Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Bitcoin dan Saham Kripto di AS Berguguran Imbas Tarif Trump

Pasar kripto kembali diguncang aksi jual setelah harga Bitcoin anjlok dan saham-saham seperti Coinbase dan Robinhood ikut melemah. Ketegangan perang dagang memicu pelarian besar dari aset berisiko.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 07 April 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Bitcoin dan Saham Kripto di AS Berguguran Imbas Tarif Trump Ilustrasi jatuhnya harga Bitcoin dan saham kripto di AS akibat kebijakan tarif Presiden Donald Trump yang memicu pelarian investor dari aset berisiko. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – Pasar kripto kembali diguyur badai. Saham-saham perusahaan kripto yang terdaftar di bursa Amerika Serikat tumbang pada Senin, 7 April 2025, waktu setempat, mengikuti jejak Bitcoin yang anjlok cukup dalam. Sentimen negatif datang dari eskalasi ketegangan tarif global yang memicu kekhawatiran pasar terhadap ancaman perang dagang.

Dilansir dari Reuters di Jakarta, Senin, Bitcoin sempat menyentuh titik terendahnya sepanjang 2025 setelah jatuh hingga 5,5 persen. Saham MicroStrategy (MSTR.O), perusahaan yang diketahui menyimpan miliaran dolar dalam bentuk Bitcoin di neracanya, ikut melorot lebih dari 10 persen dan menghapus hampir seluruh kenaikan harga dari sesi sebelumnya.

Nasib serupa dialami Coinbase (COIN.O) yang melemah 5 persen. Sementara Robinhood (HOOD.O) terperosok sampai 14 persen usai Barclays memangkas target harganya. Dalam analisanya, Barclays menyebut gejolak pasar kripto saat ini berisiko menekan pendapatan transaksi Robinhood pada kuartal ini. Meski begitu, saham Robinhood sempat memangkas kerugian di sesi perdagangan sore.

Kedua emiten—Coinbase dan Robinhood—sejauh ini telah kehilangan sebagian besar keuntungan yang mereka raup sejak Donald Trump menang dalam pemilu November lalu. Padahal, saat itu pasar sempat bergairah karena janji Trump menjadikan Amerika Serikat sebagai “ibu kota kripto dunia”.

Namun sentimen itu kini seperti sirna ditelan suasana pasar yang kian risk-off. “Sentimen penghindaran risiko yang tinggi telah menutup semua optimisme soal iklim regulasi yang lebih ramah bagi aset kripto,” ujar Susannah Streeter, Kepala Pasar dan Keuangan di Hargreaves Lansdown.

Meski perusahaan-perusahaan kripto tidak langsung terdampak oleh kebijakan tarif baru yang diumumkan Trump, efek psikologisnya tetap terasa. Penerapan hambatan perdagangan terbesar dalam satu abad terakhir dinilai menggerus selera risiko investor di seluruh pasar keuangan. Miliarder Bill Ackman bahkan memperingatkan Amerika bisa saja menuju “musim dingin nuklir ekonomi”.

Jatuhnya pasar ini juga memunculkan kembali perdebatan soal posisi Bitcoin sebagai aset safe haven. Selama ini, kripto kerap digadang-gadang sebagai pelindung nilai terhadap gejolak pasar maupun fluktuasi mata uang.

Namun bagi Trevor Koverko, seorang wirausaha di bidang kripto, klaim tersebut tidak sepenuhnya terbukti. “Kripto sebenarnya bukanlah kelas aset yang benar-benar unik. Ia tetaplah aset berisiko seperti yang lain. Kalau memang mau jadi pelindung nilai, ya harus benar-benar bisa lepas dari pasar umum,” katanya.

Prediksi Ambisius Bitcoin di 2025

Di tengah dinamika pasar kripto yang masih labil, sejumlah analis tetap memegang proyeksi optimistis soal potensi harga Bitcoin di tahun ini. Salah satu yang mencuat datang dari Arthur Hayes, eks bos BitMEX, yang menilai kebijakan moneter The Fed bisa jadi bahan bakar utama lonjakan harga berikutnya.

Harga Bitcoin diperkirakan masih bisa melonjak hingga melampaui USD250.000 (sekitar Rp4,1 miliar) sebelum akhir tahun ini. Prediksi itu dilandasi ekspektasi bahwa pasokan uang fiat bakal terus meningkat yang dinilai menjadi katalis utama bagi reli kripto tertua di dunia.

Reli Bitcoin tahun 2025 disebut bisa mendapat dorongan tambahan jika Federal Reserve Amerika Serikat benar-benar berputar arah ke kebijakan quantitative easing (QE)—yakni saat bank sentral membeli obligasi dan menyuntikkan uang ke perekonomian demi menurunkan suku bunga dan mendorong konsumsi saat kondisi keuangan sedang berat.

“Bitcoin hanya bergerak berdasarkan ekspektasi pasar terhadap pasokan fiat di masa depan,” ujar Arthur Hayes, pendiri BitMEX yang juga Chief Investment Officer Maelstrom, dikutip dari Cointelegraph.

Dalam unggahan Substack pada 1 April lalu, Hayes menulis:

“Jika analisis saya benar bahwa The Fed mulai berputar arah dari quantitative tightening (QT) ke QE untuk obligasi Treasury, maka harga terendah Bitcoin sudah terjadi di kisaran USD76.500 bulan lalu. Sekarang kita mulai mendaki menuju USD250.000 hingga akhir tahun.”

Per 1 April, The Fed memangkas batas maksimum pengurangan obligasi Treasury dari USD25 miliar menjadi USD5 miliar per bulan, sementara pengurangan sekuritas berbasis hipotek (MBS) tetap di angka USD35 miliar.

Menurut pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell yang dikutip Reuters, The Fed mungkin akan membiarkan MBS berakhir tanpa digantikan aset baru dan dana hasil pelunasan pokoknya akan diinvestasikan ulang ke obligasi Treasury.

“Secara matematis, itu akan membuat neraca The Fed tetap. Tapi kenyataannya, itu adalah bentuk QE untuk obligasi Treasury. Begitu kebijakan ini diumumkan secara resmi, harga Bitcoin akan melesat,” kata Hayes.

Di sisi lain, sebagian analis memilih pendekatan yang lebih konservatif dalam memproyeksikan harga puncak Bitcoin dengan mengacu pada korelasinya terhadap indeks likuiditas global.

Menurut Kepala Analis Kripto di Real Vision, Jamie Coutts, pasokan uang yang terus meningkat bisa mendorong harga Bitcoin menembus USD132.000 (sekitar Rp2,16 miliar) sebelum akhir 2025.

Arthur Hayes sendiri mengaku terus membeli Bitcoin dan altcoin—yang ia sebut “shitcoins”—di rentang harga USD90.000 hingga USD76.500. Ini menunjukkan keyakinannya terhadap pasar kripto hingga akhir tahun. Namun, kecepatan ia mengucurkan modal akan tergantung pada ketepatan analisisnya.

“Saya masih yakin Bitcoin bisa mencapai USD250.000 (sekitar Rp4,1 miliar) pada akhir tahun ini. Karena setelah BBC menempatkan Powell pada posisinya, The Fed akan membanjiri pasar dengan dolar,” tulis Hayes.

Ia menambahkan, “Hal ini memungkinkan Xi Jinping memberi instruksi kepada bank sentral Tiongkok (PBOC) untuk menghentikan pengetatan moneter domestik demi mempertahankan kurs dolar-yuan. Akibatnya, jumlah yuan dalam sistem keuangan pun meningkat.”

Meski proyeksi Hayes cukup optimistis, kenyataannya banyak pelaku pasar mematok ekspektasi yang lebih rendah terhadap harga puncak Bitcoin di akhir 2025.

Menurut data dari Polymarket—platform prediksi terdesentralisasi terbesar saat ini—hanya 9 persen trader yang bertaruh bahwa Bitcoin akan menembus USD250.000. Sementara itu, sebanyak 60 persen trader memprediksi Bitcoin hanya akan mencapai USD110.000 (sekitar Rp1,8 miliar) pada 2025.

Meskipun begitu, selera risiko global dan harga Bitcoin masih tertekan oleh kekhawatiran tarif global akibat kebijakan dagang Presiden AS Donald Trump. “Posisi jangka panjang masih terjaga, tapi momentum jangka pendek tampaknya masih sangat bergantung pada berita-berita makro yang sedang berkembang,” kata Stella Zlatareva, editor di platform investasi aset digital Nexo.(*)