Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

China Bersumpah Lawan Tarif Trump Sampai Akhir

China mengecam ancaman tarif Trump yang dinilai sewenang-wenang dan menyatakan siap melawan habis-habisan demi menjaga kedaulatan serta kepentingan ekonominya.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 08 April 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
China Bersumpah Lawan Tarif Trump Sampai Akhir Ilustrasi Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM - China kembali pasang kuda-kuda. Setelah Donald Trump mengancam bakal menaikkan tarif impor terhadap produk asal Tiongkok hingga 59 persen, pemerintah China langsung membalas dengan nada tinggi, mereka siap melawan sampai titik darah penghabisan.

Lewat pernyataan resmi Kementerian Perdagangan, China menyebut langkah Amerika Serikat memberlakukan “tarif resiprokal” itu tidak punya dasar dan cuma bentuk perundungan sepihak ala koboi ekonomi. Negeri Tirai Bambu ini pun menyebut serangkaian balasan yang mereka lakukan selama ini—termasuk tarif tandingan—adalah langkah sah demi melindungi kedaulatan dan kepentingan pembangunan mereka.

“Ancaman AS menaikkan tarif terhadap China adalah kesalahan di atas kesalahan. Ini membongkar watak memeras yang jadi ciri khas Amerika. China tidak akan pernah tunduk. Kalau AS tetap ngotot, China akan melawan sampai akhir,” bunyi pernyataan tersebut, dikutip dari AP di Jakarta, Selasa, 8 April 2025.

Ancaman Trump sendiri diumumkan Senin kemarin. Ia menulis di akun Truth Social, “Jika China tidak menarik kembali kenaikan tarif tiga 34 persen atas berbagai pelanggaran dagang mereka sampai besok, 8 April 2025, Amerika Serikat akan memberlakukan TARIF TAMBAHAN sebesar 50 persen terhadap China mulai 9 April.” Trump juga menegaskan semua rencana pertemuan dengan China bakal dibatalkan.

Kalau benar diberlakukan, tarif Amerika terhadap barang-barang asal China akan melonjak jadi total 104 persen. Ini mencakup gabungan dari tarif 20 persen untuk kasus perdagangan fentanyl, tarif 34 persen yang diumumkan minggu lalu, dan tambahan 50 persen yang baru diancamkan.

Efeknya? Harga-harga barang untuk konsumen Amerika bisa ikut melambung, sementara China bisa terdorong untuk menjual barang murah ke negara-negara lain atau merapat ke mitra dagang baru macam Uni Eropa.

Sikap Trump yang agresif ini sempat bikin pasar modal dari Tokyo sampai New York bergejolak. Ironisnya, dulu ia kerap membanggakan kenaikan indeks saham selama masa kepemimpinannya. Tapi kali ini, Trump tampaknya sudah siap dengan konsekuensi kerusakan ekonomi jangka pendek. “Saya tidak keberatan menjalani masa sulit karena saya melihat gambar besar yang indah di ujung sana,” ujarnya.

Sayangnya, penjelasan dari para pejabat Trump yang kerap wara-wiri di televisi tidak cukup menenangkan pasar. Bahkan sempat beredar kabar palsu bahwa penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett menyarankan jeda tarif kecuali untuk China. Pasar saham sempat melonjak karena isu itu, tapi langsung rontok lagi setelah Gedung Putih menyebut kabar itu hoaks belaka.

China sendiri masih jadi mitra dagang terbesar AS, terutama untuk produk-produk konsumsi. Tahun 2024, total perdagangan barang kedua negara mencapai sekitar USD582 miliar (setara Rp9.661 triliun), dengan defisit perdagangan AS terhadap China mencapai antara USD263 miliar (sekitar Rp4.365 triliun) hingga USD295 miliar (sekitar Rp4.897 triliun).

Sementara itu, dari Benua Biru, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyindir langkah AS yang semakin menutup diri. Ia bilang, Uni Eropa kini lebih fokus memperluas kerja sama dagang dengan negara lain karena “masih banyak peluang besar” di luar Amerika.

Sedangkan di Hong Kong, suasana politik juga ikut memanas. Kepala Eksekutif John Lee menyebut kebijakan tarif terbaru AS sebagai tindakan “perundungan kejam” yang justru merusak tatanan perdagangan dunia. Ia menyatakan Hong Kong akan makin mendekat ke arah China daratan, meneken lebih banyak perjanjian dagang bebas, dan menggaet modal asing demi membantu dunia usaha lokal bertahan dari gempuran tarif.

Intinya, saat Washington dan Beijing saling gertak, dampaknya bukan cuma terasa di lantai bursa, tapi juga bisa mengacak-acak peta dagang global. Kali ini, China tampaknya ogah jadi bulan-bulanan tanpa perlawanan.

Ekonomi AS Makin Goyah

Belum ada tanda-tanda Trump akan meredakan ketegangan perdagangan global. Padahal, dampaknya sudah mulai kelihatan jelas—pasar saham mulai oleng, proyeksi resesi merangkak naik, dan pelaku pasar mulai waswas. Yang bikin dahi makin mengernyit, Trump justru terus mendesak bank sentral AS alias The Fed buat menurunkan suku bunga, padahal inflasi masih panas dan salah satu biangnya ya tarif itu sendiri.

Bos The Fed, Jerome Powell, baru-baru ini akhirnya angkat bicara. Ia bilang tambahan tarif bisa bikin inflasi makin naik. “Semua masih menunggu dan melihat, termasuk kami,” ucapnya, sambil memberi sinyal belum mau terburu-buru mengerem kebijakan suku bunga saat ini.

Sementara dari Eropa, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen memilih langkah yang lebih strategis. Ia bilang Uni Eropa bakal mengalihkan arah dagangnya ke mitra lain yang lebih stabil, dan menegaskan masih banyak peluang besar di luar Amerika.

Jepang juga mulai angkat alis. Trump sempat pamer sudah bertemu dengan PM Jepang, Shigeru Ishiba, untuk membuka pintu negosiasi dagang. Tapi di media sosial, Trump malah menyindir, “Mereka ogah beli mobil kita, tapi kita impor jutaan mobil mereka.”

Sindiran itu langsung dibalas Ishiba dengan wajah serius. Ia menyebut tarif yang diancam Trump bisa bikin investor Jepang angkat kaki. Menurutnya, ini bukan lagi urusan dagang biasa, tapi sudah masuk ranah “krisis nasional.” Ishiba pun berjanji bakal mendesak Washington buat pikir ulang, sebelum semuanya makin berantakan.(*)