KABARBURSA.COM – Harga emas kembali mencuri perhatian. Sejak awal 2024, logam mulia ini telah melonjak lebih dari 40 persen dan terus memecahkan rekor baru.
Goldman Sachs Research bahkan merevisi proyeksi harga emasnya hingga akhir 2025, dengan estimasi kenaikan tambahan sebesar 8 persen. Ini berarti harga emas diprediksi menembus USD3.100 per troy ons, atau sekitar Rp51,15 juta, jauh di atas prediksi sebelumnya sebesar USD2.890 (Rp47,68 juta).
Analis Goldman Sachs Lina Thomas, menyebut revisi ini didorong oleh lonjakan permintaan dari bank-bank sentral global. Sejak krisis geopolitik yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina dan pembekuan aset bank sentral Rusia pada 2022, semakin banyak negara mengalihkan cadangan devisanya ke emas sebagai instrumen lindung nilai. Tren ini belum menunjukkan tanda-tanda melambat.
Tak hanya bank sentral, investor ritel pun mulai menumpuk emas, terutama melalui produk ETF. Dengan arah kebijakan suku bunga global yang mulai melunak, emas kembali menjadi aset menarik dibandingkan obligasi.
Kondisi ini diperkuat oleh meningkatnya ketidakpastian arah kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang kembali memunculkan wacana pengenaan tarif impor. Kekhawatiran akan lonjakan inflasi global memicu kenaikan harga emas spot sebesar 0,3 persen ke level USD3.021,88 per ons pada Rabu, 26 Maret 2025, sementara emas berjangka AS ditutup di level USD3.025,90 per ons.
Jeffrey Christian dari CPM Group, mengatakan bahwa investor kini mulai khawatir terhadap ketidakpastian global.
“Mereka beralih ke emas sebagai aset alternatif karena khawatir kebijakan pemerintah AS bisa menjerumuskan dunia ke dalam resesi global,” ujarnya.
Emas telah mencatat kenaikan harga lebih dari 15 persen sepanjang tahun ini dan sempat menembus rekor tertinggi sepanjang masa di USD3.057,21 per ons pada 20 Maret lalu.
Bank Indonesia (BI) turut mencermati dampak kenaikan harga emas terhadap inflasi domestik. Berdasarkan laporan terbaru, BI menyebut bahwa emas perhiasan menjadi kontributor utama terhadap inflasi inti pada Maret 2025.
“Realisasi inflasi inti pada Maret 2025 disumbang terutama oleh inflasi komoditas emas perhiasan,” ungkap Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso dalam keterangannya, Rabu, 9 April 2025.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami inflasi sebesar 1,65 persen secara bulanan dan 1,03 persen secara tahunan.
Ramdan menjelaskan bahwa inflasi inti tetap terkendali meskipun ada tekanan dari harga global, terutama emas. Inflasi inti tercatat sebesar 0,24 persen (mtm), sedikit turun dibanding bulan sebelumnya 0,25 persen.
“Secara tahunan, inflasi inti Maret 2025 tercatat sebesar 2,48 persen, stabil dibandingkan bulan sebelumnya,” ujar Ramdan.
Harga Pangan Bergejolak
Sementara itu, kelompok harga pangan bergejolak atau volatile food mencatat inflasi sebesar 1,96 persen (mtm), melonjak dari deflasi 0,93 persen pada Februari. Pemicunya adalah lonjakan harga bawang merah, cabai rawit, dan daging ayam ras, yang dipengaruhi gangguan cuaca dan peningkatan permintaan jelang Idulfitri.
Secara tahunan, inflasi volatile food tercatat sebesar 0,37 persen, menurun dari 0,56 persen pada bulan sebelumnya.
Ramdan menegaskan bahwa sinergi antara BI, TPIP, dan TPID melalui program GNPIP akan terus diperkuat untuk menjaga kestabilan harga pangan di berbagai daerah.
Di sisi lain, kelompok harga yang diatur pemerintah (administered prices) mencatat inflasi signifikan sebesar 6,53 persen (mtm), berbalik dari deflasi 2,65 persen di Februari. Lonjakan ini terutama dipicu oleh berakhirnya diskon tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga dengan daya hingga 2.200 VA.
Namun, tekanan tersebut sedikit tertahan oleh deflasi pada tarif angkutan udara berkat adanya diskon harga tiket pesawat selama musim liburan Idulfitri. Secara tahunan, kelompok ini masih mencatat deflasi sebesar 3,16 persen, meski lebih rendah dari bulan sebelumnya yang sebesar 9,02 persen.
Harga Emas Naik Tipis di Tengah Sentimen Pasar dan Ketegangan Dagang
Emas sempat mencatat kenaikan hingga 1,3 persen pada perdagangan Rabu dini hari, 9 April 2025, waktu Indonesia Barat, sebelum akhirnya terkoreksi dan hanya mencatatkan penguatan 0,1 persen ke posisi USD2.984,16 per ons troy atau sekitar Rp48,6 juta. Sementara itu, kontrak berjangka emas di Amerika Serikat ditutup naik 0,5 persen ke USD2.990,20 atau sekitar Rp48,7 juta.
Kenaikan harga emas tersebut tertahan oleh lonjakan imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun yang mencapai level tertinggi dalam sepekan terakhir. Umumnya, peningkatan yield membuat emas menjadi kurang menarik karena tidak menghasilkan bunga atau imbal hasil.
Namun demikian, kondisi pasar global tetap mendukung pergerakan positif emas. Melemahnya dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama turut membuat emas lebih terjangkau bagi pembeli dari luar negeri. Sentimen juga diperburuk oleh eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China, setelah Presiden Donald Trump mengumumkan tarif balasan hingga 104 persen terhadap produk impor dari Negeri Tirai Bambu, yang efektif berlaku mulai Rabu.
“Walaupun emas sempat tertekan selama tiga hari berturut-turut, tren jangka menengahnya masih positif. Ketegangan dagang dan prospek pemangkasan suku bunga The Fed kembali menarik perhatian investor pada emas,” ujar Lukman Otunuga, analis senior FXTM, dikutip dari Reuters, Rabu.
Otunuga menambahkan bahwa apabila harga emas mampu menembus level USD3.055, maka peluang untuk melaju ke USD3.100 hingga USD3.130 terbuka lebar. Namun, jika gagal bertahan di atas USD3.000, koreksi ke kisaran USD2.950 hingga USD2.930 mungkin terjadi.
Sejak awal tahun, emas telah mencatatkan kenaikan sekitar 15 persen, dipicu oleh kekhawatiran resesi dan ketidakpastian geopolitik global. Tak heran jika emas kembali menjadi instrumen lindung nilai favorit di tengah pasar keuangan yang diliputi volatilitas.
Pelaku pasar saat ini menantikan rilis risalah pertemuan terakhir Federal Reserve yang dijadwalkan pada Rabu malam waktu setempat. Dokumen tersebut akan menjadi kunci untuk membaca arah kebijakan moneter ke depan. Sejauh ini, peluang pemangkasan suku bunga oleh The Fed pada Mei mendatang diperkirakan sekitar 40 persen.
Dalam catatannya, analis Commerzbank menuliskan, “Ekspektasi pemangkasan suku bunga yang meningkat tajam dalam beberapa hari terakhir berpotensi mendukung kenaikan harga emas lebih lanjut.”
Di sisi lain, logam mulia lainnya mencatat pergerakan bervariasi. Harga perak turun 0,8 persen menjadi USD29,86 per ons (sekitar Rp486 ribu), sementara platinum menguat tipis 0,2 persen ke USD914,83 (sekitar Rp14,9 juta), dan palladium melemah 1,3 persen ke USD906,75 (sekitar Rp14,8 juta).
Harga Emas 2025 Diproyeksi Capai Rekor Baru
Pada Selasa, 8 April 2025, harga emas di pasar spot melonjak tajam ke USD3.007,79 per ons troy (setara Rp49,1 juta), naik lebih dari USD40 hanya dalam 24 jam. Kenaikan ini menandai rekor baru dan memperkuat sinyal bahwa investor sedang mencari aset aman di tengah berbagai tekanan global.
Emas kembali menjadi tujuan utama saat ketidakpastian melanda. Ketegangan geopolitik di Eropa Timur dan Timur Tengah terus meningkat, sementara kebijakan tarif baru dari AS dikhawatirkan memicu gelombang perang dagang baru. Kondisi ini mendorong investor menghindari aset berisiko dan beralih ke logam mulia.
Ancaman inflasi global dan melemahnya prospek pertumbuhan ekonomi juga turut mendorong permintaan emas. Laporan Reuters mencatat bahwa kecenderungan pasar untuk beralih ke aset aman menjadi momentum kuat bagi emas untuk kembali bersinar.
Ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS juga menjadi pendorong utama. Saat suku bunga rendah, emas—yang tidak memberikan bunga—menjadi pilihan yang relatif lebih menarik. Biaya pinjaman yang lebih rendah membuat investasi pada logam mulia terasa lebih rasional, khususnya di tengah kondisi pasar yang bergejolak.(*)