Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Bursa Asia Ikutin Tren Pelemahan usai Tarif Trump Naik

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 10 April 2025 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Yunila Wati
Bursa Asia Ikutin Tren Pelemahan usai Tarif Trump Naik Pelemahan tidak hanya terjadi pada IHSG, tetapi juga seluruh bursa di Asia. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji

KABARBURSA.COM - Gejolak besar tengah mengguncang pasar keuangan global, dan Asia tidak luput dari dampaknya. Pada perdagangan Rabu, 9 April 2025, bursa saham Asia mengikuti jejak pelemahan signifikan pasar global setelah pemerintah Amerika Serikat secara mengejutkan memberlakukan tarif tinggi terhadap barang-barang impor asal Tiongkok. 

Tarif bea masuk tersebut, yang mencapai 104 persen, mulai berlaku tepat pukul 12:01 waktu setempat dan memicu reaksi keras di berbagai pasar keuangan dunia.

Langkah proteksionis ini membawa ketidakpastian baru bagi perekonomian global yang tengah berupaya bangkit di tengah tekanan inflasi dan gejolak geopolitik. Tidak hanya menimbulkan ketegangan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, tarif ini juga menjadi pemicu kepanikan di pasar obligasi AS. 

Investor terguncang oleh aksi jual besar-besaran yang terjadi di pasar surat utang, mendorong imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun melonjak 13 basis poin menjadi 4,40 persen hanya dalam sehari. Kenaikan selama tiga hari terakhir hampir menyentuh 40 basis poin, menjadikannya salah satu lonjakan tercepat dalam kurun waktu 25 tahun terakhir.

Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa dana asing mulai meninggalkan aset-aset berbasis dolar AS dan mencari perlindungan di tempat lain, termasuk pasar negara berkembang. Volatilitas pun kian tak terhindarkan. 

Para analis memperkirakan bahwa dampak tarif ini bisa cukup kuat untuk mendorong ekonomi global ke arah resesi. Bahkan JPMorgan dalam catatannya menyebut bahwa tarif sebesar itu ibarat “kenaikan pajak sebesar 400 miliar dolar AS” bagi rumah tangga dan pelaku usaha di Negeri Paman Sam.

Kekhawatiran tersebut tercermin dalam kinerja pasar saham Asia yang beragam. Beberapa indeks utama mengalami tekanan berat, seperti Nikkei225 Jepang yang merosot hampir 4 persen ke level 31.714 dan Taiex Taiwan yang anjlok tajam hingga 5,79 persen ke 17.391. 

Indeks Kospi Korea Selatan dan ASX200 Australia masing-masing tertekan 1,74 persen dan 1,80 persen. Di sisi lain, beberapa indeks di Tiongkok tampak justru menguat, seperti Shanghai Composite dan Shenzhen Component yang naik lebih dari 1 persen. 

Hal ini kemungkinan mencerminkan keyakinan pelaku pasar bahwa pemerintah Tiongkok akan melakukan intervensi untuk menstabilkan pasar domestik mereka.

Pasar mata uang Asia juga turut bergolak. Yen Jepang melemah terhadap dolar, begitu pula dengan won Korea dan dolar Singapura. Rupiah Indonesia tak luput dari tekanan, melemah ke posisi Rp16.872 per dolar AS, seiring dengan meningkatnya permintaan dolar sebagai aset lindung nilai.

Tak hanya sektor keuangan yang terdampak, harga minyak dunia pun ikut terseret turun. Kekhawatiran akan melambatnya permintaan global akibat perang dagang yang memanas menekan harga minyak mentah Brent hingga ke kisaran USD61,43 per barel, sementara WTI turun ke level USD58,08. Ini merupakan posisi terendah sejak Februari 2021, mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap prospek pertumbuhan ekonomi dunia.

Sementara itu, di Eropa, pasar saham turut berada di bawah tekanan berat. Indeks acuan Stoxx 600 dibuka melemah tajam 2,55 persen, dengan sektor perbankan, pertambangan, serta energi memimpin koreksi. Indeks utama seperti DAX Jerman, FTSE Inggris, dan CAC Prancis juga kompak turun mendekati 2 persen.

Secara keseluruhan, pasar global kini tengah berada dalam kondisi penuh ketidakpastian. Ketegangan perdagangan yang meningkat antara AS dan Tiongkok menjadi pemicu utama sentimen negatif, dan jika tidak diredakan dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin gejolak ini akan menjadi krisis global berikutnya yang memaksa bank sentral dunia, termasuk Federal Reserve, mengubah haluan kebijakan moneternya secara drastis.

Analis: Pasar Terlalu Panik

Praktisi pasar modal sekaligus pendiri WH Project, William Hartanto, mengatakan bahwa ini bukan waktunya investor untuk kabur dari pasar, melainkan saat mulai mencicil peluang. Ia menambahkan, momen ini bisa menjadi kesempatan jangka menengah hingga panjang.

“Pasar terlalu panik. Diskonnya besar. Ini bukan sinyal untuk all-in, tapi bisa dicicil pelan-pelan. Saat pasar panik, biasanya itu jadi titik awal untuk rebound,” ujarnya dalam Dialog Analis di Kabar Bursa Pagi-Pagi pada Rabu, 9 April 2025.

Wiliam tak menampik kondisi IHSG saat ini memprihatinkan. Dalam beberapa menit, indeks langsung longsor dan memicu penghentian sementara perdagangan. Namun, menurutnya, ini adalah respons tertunda atas kejatuhan bursa global saat Indonesia sedang libur panjang.

“Pas kita liburan, indeks luar sudah jatuh duluan. Begitu kita buka lagi, pasar langsung membuang saham, takut ketinggalan momen jual. Tapi ini bukan panic sell yang rasional. Lebih ke ikut-ikutan takut,” tutur dia.

Ia justru melihat bahwa level penutupan IHSG di 5.996 kemarin menyimpan harapan. Meski sempat jatuh ke kisaran 6.030, IHSG berhasil bertahan di ambang psikologis 6.000.

“Closing-nya kemarin cukup bagus. Masih menjaga potensi rebound. Belum ada false break dari 6.000. Ini seperti yang terjadi Maret lalu, saat IHSG sempat drop tapi kemudian bangkit lagi,” katanya.

Wiliam memproyeksikan bahwa hari ini IHSG bisa bergerak campuran, menguji kembali level 6.000 sebagai resistance kunci. Jika berhasil ditutup di atasnya, maka peluang rebound dalam jangka pendek terbuka lebar.

“Kalau hari ini bisa ditutup di atas 6.000, itu jadi konfirmasi bahwa investor mulai berani akumulasi. Jadi saran saya, jangan buru-buru jual. Justru ini bisa jadi momen akumulasi bertahap,” tuturnya.

Bagaimana dengan investor asing? Tekanan jual asing memang mencolok kemarin, tercatat Rp3,87 triliun net sell. Tapi menurut Wiliam, itu lebih karena mereka mengalihkan dana ke aset aman, bukan karena kehilangan kepercayaan pada pasar Indonesia.

“Ini bukan soal Indonesia, tapi soal kondisi global. Emas misalnya, sekarang jadi pelarian. Tapi kalau tensi mereda, mereka bisa balik lagi,” tambahnya.

Di tengah kekacauan pasar, Wiliam tetap optimistis bahwa selama level support tidak ditembus secara brutal, ada alasan untuk tetap rasional. Terlebih, dari sisi politik, pasar juga menanti sinyal positif dari pertemuan tokoh nasional serta sarasehan ekonomi yang digelar hari ini.

“Kalau hasil pertemuan itu konkret, itu bisa jadi katalis tambahan. Tapi tetap, saat ini yang utama adalah menjaga emosi. Jangan ikut panik,” ujar dia.(*)