Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Tarif Trump Sulut Kenaikan Empat Persen Harga Minyak Global

Harga minyak mentah berjangka Brent, yang menjadi patokan internasional, melonjak USD2,66 atau 4,23 persen, dan ditutup pada USD65,48 per barel.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 10 April 2025 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Yunila Wati
Tarif Trump Sulut Kenaikan Empat Persen Harga Minyak Global Ilustrasi volatilitas harga minyak dunia. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia kembali melonjak tajam pada perdagangan Rabu waktu setempat atau Kamis dinihari WIB , 10 April 2025. Harga minyak mencatat kenaikan lebih dari 4 persen setelah mengalami tekanan besar di awal sesi. 

Kenaikan ini terjadi di tengah ketegangan geopolitik yang semakin dalam antara Amerika Serikat dan China, serta langkah mengejutkan dari Presiden AS Donald Trump yang memicu gejolak pasar energi global.

Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan terus menaikkan tarif terhadap China, menaikkannya secara signifikan menjadi 125 persen, berlaku segera. Namun, ia juga mengumumkan penangguhan selama 90 hari terhadap tarif serupa bagi sebagian besar negara lain.

Langkah ini dinilai sebagai upaya untuk mempersempit tekanan ekonomi hanya kepada Beijing. Keputusan ini sekaligus menandai eskalasi terbaru dalam perang dagang yang telah lama membayangi pasar global.

Respon pasar terhadap pengumuman ini sangat cepat. Harga minyak mentah berjangka Brent, yang menjadi patokan internasional, melonjak USD2,66 atau 4,23 persen, dan ditutup pada USD65,48 per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) dari Amerika Serikat melonjak USD2,77 atau 4,65 persen menjadi USD62,35 per barel. 

Lonjakan ini terjadi setelah kedua kontrak sempat anjlok sekitar 7 persen di awal perdagangan, menandakan betapa sensitifnya pasar terhadap perkembangan geopolitik saat ini.

Analis pasar Phil Flynn dari Price Futures Group menyebut bahwa Trump berhasil memosisikan China sebagai satu-satunya target tarif, sementara memberikan ruang bagi negara lain untuk bernegosiasi dan menghindari dampak langsung. Menurutnya, ini memberikan sinyal positif bagi pasar bahwa solusi diplomatik masih memungkinkan bagi mitra dagang selain China. Namun, kebijakan ini juga semakin memojokkan China secara ekonomi dan meningkatkan ketegangan yang sudah panas.

Sebagai respons, China tidak tinggal diam. Negeri Tirai Bambu tersebut langsung mengumumkan tarif tambahan sebesar 84 persen terhadap berbagai barang Amerika yang mulai berlaku hari ini. Langkah ini memicu kekhawatiran akan terjadinya resesi global yang dapat mengurangi permintaan energi secara signifikan dalam beberapa bulan ke depan. 

Bahkan, negara-negara Uni Eropa serta Kanada ikut mengambil langkah balasan dengan menerapkan tarif tambahan terhadap produk AS. Kondisi ini lagi-lagi menandakan bahwa tensi dagang kian meluas.

Sentimen pasar juga ditekan oleh data fundamental lainnya. Badan Informasi Energi AS melaporkan bahwa stok minyak mentah AS naik sebesar 2,6 juta barel dalam sepekan terakhir, jauh di atas ekspektasi analis sebesar 1,4 juta barel. 

Peningkatan stok ini memicu kekhawatiran akan potensi kelebihan pasokan, terutama di tengah melemahnya permintaan global. Selain itu, ekspor minyak AS juga dilaporkan menurun, dan muncul kekhawatiran bahwa pasar ekspor ke China bisa tertutup sepenuhnya karena ketegangan politik yang semakin dalam.

Di sisi lain, kebocoran pada jaringan pipa Keystone yang menghubungkan Kanada dan AS juga menambah ketidakpastian. Pihak operator jaringan tersebut mengeluarkan pernyataan force majeure setelah kebocoran minyak di North Dakota menyebabkan penghentian operasi pada Selasa, 8 April 2025. Situasi ini turut menambah tekanan terhadap pasokan dan berkontribusi terhadap volatilitas harga.

Kenaikan harga minyak juga tertahan oleh keputusan terbaru dari OPEC+ yang telah menyepakati peningkatan produksi sebesar 411.000 barel per hari mulai Mei. Langkah ini diperkirakan akan menambah pasokan global dan berpotensi menekan harga jika permintaan tidak pulih sesuai harapan.

Dengan latar belakang gejolak geopolitik, pasokan yang melimpah, dan permintaan yang belum pasti, harga minyak diperkirakan akan tetap fluktuatif dalam waktu dekat. Namun satu hal yang pasti, pasar energi kini tidak hanya dipengaruhi oleh data ekonomi dan produksi, melainkan juga oleh dinamika politik global yang semakin kompleks.

Harga Minyak Global Selama Sepekan

Selama sepekan terakhir, harga minyak global mengalami fluktuasi tajam yang mencerminkan ketegangan geopolitik dan keputusan ekonomi penting yang mempengaruhi pasar energi dunia. 

Pada awal pekan, harga minyak mentah Brent dan West Texas Intermediate (WTI) mencatat penurunan signifikan, mencapai level terendah dalam lebih dari empat tahun. Penurunan ini dipicu oleh kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global akibat eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China. 

Presiden AS, Donald Trump, memberlakukan tarif sebesar 104 persen terhadap impor dari China, yang dibalas oleh Beijing dengan tarif 34 persen pada barang-barang AS. Langkah-langkah ini meningkatkan ketegangan dan menimbulkan kekhawatiran akan resesi global yang dapat menurunkan permintaan energi secara signifikan.

Di tengah sentimen negatif tersebut, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) mengumumkan rencana untuk meningkatkan produksi minyak sebesar 411.000 barel per hari mulai Mei. Keputusan ini menambah tekanan pada pasar yang sudah khawatir akan kelebihan pasokan, sehingga mempercepat penurunan harga minyak.

Namun, pada pertengahan pekan, harga minyak mengalami rebound setelah pernyataan dari pejabat AS yang mengindikasikan kemungkinan peninjauan kembali beberapa tarif yang diberlakukan. Kepala Departemen Perdagangan AS, Howard Lutnick, menyebutkan bahwa Trump akan membuat keputusan akhir terkait kemungkinan pemberian keringanan tarif bagi industri tertentu. 

Pernyataan ini memberikan harapan bagi pasar akan potensi meredanya ketegangan perdagangan, yang mendorong pemulihan harga minyak dari level terendah sebelumnya.

Meskipun demikian, analis tetap waspada terhadap prospek harga minyak ke depan. Goldman Sachs dan Morgan Stanley menurunkan proyeksi harga minyak mereka untuk akhir tahun 2025, dengan Brent diperkirakan rata-rata di USD 69 per barel dan WTI di USD 66 per barel. 

Penurunan proyeksi ini didasarkan pada kekhawatiran akan dampak perang dagang yang berkepanjangan dan peningkatan produksi oleh OPEC+ yang dapat memperburuk kelebihan pasokan di pasar global.

Secara keseluruhan, volatilitas harga minyak selama sepekan terakhir mencerminkan sensitivitas pasar terhadap perkembangan geopolitik dan keputusan ekonomi utama. Investor dan pelaku pasar energi terus memantau situasi dengan cermat, mengantisipasi langkah-langkah selanjutnya dari pemerintah dan organisasi internasional yang dapat mempengaruhi keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar minyak global.(*)