesia menghambat perdagangan. Indonesia sedang mempertimbangkan melonggarkan aturan TKDN sebagai bagian dari negosiasi dagang, terutama di tengah kebijakan kenaikan tarif ekspor Presiden Donald Trump sebesar 32 persen terhadap Indonesia.
Sebagaimana diketahui, TKDN di Indonesia diatur melalui sejumlah regulasi yang bertujuan memperkuat industri nasional. Salah satu regulasi utamanya adalah Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang mewajibkan instansi pemerintah mengutamakan penggunaan produk dalam negeri dalam setiap proses pengadaan.
Selain itu, ketentuan teknis mengenai bagaimana tingkat kandungan lokal diukur dan disertifikasi diatur melalui berbagai peraturan Menteri Perindustrian, yang menetapkan syarat dan tata cara sertifikasi TKDN untuk produk-produk tertentu.
Langkah presiden membuka ruang fleksibilitas TKDN tentu menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, ini bisa dibaca sebagai upaya pragmatis untuk meredam tekanan dagang global sekaligus menarik minat investor asing. Namun di sisi lain, wacana pelonggaran ini memantik kekhawatiran soal arah kebijakan industri nasional ke depan. Beberapa pengamat menilai, sinyal kompromi terhadap tekanan eksternal berpotensi melemahkan fondasi kemandirian ekonomi yang selama ini coba dibangun.
Padahal, pemerintah sendiri sejak awal telah mencanangkan ambisi besar terkait TKDN. Di tahun 2024, target nilai kandungan lokal dipatok rata-rata 50 persen secara nasional, lengkap dengan dukungan anggaran lebih dari Rp100 miliar dan program sertifikasi gratis untuk pelaku industri kecil. Ribuan produk pun telah mendapat sertifikasi. Dengan komitmen sebesar itu, wacana pelonggaran justru menimbulkan tanda tanya besar: ke mana sebenarnya arah kebijakan ini akan dibawa?
Sejak dicanangkan, kebijakan TKDN telah diadopsi di berbagai sektor strategis seperti energi, migas, alat kesehatan, dan manufaktur. Namun, realisasi di lapangan masih belum seragam. Di sektor energi dan ketenagalistrikan, misalnya, tingkat kandungan lokal telah menembus angka 48 persen pada 2023, berkat dorongan kuat proyek-proyek pembangkit dan infrastruktur transmisi. Sementara itu, sektor alat kesehatan dan elektronik masih tertinggal, dengan rata-rata TKDN yang belum mencapai 35 persen.
Sektor migas juga menunjukkan tren positif, terutama pada proyek-proyek pengadaan barang dan jasa di hulu migas, yang dalam beberapa kontrak mampu menyentuh TKDN di atas 50 persen. Namun demikian, pelaksanaan di sektor manufaktur umum, termasuk otomotif dan elektronik, masih menghadapi tantangan dalam integrasi rantai pasok lokal dan kemampuan substitusi impor.
Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, memberikan tanggapan bahwa, langkah ini bukan hanya berisiko secara ekonomi, tetapi juga mencerminkan melemahnya komitmen terhadap agenda kemandirian industri nasional.
"TKDN itu bukan sekadar angka. Ia adalah simbol dari keberanian bangsa untuk membangun basis industri sendiri, memperkuat kapasitas produksi domestik, dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri. Ketika relaksasi dilakukan tanpa imbal balik yang jelas dan menguntungkan dari pihak luar, maka ini bukan diplomasi, tetapi bentuk pengikisan kedaulatan ekonomi secara perlahan," ujar Syafruddin dalam keterangan resminya dikutip Kamis, 10 April 2025.
Menurut Syafruddin, pelonggaran kebijakan TKDN secara gegabah berisiko memperluas derasnya arus impor dan menurunkan daya saing industri nasional. Ia mengingatkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan struktural berupa deindustrialisasi dini dan ketergantungan pada produk-produk luar negeri, yang justru bisa semakin dalam jika pemerintah tidak bersikap tegas dalam menjaga proteksi strategis terhadap sektor-sektor kunci.
Syafruddin juga menyoroti pendekatan kebijakan perdagangan yang terkesan reaktif terhadap tekanan mitra dagang besar seperti AS. Ia menilai bahwa penghapusan kuota impor atau pelonggaran tarif tidak boleh dilakukan tanpa kalkulasi ekonomi yang cermat
“Literatur ekonomi jelas menyebutkan bahwa tarif dan kuota impor memang bisa menimbulkan distorsi. Tapi jika perubahan dilakukan tanpa memperbaiki distorsi yang sudah ada, maka bukannya meningkatkan efisiensi, kita justru bisa mengalami penurunan kesejahteraan nasional,” paparnya.
Dalam konteks ekonomi terbuka kecil seperti Indonesia, lanjutnya, efek tidak langsung dari pelonggaran kuota bisa berbahaya. Salah satunya adalah hilangnya insentif bagi produksi dalam negeri karena pasar dibanjiri produk asing dengan harga yang lebih murah.
Ia menekankan bahwa kebijakan perdagangan nasional harus dipandu oleh prinsip optimalisasi, bukan kompromi politik. “Setiap langkah dalam negosiasi dagang harus menjamin adanya manfaat ekonomi yang nyata dan adil bagi kepentingan nasional. Jangan sampai kita hanya menjadi pasar bagi negara lain, sementara industri kita mati pelan-pelan,” tuturnya.
Pernyataan ini muncul di tengah perdebatan publik soal konsesi dagang yang tengah dijajaki Indonesia dalam kerangka kerja sama bilateral dengan AS, termasuk kemungkinan pelonggaran persyaratan TKDN di sektor-sektor strategis.
Pemerintah hingga kini belum memberikan penjelasan rinci mengenai imbal balik atau keuntungan konkret yang diperoleh Indonesia dari langkah tersebut.