Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Sri Mulyani Jamin APBN di Tengah Ancaman Resesi

JP Morgan, Goldman Sachs, semuanya mengatakan bahwa Amerika kemungkinan masuk ke resesi probabilitasnya sekarang naik ke 60 persen.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 09 April 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Pramirvan Datu
Sri Mulyani Jamin APBN di Tengah Ancaman Resesi Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati.Foto: KabarBursa.com/Abbas Sandji

KABARBURSA.COM - Kekhawatiran akan resesi global kembali mencuat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa sejumlah lembaga keuangan besar dunia telah menaikkan proyeksi kemungkinan Amerika Serikat masuk ke jurang resesi. 

Hal ini berdampak langsung terhadap harga-harga komoditas dunia, namun ia memastikan bahwa neraca Indonesia masih cukup kuat untuk menghadapi tekanan tersebut.

"JP Morgan, Goldman Sachs, semuanya mengatakan bahwa Amerika kemungkinan masuk ke resesi probabilitasnya sekarang naik ke 60 persen dari tadinya di bawah 50 persen. Dengan outlook seperti itu tidak heran maka commodity price menurun karena nanti demand turun kalau terjadi resesi," ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di menara Mandiri, Jakarta Selatan, Selasa 8 April 2025.

Ia menjelaskan bahwa harga sejumlah komoditas memang mengalami penurunan signifikan, termasuk minyak mentah yang menjadi indikator utama dalam penghitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

"Kita lihat harga komoditas mengalami koreksi. Harga minyak terutama yang kita lihat sekarang ada di level 64-65. APBN kita menggunakan asumsi 80 dolar jadi ini berarti nanti subsidi lebih rendah," katanya.

Meski tekanan terjadi di banyak sisi, ia melihat hal ini justru bisa meringankan beban fiskal. "Mungkin-mungkin kita tetap jaga, ini juga membuat APBN kita menjadi relatively menjadi berkurang tekanannya meskipun nilai tukar kita agak di atas dari asumsi," tambahnya.

Di sisi lain, harga beberapa komoditas tetap memberikan kontribusi positif terhadap penerimaan negara. "Sementara CPO justru membaik, ini membuat penerimaan negaranya juga membaik," tambahnya.

"Copper juga masih relatively bagus, nickel mengalami penurunan dan coal kita masih agak struggle bahkan sekarang sudah di bawah 100," lanjutnya.

Sektor manufaktur pun disebut masih menunjukkan daya tahan meskipun terjadi tekanan global. Aktivitas industri dalam negeri tetap berada di zona ekspansi. 

"Aktivitas manufacturing sampai hari ini masih di ekspansi tapi tipis di 50,3. Tadi telah disampaikan Pak Menko, Indonesia masih di atas 52. Berarti kita masih ekspansi. Kemarin kita sempat turun tapi kemudian kita naik secara cepat sekali," lanjutnya.

Daya tahan ini tercermin dari pertumbuhan ekspor yang masih menguat, terutama dari sektor pertanian dan manufaktur. Dia menyebut ekspor Indonesia untuk pertanian dalam hal ini pertumbuhan year on year-nya 52 persen, untuk manufaktur 29 persen.

" Itu menggambarkan bahwa sebelum tarif Trump kita cukup baik dan oleh karena itu neraca perdagangan kita tetap terjaga terus," jelas Menkeu.

Ia juga menegaskan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap pasar Amerika Serikat masih dalam batas aman dan tidak terlalu dominan. Dari sisi neraca perdagangan, Sri Mulyani mencatat bahwa Amerika memang merupakan negara tujuan ekspor terbesar kedua bagi Indonesia. Namun, selisihnya dengan negara tujuan ekspor lainnya tidak terlalu jauh, sehingga masih banyak ruang untuk melakukan diversifikasi pasar.

"Tapi antara yang the first largest yaitu China, Amerika itu 23 bilion. Dan ini tidak banyak berbeda dengan destinasi lainnya. Kalau lihat dari tabel ini, Indonesia punya banyak alternatif sebetulnya," ujarnya.

Karena itu, ia menilai bahwa Indonesia masih memiliki ruang untuk memperluas pasar ekspor tanpa terlalu terikat pada satu negara tujuan. 

"Dalam artian seperti yang dikatakan oleh Pak Menko tadi, bahwa destinasi ekspor kita masih bisa kita diversify. Dan attachment atau dependensi kita terhadap Amerika tidak terlalu besar dibandingkan negara-negara lain yang tadi disebutkan," kata Sri Mulyani.

Langkah Reformasi Dan Deregulasi

Adapun Sri Mulyani menegaskan bahwa Presiden Prabowo telah mengarahkan para menteri ekonomi agar aktif menghadapi dinamika ekonomi global yang keras, termasuk mengambil langkah-langkah reformasi dan deregulasi. 

"Presiden Prabowo telah menyampaikan bahwa menteri-menteri ekonomi yang sekarang harus menghadapi kondisi perang ekonomi ini, kita di dalam front line-nya harus berinisiatif untuk melakukan reform dan deregulasi," katanya.

Ia mengingatkan bahwa berbagai guncangan ekonomi yang pernah dialami Indonesia justru menjadi momen penting untuk memperbaiki kebijakan. 

"Kejadian shock seperti ini bukan pertama kali di dalam sejarah kita. Kita pernah mengalami pada tahun 80-an, waktu itu shock minyak dan perang. Kita juga menghadapi kondisi global economic shock tahun 2008-2009. 1998 kita menghadapi krisis ekonomi," ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani menyampaikan bahwa berbagai kejutan ekonomi yang pernah dialami Indonesia justru menjadi momentum untuk melakukan reformasi dan deregulasi. 

Ia menjelaskan bahwa berdasarkan arahan Presiden, bahkan sebelum munculnya kebijakan tarif dari Presiden Trump, para menteri ekonomi telah diminta untuk merumuskan langkah-langkah deregulasi dan penyederhanaan kebijakan sebagai respons terhadap dinamika global yang terus berubah.

"Jadi berdasarkan isu Bapak Presiden, bahkan sebelum Trump liberation day tarif, kita sudah diminta untuk memformulasikan, deregulasi, mempermudah seperti yang tadi telah ditekankan oleh Bapak Presiden," tuturnya.(*)