KABARBURSA.COM - Per 9 April 2025, kebijakan tarif impor terbaru Amerika Serikat resmi berlaku dan langsung bikin panas peta perdagangan global. Tarif sebesar 32 persen dikenakan terhadap seluruh produk asal Indonesia, jauh melesat dari tarif dasar sebelumnya di kisaran 10 persen.
Di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump yang comeback ke Gedung Putih, sekitar 60 negara mitra dagang AS juga ikut terjaring dalam gelombang baru perang tarif.
Langkah cepat langsung diambil oleh pemerintah Indonesia. Dalam forum Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Prabowo Subianto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa pemerintah tengah merealokasi impor liquefied petroleum gas (LPG) dari AS sebagai bagian dari strategi negosiasi. Tujuannya menyeimbangkan neraca perdagangan bilateral. Sementara harapannya, mendorong AS menurunkan kembali tarif yang dikenakan.
"Ini bukan sekadar dagang gas, ini bagian dari tawar-menawar strategis," kata Bahli Lahadalia, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), yang tengah menghitung volume pasti impor LPG dan minyak dari AS yang bisa 'ditukar' dengan relaksasi tarif.
Merespons hal tersebut, ekonom dari Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati menilai bahwa langkah negosiasi yang ditempuh pemerintah sudah berada di jalur yang tepat. “Kalau kita lihat, surplus perdagangan Indonesia terbesar datang dari Amerika Serikat,” jelasnya dalam wawancara eksklusif bersama Kabarbursa.com, di Kabar Bursa Hari Ini, Rabu, 9 April 2025.
“Kalau kita diminta balancing, maka salah satu cara paling masuk akal adalah dengan menambah impor dari AS, misalnya LPG, dan sebagai imbal baliknya, kita harap tarif diturunkan,” ujar Nina, sapaan akrabnya.
Menurutnya, surplus Indonesia terhadap AS terutama berasal dari produk padat karya seperti alas kaki, tekstil, mesin, dan elektronik. Artinya, jutaan pekerja Indonesia berada dalam garis depan risiko akibat tarif baru ini. Justru di sinilah letak kekuatan negosiasi Indonesia, menyentuh sisi kemanusiaan dan ketenagakerjaan dari perdagangan internasional.
“Kalau produk-produk kita menyerap banyak tenaga kerja, itu bisa jadi argumentasi kuat bahwa hubungan dagang ini saling menguntungkan, bukan merugikan AS,” ujarnya.
Lantas, jika negosiasi gagal, Nina menyarankan strategi trade diversion alias mengalihkan pasar. Saat ini, sekitar 11,26 persen ekspor Indonesia tertuju ke AS, tapi masih banyak potensi yang bisa digarap.
“Selain AS, pasar utama kita ada di China, India, ASEAN, dan Uni Eropa. Tapi Afrika dan Timur Tengah juga punya peluang besar,” jelasnya.
“Diversifikasi pasar itu seperti punya payung cadangan pas hujan. Jangan cuma punya satu!” imbuh dia.
Indonesia pun sudah melangkah ke arah sana dengan ikut aktif dalam BRICS dan New Development Bank (NDB), sebagai cara membangun jejaring perdagangan non-tradisional yang lebih fleksibel dan bebas dari tekanan politik unilateral.
Nina menggarisbawahi bahwa dalam dunia perdagangan, perhitungan ekonomi tak bisa dipisahkan dari strategi politik. “Politik menentukan kebijakan, tapi ekonomi menentukan apakah itu untung atau rugi,” ujarnya.
Dalam konteks ini, Indonesia memainkan politik bebas aktif yang tak memihak tapi juga tak lemah, menawarkan pasar, tapi juga menuntut keadilan dagang. Kata kuncinya: etikat baik dibalas dengan tarif adil.
Tarif 32 persen dari AS jelas bukan angin lalu. Tapi Indonesia tidak tinggal diam. Dengan strategi negosiasi berbasis LPG, upaya diversifikasi pasar, serta diplomasi dagang yang berbasis pekerja dan padat karya, Indonesia mencoba membalikkan tekanan jadi peluang.
"Negosiasi itu tepat, tapi harus tajam. Harus ada hasil. Kita tunjukkan kita fair, tapi kita juga harus dapat keadilan," tukas Nina.
Perang tarif ini masih panjang, tapi Indonesia sudah mulai menulis bab pertamanya. Mari kita lihat siapa yang lebih lihai memainkan kartu dagang di meja global.
Sebelumnya diberitakan Kabarbursa.com, pemerintah Indonesia resmi mengajukan proposal dagang ke AS sebagai respons atas pemberlakuan tarif impor sebesar 32 persen oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.
Airlangga mengungkapkan, surat dari pemerintah telah diterima oleh United States Trade Representative (USTR) dan juga oleh Sekretaris Komers Amerika Serikat.
“Nah Indonesia dari kedutaan sudah bicara dengan USTR. Pak Presiden, kami laporkan surat Indonesia sudah dikirim dan sudah diterima oleh Amerika melalui Duta Besar Indonesia dan hari ini juga Duta Besar Amerika meminta waktu untuk pembicaraan lanjutan,” ungkap Airlangga dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di menara Mandiri, Jakarta, Selasa, 8 April 2025.
Langkah ini merupakan upaya diplomasi dagang Indonesia untuk meredam dampak negatif dari ketegangan perdagangan global, sekaligus menjaga akses ekspor Tanah Air ke pasar AS.
Proses penyusunan dokumen negosiasi ke AS, pemerintah melibatkan sejumlah asosiasi dan pelaku usaha yang memiliki kepentingan langsung terhadap hubungan dagang kedua negara.
“Mereka (asosiasi) mengapresiasi karena mereka adalah perusahaan Amerika yang di Indonesia dan mereka berkepentingan juga untuk ekspor ke Amerika,” jelasnya.
Selain pendekatan diplomatik, Indonesia juga menyiapkan strategi untuk meningkatkan impor dari AS, khususnya untuk produk-produk yang dibutuhkan dalam negeri namun belum diproduksi secara besar di Indonesia.
“Nah ini kita sudah rapatkan dan kita sedang siapkan teknisnya,” ujar Airlangga. (