Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pertumbuhan Ekonomi AS Berubah Jadi Ancaman Resesi

Kebijakan tarif Trump bak bom waktu ekonomi, memangkas daya beli rumah tangga dan memicu ketakutan resesi global.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 07 April 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Pertumbuhan Ekonomi AS Berubah Jadi Ancaman Resesi Ilustrasi warga Amerika Serikat. Foto: Flickr.

KABARBURSA.COM – Pasar saham Amerika Serikat seperti dijatuhkan dari tebing minggu lalu, tepat setelah Presiden Donald Trump mengumumkan tarif impor tertinggi dalam lebih dari seabad terakhir. Hanya dalam dua hari, lebih dari USD6 triliun (sekitar Rp98.790 triliun) kekayaan pasar menguap begitu saja. GB

Apakah ekonomi riil akan ikut tergelincir menyusul pasar? Belum ada yang bisa jawab pasti. Tapi tanda-tandanya mengarah ke sana.

Sampai Maret kemarin, ekonomi AS sejatinya masih tampak perkasa. Pertumbuhan lapangan kerja melonjak, dengan tambahan 228 ribu pekerjaan non-pertanian, pengangguran rendah di 4,2 persen, upah naik dengan laju sehat, dan PHK masih jarang terdengar.

Namun semua itu berubah hari Rabu pekan lalu, momen yang oleh Trump dijuluki sebagai Liberation Day. Ia mengumumkan tarif superjumbo atas hampir seluruh negara mitra dagang. Menurut JPMorgan, itu adalah lonjakan pajak terbesar di AS sejak tahun 1968.

Keesokan harinya, Wall Street langsung kelimpungan. Indeks S&P 500 anjlok 4,8 persen, penurunan terdalam sejak 2020. Hari Jumat, giliran China membalas dengan tarif tambahan 34 persen untuk semua produk asal AS dan membuat S&P 500 kembali nyungsep hingga 6 persen.

Kini, investor menghadapi tekanan berlapis, antara lain jatuhnya harga saham, aksi jual di pasar obligasi berisiko (junk bond), ongkos tarif yang mencekik, hingga bayang-bayang lemahnya ekspor akibat balasan dari negara lain. Semuanya bikin proyeksi ekonomi mendadak suram.

Dalam laporan riset bertajuk There Will Be Blood, Kepala Riset Ekonomi JPMorgan Bruce Kasman menaikkan probabilitas resesi global menjadi 60 persen, dari sebelumnya 40 persen. JPMorgan kini memprediksi ekonomi AS akan menyusut 0,3 persen pada kuartal IV 2025 dibanding tahun sebelumnya, padahal sebelumnya mereka memperkirakan masih bisa tumbuh 1,3 persen. Pengangguran juga diperkirakan naik ke 5,3 persen tahun depan.

“Besarnya dampak kebijakan perdagangan AS, kalau bertahan dalam jangka waktu lama, cukup untuk menggiring ekspansi ekonomi AS dan global yang semula sehat ke jurang resesi,” kata Kasman, dikutip dari The Wall Street Journal, Senin, 7 April 2025.

Ia menambahkan, “Efek guncangan tarif ini bisa jadi makin parah karena akan memukul kepercayaan pelaku usaha dan mengacaukan rantai pasok global.”

Kepala Ekonom di Nomura, David Seif, belum berani memproyeksikan resesi secara teknis—yakni dua kuartal berturut-turut dengan pertumbuhan negatif. Tapi, menurutnya, masyarakat tetap bisa merasa seperti mengalami resesi meskipun data PDB belum mencatatkan kontraksi dua kuartal.

“Konsumsi riil bisa sangat lemah, dan itu bisa terasa lebih menyakitkan dibanding apa yang tercermin di angka PDB,” kata Seif.

Ia memperkirakan ekonomi AS hanya akan tumbuh 0,6 persen pada kuartal IV tahun ini dibanding tahun sebelumnya. Trump sendiri percaya tarif akan membawa pulang kembali pekerjaan ke Amerika.

Namun, gagasan itu masih terus diperdebatkan. Dan meskipun benar, efek awalnya justru diprediksi akan memperlemah belanja rumah tangga—faktor yang menyumbang lebih dari 70 persen PDB AS.

Tarif Trump bisa Pangkas Daya Beli Rumah Tangga Rp62 Juta

Kenaikan tarif besar-besaran yang diumumkan Presiden Donald Trump pada 2 April lalu bakal menggandakan rata-rata tarif efektif di Amerika Serikat dari hanya 2,5 persen tahun lalu menjadi sekitar 22,5 persen. Angka ini berasal dari kalkulasi Yale Budget Lab yang dikenal berpandangan moderat-kiri.

Jika digabungkan dengan tarif tambahan lain yang sudah lebih dulu dikenakan sejak Februari dan Maret, efek langsungnya adalah kenaikan harga-harga sekitar 2,3 persen. Akibatnya, setiap rumah tangga rata-rata akan kehilangan daya beli senilai USD3.800 (sekitar Rp62 juta). Dampak ini diprediksi bakal memangkas pertumbuhan PDB kuartal IV sebesar 0,9 poin persentase dibanding tahun lalu, menurut Ernie Tedeschi, Direktur Ekonomi di Yale.

Tapi yang lebih sulit diprediksi, kata Tedeschi, adalah bagaimana ketidakpastian ini akan mengubah perilaku pelaku usaha dan konsumen.

Trump sudah sejak dekade 1980-an bersikeras bahwa sistem perdagangan global tidak adil bagi AS. Namun, hingga pekan lalu banyak pelaku pasar masih berharap bahwa tarif-tarif itu cuma taktik negosiasi sementara, bukan kebijakan permanen. Harapan itu muncul dari pernyataan Trump dan beberapa pembantunya, seperti Menteri Keuangan Scott Bessent.

Dalam wawancara di NBC pada Minggu kemarin, ketika ditanya apakah Trump berencana bernegosiasi, Bessent menjawab, “Saya kira kita harus lihat dulu apa tawaran negara-negara lain dan apakah itu bisa dipercaya.” Ia juga menambahkan, “Saya tidak melihat alasan kenapa kita harus langsung mengasumsikan akan terjadi resesi.”

Padahal menurut survei Goldman Sachs pada 20 Maret lalu, pasar hanya memperkirakan rata-rata tarif AS akan naik sekitar 8,6 poin persentase sepanjang 2025. Kenyataannya, per 2 April, Trump sudah menaikkannya hampir 20 poin.

Trump sendiri sempat menegaskan lewat media sosial bahwa kebijakannya tidak pernah berubah, seolah menutup pintu negosiasi. Tapi pada Jumat lalu, ia mengklaim Vietnam bersedia menghapus seluruh tarif terhadap produk AS jika ada kesepakatan dagang. Pasar pun menafsirkan ini sebagai sinyal negosiasi terbuka dan saham-saham seperti Nike—yang punya banyak rantai pasok di Vietnam—langsung melonjak.

Kekacauan pesan seperti ini malah makin menambah ketidakpastian. Para ekonom menilai dunia usaha jadi semakin enggan mengambil keputusan investasi besar dan ini akan memperlemah permintaan agregat. “Saya kira alasan kenapa pasar jadi begitu bergejolak adalah karena pebisnis tidak tahu, sejam lagi tarifnya akan berubah atau tidak,” kata Tedeschi.

Padahal dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi AS sempat jadi idaman dunia. Sejak 2022, pertumbuhan PDB stabil nyaris 3 persen per tahun—mengungguli negara-negara maju lain, sekaligus membungkam kritik terhadap suku bunga tinggi yang diterapkan The Fed.

Tapi kondisi sekarang tak sekuat dulu. Banyak ekonom yang dulu meyakini akan ada resesi kini jadi lebih hati-hati. “Kami dulu sering teriak ‘serigala datang’, tapi ternyata tak muncul juga,” kata ekonom David Shulman setengah bercanda.

Namun dibandingkan masa puncak kekhawatiran resesi di akhir 2022 dan 2023, kondisi pasar tenaga kerja AS kini lebih rapuh. Keuangan rumah tangga berpendapatan rendah sudah tertekan sejak lama dan angka gagal bayar pinjaman juga mulai merayap naik.

Lebih buruknya lagi, kini tak ada jaminan respons cepat dari pemerintah seperti saat pandemi COVID-19 dulu. Waktu itu, Kongres AS menggelontorkan triliunan dolar bantuan dan stimulus. The Fed pun memangkas suku bunga hingga mendekati nol sambil menjamin kredit tetap mengalir.

Sayangnya, di tengah situasi tarif Trump ini, ruang manuver itu tidak terlihat. Dan itu yang membuat kekhawatiran resesi jadi makin terasa nyata.(*)