KABARBURSA.COM – Sejak Presiden Donald Trump memulai perang dagang jilid satu beberapa tahun lalu, China diam-diam menyiapkan amunisi balasan. Kini, setelah tarif terbaru Amerika Serikat resmi berlaku tengah malam dengan lonjakan bea masuk hingga 125 persen terhadap semua produk asal China, Beijing tidak tinggal diam.
Hari Rabu ini, pemerintah China mengumumkan akan menaikkan tarif balasan terhadap seluruh produk asal Amerika Serikat menjadi 84 persen. Tak hanya itu, enam perusahaan AS—termasuk perusahaan pertahanan dan dirgantara seperti Shield AI dan Sierra Nevada—masuk daftar hitam dagang. Belasan perusahaan lain, seperti American Photonics dan BRINC Drones, kena kontrol ekspor ketat.
Jika Trump memilih tarif sebagai senjata andalan, maka strategi China lebih halus tapi mematikan. Mereka memanfaatkan kekuatan pasar domestik mereka sebagai alat tekanan. Target utamanya adalah perusahaan-perusahaan AS yang selama ini menikmati manisnya berbisnis di Negeri Tirai Bambu.
China telah menggunakan dan kemungkinan akan memperluas berbagai senjata ekonominya, dari pengendalian ekspor bahan baku penting untuk industri semikonduktor dan pertahanan, hingga investigasi regulasi yang membuat gentar korporasi Barat. Ditambah lagi, mereka siap menekan perusahaan AS agar menyerahkan hak kekayaan intelektual jika masih ingin menikmati akses ke pasar China.
Menurut Evan Medeiros, mantan pejabat keamanan nasional AS era Obama yang saat ini menjadi profesor di Universitas Georgetown, China secara sistematis telah merakit senjata baru untuk perang dagang. “(Ini) merugikan AS sebesar mungkin, tapi tetap menekan biaya untuk diri sendiri,” katanya, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Kamis, 10 April 2025.
Beijing tak hanya bertindak, tapi juga bersuara lantang. Kementerian Perdagangan China menyebut, “Jika AS tetap keras kepala, maka China siap bertarung hingga akhir.” Tarif tambahan yang ditandatangani Trump dalam masa jabatan keduanya ini membuat tarif rata-rata atas barang-barang China nyaris menyentuh 125 persen.
Meski demikian, China masih membuka pintu negosiasi, asalkan dilakukan atas dasar kesetaraan, saling menghormati, dan resiprokal. Kementerian Luar Negeri China menegaskan akan mengambil langkah tegas untuk melindungi kepentingan nasional mereka.
Amerika Masih Butuh China dan Sebaliknya
Data tahun 2023 mencatat, Amerika justru masih mencatat surplus perdagangan jasa terhadap China sebesar USD26,6 miliar. Meski China mengekspor jauh lebih banyak ke AS daripada sebaliknya, Negeri Tirai Bambu tetap menjadi pembeli ketiga terbesar barang-barang buatan Amerika, terutama kedelai, pesawat, dan minyak bumi.
Namun tidak semua opsi akan langsung dikeluarkan oleh China. Misalnya, menurunkan nilai tukar yuan secara drastis atau menjual besar-besaran obligasi pemerintah AS yang mereka pegang. Langkah seperti itu justru bisa mengguncang stabilitas keuangan mereka sendiri dan kontraproduktif terhadap misi memperkuat hubungan dagang dengan negara lain.
Sebagai gantinya, China memilih memperluas pengaruh lewat jalur lain. Dalam beberapa pekan terakhir, pejabat China mulai intensif menjalin komunikasi dagang dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Kamboja, Laos, dan Thailand—sembari mendorong penggunaan yuan dalam transaksi internasional.
Dalam pertemuan dengan beberapa negara Asia Tenggara, pejabat China diam-diam menyampaikan satu pesan utama, yakni mereka ingin menjaga stabilitas nilai tukar yuan. Tujuannya adalah mengurangi dominasi dolar AS atau yang mereka sebut misi dedolarisasi dengan memperluas penggunaan yuan dalam transaksi dagang global.
Di saat ketegangan antara Washington dan Beijing kian panas, setiap gebrakan tarif dari Presiden Trump selalu dibalas dengan reaksi keras dari kubu Xi Jinping. Harapan awal China untuk bisa berunding di periode kedua Trump kini berubah menjadi frustrasi dan kemarahan.
Serangan balasan terbaru dari China menunjukkan bahwa Beijing kini makin fokus menargetkan perusahaan Amerika, khususnya yang bermain di sektor teknologi tinggi. Meski pertumbuhan ekonomi China belakangan melambat, daya tarik pasar domestik masih menjadi senjata utama untuk menekan perusahaan asing yang ingin terus menancapkan bisnisnya di sana.
Fakta menarik adalah investasi asing langsung ke China memang merosot tajam dua tahun terakhir. Tapi beberapa survei terbaru menunjukkan bahwa banyak perusahaan multinasional—dari pabrikan mobil, farmasi, hingga chip—masih memilih bertahan di China.
Namun, risiko makin besar. Laporan terbaru yang ditugaskan oleh U.S. Chamber of Commerce Foundation menyebutkan bahwa dari sekitar 200 perusahaan Amerika yang disurvei dalam dua tahun terakhir, mayoritas menilai China adalah sumber risiko geopolitik nomor satu.
Salah satu alat baru yang kini semakin sering digunakan China adalah peraturan antimonopoli. Contohnya, rencana akuisisi Tower Semiconductor oleh Intel batal karena otoritas China lambat memberikan izin.
Tak hanya itu. Sebagai balasan atas tarif baru Trump, pekan lalu China membuka penyelidikan antimonopoli terhadap DuPont, perusahaan AS yang tahun lalu mendapat 19 persen pendapatannya dari China dan Hong Kong. Tidak ada penjelasan rinci, tapi jelas ini sinyal tekanan politik.
Kasus lain muncul di Panama. Regulator China kini tengah meninjau kesepakatan yang melibatkan pengalihan dua pelabuhan Panama dari CK Hutchison—perusahaan milik taipan Hong Kong Li Ka-shing—ke grup investor yang dipimpin oleh BlackRock. Meski tidak berkaitan langsung dengan daratan China, penyelidikan ini membuat kesepakatan tertunda dan menjadi poin panas dalam hubungan dagang AS-China. Apalagi, kini muncul klaim bahwa CK Hutchison punya tunggakan biaya dan tak mengantongi izin yang dibutuhkan dari Panama.
China juga telah mengembangkan senjata dagang lain yang dikenal dengan nama “unreliable entity list”, semacam versi China dari daftar hitam AS. Perusahaan yang masuk daftar ini dilarang berinvestasi atau berdagang di China, bahkan bisa mendapat larangan masuk untuk karyawan kunci mereka.
Daftar ini pertama dibuat pada 2019 sebagai respons atas langkah AS yang memasukkan Huawei ke daftar hitam nasional. Namun menurut riset Evan Medeiros dari Universitas Georgetown dan Andrew Polk dari Trivium China, selama beberapa tahun daftar ini digunakan dengan sangat hati-hati—hingga 2023.
Tahun itu, China memasukkan Lockheed Martin dan Raytheon Missiles & Defense karena keterlibatannya dalam penjualan senjata ke Taiwan. Efeknya minim karena dua perusahaan itu tidak banyak berbisnis di China daratan. Bahkan anak usaha Raytheon di sektor sipil tetap bisa beroperasi di China.
Tapi semuanya berubah di akhir 2024 dan awal 2025. Menurut jurnal The Washington Quarterly, penggunaan daftar hitam ini meluas baik dari segi frekuensi maupun cakupan. Artinya, makin banyak perusahaan AS yang bisa terancam dicoret dari daftar mitra dagang Beijing, tanpa perlu alasan panjang lebar.(*)