KABARBURSA.COM – Arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia semakin deras menyusul ketidakpastian global yang dipicu oleh kebijakan tarif agresif dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Langkah proteksionisme tersebut telah menciptakan tekanan besar pada nilai tukar rupiah dan mendorong Bank Indonesia (BI) untuk memperkuat intervensinya, termasuk melalui pasar Non Deliverable Forward (NDF) di off-shore.
Trump kembali mengobarkan perang dagang di periode keduanya dengan menerapkan tarif tambahan terhadap puluhan negara. Dalam pidatonya di Rose Garden, Gedung Putih, ia menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan memulihkan keadilan dalam perdagangan global.
“Negara kita telah dijarah, dirampok, diperkosa, dan dijadikan korban dalam sistem dagang global yang timpang,” kata Trump.
Sangat tidak terduga, kebijakan tersebut tidak hanya menargetkan China dan Meksiko, tetapi juga menyasar Indonesia dengan tarif sebesar 32 persen untuk barang-barang ekspor.
Akibatnya, langkah itu berdampak langsung terhadap stabilitas keuangan negara-negara emerging market, termasuk Indonesia. Arus keluar dana asing meningkat signifikan, dan rupiah tertekan di tengah penguatan indeks dolar dan turunnya minat investor terhadap aset-aset berisiko.
Ketegangan semakin meningkat setelah Tiongkok merespons dengan tarif balasan pada 4 April 2025, memperluas potensi gangguan pada arus perdagangan global.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso, menyampaikan bahwa Bank Indonesia merespons kondisi tersebut dengan intervensi aktif di pasar off-shore.
“Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 7 April 2025 memutuskan untuk melakukan intervensi di pasar Non Deliverable Forward (NDF) guna stabilisasi nilai tukar Rupiah dari tingginya tekanan global,” ujar Ramdan dalam keterangan resminya pada Senin, 7 April 2025.
Bank Indonesia menilai bahwa gejolak pasar akibat perang dagang AS–Tiongkok kali ini berbeda dari sebelumnya. Tidak hanya menciptakan ketegangan diplomatik, kebijakan ini langsung berdampak pada kestabilan nilai tukar dan sentimen investor di negara berkembang.
Lonjakan premi risiko, melemahnya indeks saham, serta peningkatan outflow dana asing menjadi sinyal bahaya yang tak bisa diabaikan.
Ramdan juga menambahkan bahwa selain intervensi di NDF, BI akan mengoptimalkan penggunaan instrumen likuiditas domestik untuk menjaga stabilitas pasar uang.
“Bank Indonesia akan melakukan optimalisasi instrumen likuiditas Rupiah guna memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan domestik,” tegasnya.
Intervensi BI di NDF menjadi instrumen penting karena sebagian besar spekulasi terhadap Rupiah terjadi di pasar derivatif luar negeri. Ketika tekanan global meningkat, pasar NDF kerap menjadi cermin ekspektasi investor terhadap nilai tukar, sehingga pengelolaan di sektor ini berperan dalam meredam volatilitas.
Meningkatnya tekanan eksternal membuat otoritas moneter Indonesia harus lebih proaktif dan terkoordinasi. Dalam konteks ini, langkah stabilisasi BI menjadi sinyal penting kepada investor bahwa otoritas tetap siaga menjaga stabilitas ekonomi makro.
Sebelumnya, data Bank Indonesia juga mencatat bahwa arus keluar dari pasar SBN dan saham mencapai puluhan triliun rupiah sejak awal tahun. Tekanan semakin meningkat pasca pengumuman kebijakan tarif AS dan retaliasi Tiongkok. Di tengah ketidakpastian, ketahanan eksternal Indonesia menjadi sorotan, terutama dalam hal cadangan devisa dan manajemen neraca transaksi berjalan.
Sementara itu, pelaku pasar mengharapkan respons lanjutan dari pemerintah Indonesia untuk memperkuat koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Selain intervensi di pasar keuangan, dibutuhkan langkah diplomatik untuk menjamin akses perdagangan dan menjaga hubungan bilateral dengan negara-negara mitra dagang utama.
Bank Indonesia menegaskan bahwa mereka akan terus memantau dinamika pasar dan menyesuaikan respons kebijakan secara fleksibel, demi menjaga stabilitas makroekonomi nasional. Di tengah tekanan yang terus berlanjut, langkah ini menjadi bukti keseriusan otoritas dalam menjaga keseimbangan sistem keuangan Indonesia.
“Serangkaian langkah-langkah Bank Indonesia ini ditujukan untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah serta menjaga kepercayaan pelaku pasar dan investor terhadap Indonesia,” pungkas Ramdan.
Diberitakan KabarBursa.com sebelumnya, Pasar valuta asing kembali menjadi sorotan tajam. Di saat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di level Rp16.555, lonjakan volume pada kontrak Non-Delivery Forward (NDF) justru memunculkan tanda tanya besar: siapa yang sebenarnya diuntungkan, dan siapa yang membayar biaya moneter dari mekanisme ini?
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky mengungkap fenomena menarik yang terjadi di pasar derivatif rupiah, khususnya pada instrumen NDF. Menurutnya, permainan harga di pasar ini bukan sekadar teknikal, melainkan juga menyimpan potensi arbitrase yang ditanggung oleh negara.
Ia menjelaskan bahwa dinamika bid dan ask di pasar forward menunjukkan adanya "inisiator" yang secara aktif menggerakkan harga. "Harga kalau naik, ada bid inisiator. Harga kalau turun, ada ask inisiator," ujar Yanuar.
Untuk diketahui, spot USD/IDR saat ini tercatat di level Rp16.555, sementara kontrak NDF (non-delivery forward) dalam tenor 1 tahun mencerminkan nilai sekitar Rp17.000 per dolar AS dengan mid price sebesar 290 poin. Selisih antara kurs spot dan NDF ini menurut Yanuar membuka peluang arbitrase yang cukup signifikan bagi pelaku pasar.
"Barang NDF jelas akan untung kalau dapat arbitrase dengan spot," kata Yanuar.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa para pelaku pasar yang memegang posisi NDF memiliki insentif kuat untuk mendorong harga spot mendekati level NDF.
“Jadi, spot begitu buka besok, ya pasti akan ada yang pancing ke angka NDF,” tambahnya.
Namun, Yanuar menyoroti intervensi Bank Indonesia (BI) yang kerap hadir dalam momen seperti ini untuk menjaga stabilitas rupiah. Jika BI melepas dolar dengan harga di bawah nilai NDF, misalnya di level Rp16.500, maka para pemegang kontrak NDF akan mendapat pasokan dolar untuk menyelesaikan kontraknya, dengan keuntungan besar di tangan mereka.
Bayangkan skenarionya: begitu pasar spot dibuka, harga dipancing naik mendekati angka NDF. Tapi kemudian BI masuk, melempar dolar dan menekan spot ke Rp16.500. Maka para pemegang kontrak NDF yang dijanjikan nilai tukar Rp17.000 akan memperoleh dolar dari BI untuk menyelesaikan posisi mereka. Mereka untung 500 poin. Tapi siapa yang menanggung 500 poin itu? BI alias biaya moneter negara.
"Yang di NDF akan dapat USD yang dilepas BI untuk dia selesaikan NDF-nya, untung dia 500 poin yang biayain BI," kata Yanuar. "Ya, permainan psikologis selalu ada, tapi siapa yang diuntungkan juga dari biaya moneter, kan itu realita,” lanjutnya.
Menariknya lagi Yanuar mencermati bahwa aktivitas di kontrak overnight NDF cukup ramai, sementara volume di pasar spot justru tipis. Ini menunjukkan bahwa spekulasi jangka sangat pendek sedang tinggi-tingginya, tapi tidak diimbangi oleh likuiditas riil.
"Yang pasang overnight NDF rame, spot-nya tipis," tandasnya.
Untuk diketahui, berdasarkan data forward rate USD/IDR per 4 April 2025 menunjukkan bahwa kontrak overnight NDF mencatat bid sebesar 21 poindan ask sebesar 23 poin, dengan mid price di level 22 poin. Angka ini menjadi yang tertinggi di antara tenor pendek lainnya, seperti kontrak tomorrow next dan spot forward, yang masing-masing hanya berada di kisaran 1–2 poin.
Kontrak dengan tenor lebih panjang juga mencatat angka yang cukup signifikan. Kontrak 1 tahun misalnya, memiliki mid price sebesar 290 poin, sementara kontrak 2 tahun tercatat di angka 855 poin.
Meskipun demikian, aktivitas terlihat lebih menonjol pada tenor pendek, terutama kontrak overnight, sementara pasar spot menunjukkan volume yang lebih tipis. (*)