KABARBURSA.COM - Presiden Amerika Serikat Donald Trump, mewujudkan ancamannya terhadap China dengan menaikkan tarif impor sebesar 50 persen. Keputusan Trump ini diambil sebagai aksi balasan terhadap China yang membalas tarif resiprokal, dan berlaku mulai Rabu, 9 April 2025.
Dalam sebuah unggahan pribadi di platform Truth Social, Trump mengatakan bahwa negara mana pun yang melakukan pembalasan atau retaliasi terhadap AS dengan mengeluarkan tarif tambahan, akan dibalas dengan tarif baru, bahkan lebih tinggi dari yang sudah diterapkan.
Kemudian, dalam unggahan yang dipublikasikan pada Senin, 7 April 2025 waktu AS, Presiden menyatakan ultimatum kepada Beijing agar mencabut kebijakan kenaikan tarif sebesar 34 persen yang dianggap sebagai pelanggaran perdagangan jangka panjang.
Jika tidak, Amerika Serikat akan membalas dengan tarif tambahan sebesar 50 persen terhadap produk asal China, yang akan mulai berlaku efektif pada 9 April. Ultimatum tersebut dilaporkan oleh media besar seperti CBS News dan USA Today.
Pernyataan keras ini segera memicu reaksi cepat dari China, yang tak tinggal diam dan mengumumkan tarif balasan terhadap produk-produk AS. Efek domino dari perang tarif ini segera terasa di pasar keuangan global.
Usai aksi tersebut, hanya dalam kurun dua hari, kapitalisasi pasar saham di Amerika Serikat menyusut lebih dari USD5 triliun. Penurunan tajam ini mencerminkan kepanikan besar-besaran di kalangan pelaku pasar, yang mendorong arus keluar dana secara masif dari aset berisiko ke instrumen yang dianggap lebih aman.
Sinyal awal dari tekanan pasar sebenarnya sudah muncul sejak Jumat, 4 April 2025. Indeks saham utama di AS seperti S&P 500 dan Nasdaq mengalami koreksi signifikan, sebagai reaksi awal atas memanasnya tensi dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut.
Para investor global juga merespons dengan pola risk-off sentiment, menghindari risiko dan mencari perlindungan dalam bentuk dolar AS, emas, atau obligasi negara maju yang dinilai lebih stabil di tengah ketidakpastian.
Dampaknya tentu tak hanya terasa di Amerika dan Cina. Pasar modal negara berkembang, termasuk Indonesia, berpotensi mengalami imbas cukup besar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berisiko ikut terseret arus penurunan, mengingat keterkaitannya dengan sentimen global. Rupiah pun berpotensi tertekan, terutama jika terjadi eksodus modal jangka pendek ke aset safe haven seperti dolar AS.
China: Trump Salah Sasaran
Pemerintah China tentu saja menilai kebijakan tarif tambahan tersebut bukan hanya tidak adil, tetapi juga mencederai prinsip perdagangan internasional yang selama ini dijaga bersama dalam kerangka multilateral.
Tak hanya menolak, China juga menyatakan komitmennya untuk melawan kebijakan tarif dari Washington. Jika AS tetap melangkah dengan pendekatan koersif ini, China akan membalas dengan tindakan yang dianggap setara, sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak ekonomi dan kedaulatannya.
Beijing menegaskan bahwa langkah retaliasi bukan semata reaksi emosional, melainkan bagian dari strategi menjaga keamanan nasional, stabilitas pembangunan, dan integritas sistem perdagangan global.
Sikap keras China memperlihatkan bahwa hubungan dagang antara kedua negara kini tidak hanya menyangkut persoalan ekonomi, tetapi juga berakar pada persaingan geopolitik yang semakin dalam.
Perang tarif bukan lagi soal neraca perdagangan atau proteksi industri dalam negeri, melainkan telah berubah menjadi ajang unjuk kekuatan dan keteguhan politik masing-masing pihak dalam menentukan arah kebijakan ekonomi global.
Pasar Menanti Respon China
Dalam konteks ini, respons China menjadi sinyal penting bagi negara-negara lain, termasuk negara berkembang seperti Indonesia, untuk bersiap menghadapi potensi guncangan lanjutan di pasar internasional. Ketidakpastian akibat perang dagang bisa menyebabkan gejolak nilai tukar, fluktuasi harga komoditas, serta terganggunya rantai pasok global.
Oleh karena itu, penting bagi negara-negara di luar dua kekuatan besar ini untuk menjaga posisi netral namun waspada, sekaligus memperkuat fondasi ekonomi domestik agar tidak mudah terguncang oleh dinamika eksternal.
Ketika dua raksasa ekonomi saling bersitegang, dunia akan menyaksikan dampak riil yang jauh melampaui sekadar angka tarif dan volume perdagangan. Ini adalah babak baru dari konfrontasi yang bisa menentukan arah masa depan ekonomi global, di mana kebijakan proteksionis kembali mengemuka dan menantang keberlangsungan sistem perdagangan bebas yang telah lama dibangun.
Sebagaimana diberitakan oleh ABC pada Selasa, 8 April 2025, Pemerintah China memperingatkan bahwa ancaman tarif tambahan yang dilontarkan oleh Presiden AS Donald Trump bukan hanya menargetkan perekonomian Tiongkok, tetapi juga mengancam keseimbangan ekonomi global secara keseluruhan.
Menurut Beijing, situasi ini berpotensi mempercepat eskalasi perang dagang, yang pada akhirnya akan merugikan kedua pihak secara finansial dan menyeret negara-negara lain ke dalam turbulensi ekonomi yang tak diinginkan.
Pernyataan China bukan tanpa dasar. Ketidakpastian yang muncul akibat perang dagang telah membuat pasar keuangan di berbagai belahan dunia menjadi jauh lebih fluktuatif. Dari bursa Tokyo hingga Wall Street di New York, investor menunjukkan kegelisahan yang tercermin dalam volatilitas indeks saham utama.
Ketika pelaku pasar global melihat potensi resesi akibat hambatan perdagangan, mereka cenderung beralih ke aset-aset yang lebih aman, dan ini menciptakan gejolak baru dalam sistem keuangan internasional.
Secara konkret, jika ancaman tarif baru dari Presiden Trump benar-benar diterapkan, maka tarif kumulatif terhadap produk China yang masuk ke Amerika Serikat akan mencapai angka mencengangkan, yakni 104 persen. Angka ini merupakan akumulasi dari dua putaran sebelumnya—masing-masing 20 persen dan 34 persen—yang telah diberlakukan sejak dimulainya fase-fase awal perang dagang.
Besarnya tarif ini tidak hanya membebani eksportir China, tetapi juga dapat memukul konsumen dan pelaku bisnis di Amerika sendiri, yang harus menanggung harga barang yang lebih mahal serta potensi gangguan pasokan.
Yang tak kalah mencengangkan adalah sinyal politik yang disampaikan oleh Trump, yang mengisyaratkan potensi penolakan terhadap hubungan diplomatik dengan China. Ini menandai pergeseran yang jauh lebih ekstrem dibandingkan sekadar perang dagang.
Jika hubungan diplomatik antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini benar-benar retak, dampaknya tidak hanya akan terasa dalam sektor perdagangan dan keuangan, tetapi juga pada stabilitas geopolitik global.
Negara-negara yang sebelumnya menjadi mitra dagang dan mediasi, seperti Indonesia, akan dihadapkan pada dilema diplomatik dan ekonomi yang kompleks.
Situasi ini membawa dunia ke persimpangan yang berbahaya. Ketika dua kekuatan besar saling mengancam, risiko disrupsi global menjadi lebih tinggi, dan negara-negara lain harus lebih berhati-hati dalam menyikapi perkembangan.
Diperlukan diplomasi ekonomi yang cerdas, strategi diversifikasi pasar, dan penguatan ekonomi domestik agar tidak terperangkap dalam pusaran konflik yang bukan berasal dari dalam negeri.
Dunia berharap bahwa akal sehat dan kepentingan bersama akan mengalahkan ego politik dan kepentingan jangka pendek, sebelum gesekan dagang ini berubah menjadi krisis yang lebih besar.(*)