Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Minyak Anjlok Dua Persen, Dekati Level Terendah

Penyebab utamanya: kekhawatiran bahwa tarif dagang terbaru dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump dapat mendorong ekonomi global ke jurang resesi

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 08 April 2025 | Penulis: Syahrianto | Editor: Syahrianto
Harga Minyak Anjlok Dua Persen, Dekati Level Terendah Ilustrasi sebuah titik pengeboran minyak di tengah laut. (Foto: Pexels/Umar Affan)

KABARBURSA.COM - Harga minyak turun 2 persen pada Senin, 7 April 2025 mendekati level terendah dalam empat tahun terakhir. Penyebab utamanya: kekhawatiran bahwa tarif dagang terbaru dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump dapat mendorong ekonomi global ke jurang resesi dan menurunkan permintaan energi dunia.

Seperti dilansir Reuters, minyak Brent turun USD1,37 atau 2,1 persen menjadi USD64,21 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS jatuh USD1,29 atau 2,1 persen menjadi USD60,70 per barel. Keduanya memperpanjang penurunan sekitar 11 persen dari pekan sebelumnya, menjadi penutupan terendah sejak April 2021.

Sesi perdagangan diwarnai volatilitas ekstrem: harga sempat anjlok lebih dari USD3 per barel semalam, lalu memantul naik lebih dari USD1 pada Senin pagi setelah laporan media menyebut Trump mempertimbangkan jeda 90 hari untuk tarif baru. Namun Gedung Putih buru-buru membantah kabar tersebut, membuat harga minyak kembali terseret turun.

Makin menguatkan kekhawatiran investor bahwa perang dagang skala penuh telah dimulai, China, ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS, mengumumkan Jumat, 4 April 2025 lalu akan mengenakan tarif tambahan sebesar 34 persen atas produk-produk AS sebagai balasan atas kebijakan Trump.

Trump tak tinggal diam. Ia mengancam akan mengenakan tarif tambahan 50 persen terhadap China jika Beijing tidak mencabut kebijakan balasan tersebut. Bahkan, Trump menegaskan bahwa semua pembicaraan lanjutan dengan China akan dihentikan.

Sementara itu, Komisi Eropa juga mengajukan tarif balasan sebesar 25 persen atas sejumlah produk AS pada hari Senin, sebagai respons terhadap tarif baja dan aluminium yang diberlakukan Trump, menurut dokumen yang dilihat oleh Reuters.

Revisi Prediksi dan Risiko Resesi

Goldman Sachs memproyeksikan peluang resesi AS sebesar 45 persen dalam 12 bulan ke depan, sekaligus memangkas proyeksi harga minyaknya. Citi dan Morgan Stanley ikut menurunkan outlook harga Brent. JPMorgan bahkan menyebut kemungkinan resesi AS dan global mencapai 60 persen.

Selain bayang-bayang resesi, pasar juga khawatir kebijakan Trump akan menyebabkan kenaikan harga barang secara umum.

Gubernur The Fed, Adriana Kugler, menyatakan bahwa sebagian kenaikan inflasi barang dan jasa pasar mungkin bersifat "antisipatif" terhadap dampak kebijakan administrasi Trump. Ia menegaskan bahwa pengendalian inflasi adalah prioritas utama The Fed.

Bank sentral, termasuk The Fed, biasanya menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi. Namun, suku bunga yang lebih tinggi juga berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak.

Reaksi dari Pemasok

Arab Saudi pada hari Minggu, 6 April 2025 mengumumkan pemotongan tajam harga jual minyak mentah untuk pembeli Asia, menjadikannya harga terendah dalam empat bulan terakhir untuk pengiriman Mei.

"Ini menunjukkan keyakinan bahwa tarif dagang akan memukul permintaan minyak," ujar analis PVM, Tamas Varga. "Bahkan Saudi, seperti kebanyakan pelaku pasar lainnya, percaya keseimbangan suplai-permintaan akan terganggu dan mereka pun terpaksa memangkas harga jual resmi mereka."

Memperparah tekanan penurunan, kelompok OPEC+, yang terdiri dari negara anggota OPEC dan sekutunya, memutuskan untuk mempercepat rencana kenaikan produksi. Mereka kini menargetkan menambah 411.000 barel per hari ke pasar mulai Mei, naik dari rencana sebelumnya sebesar 135.000 barel per hari.

Pada akhir pekan, para menteri OPEC+ menekankan pentingnya kepatuhan penuh terhadap target produksi dan meminta negara yang memproduksi melebihi batas untuk menyerahkan rencana kompensasi sebelum 15 April.

Brent Lampaui Rekor Era Pandemi

Volume perdagangan kontrak berjangka dan opsi Brent di Intercontinental Exchange (ICE) pada Jumat lalu mencapai rekor tertinggi, melampaui level saat pandemi COVID-19. Ini mencerminkan kekhawatiran investor akan perang dagang global dan lonjakan produksi OPEC+.

Penjualan besar-besaran di akhir pekan lalu mendorong harga minyak ke level terendah dalam empat tahun—menandai penurunan mingguan terbesar dalam satu setengah tahun terakhir.

ICE melaporkan bahwa sebanyak 4,067 juta kontrak Brent diperdagangkan, melampaui rekor harian sebelumnya yang tercipta saat pandemi 2020, ketika pasar energi panik akibat anjloknya permintaan minyak.

Trump kembali mengguncang pasar dengan memberlakukan tarif besar-besaran atas mayoritas impor AS—dengan China menjadi salah satu negara yang terkena beban tarif tertinggi.

Pasar minyak makin terpuruk setelah OPEC+ mempercepat rencana penambahan pasokan ke pasar global. Harga Brent sempat jatuh ke level US$62,52 per barel dalam sesi Senin, seiring dengan ancaman Trump atas tarif baru dan lonjakan proyeksi resesi dari bank-bank besar.

Brent kini menjadi barometer harga bagi tiga perempat minyak mentah dunia yang diperdagangkan secara internasional, menurut ICE. Hal ini menjadikannya indikator utama bagi kesehatan pasar minyak global.

"Investor semula menunggu di pinggir lapangan. Tapi begitu mereka melihat tarif benar-benar dijalankan dan muncul kabar dari OPEC, mereka langsung ambil posisi bearish," kata Alex Hodes, direktur strategi pasar dari StoneX. (*)