Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Perang Dagang Kian Panas, Harga Minyak Tergelincir

Minyak Brent, yang menjadi acuan harga internasional, turun sebesar USD2,1 atau 3,2 persen menjadi USD63,48 per barel pada pukul 10.27 GMT.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 07 April 2025 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Yunila Wati
Perang Dagang Kian Panas, Harga Minyak Tergelincir Ilustrasi kilang minyak di tengah laut.

KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia kembali tergelincir lebih dari 3 persen pada perdagangan hari Senin, 7 April 2025. Kondisi ini memperpanjang tren penurunan dari pekan sebelumnya. 

Penurunan tajam tersebut dipicu oleh kekhawatiran yang semakin besar bahwa perang dagang global, yang semakin memanas setelah aksi balasan dari China terhadap tarif impor Amerika Serikat, akan memperlambat ekonomi dunia dan menekan permintaan terhadap minyak.

Minyak Brent, yang menjadi acuan harga internasional, turun sebesar USD2,1 atau 3,2 persen menjadi USD63,48 per barel pada pukul 10.27 GMT. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dari Amerika Serikat turun USD2,14 atau 3,5 persen menjadi USD59,85 per barel. 

Kedua jenis minyak acuan ini sebelumnya telah anjlok hingga 7 persen pada hari Jumat, 4 April 2025, mencatatkan harga penutupan terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir. Penurunan tajam ini terjadi tak lama setelah China mengumumkan kebijakan untuk meningkatkan tarif impor atas produk-produk asal Amerika Serikat, yang memperburuk ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia.

Langkah balasan China berupa tarif tambahan sebesar 34 persen terhadap barang-barang AS memperkuat kekhawatiran investor bahwa perang dagang kini telah memasuki fase penuh. Kondisi ini membuat pelaku pasar semakin cemas terhadap potensi resesi global yang bisa mengganggu stabilitas permintaan energi di seluruh dunia.

Bank investasi ternama JPMorgan turut menyesuaikan proyeksi ekonominya, dengan memperkirakan kemungkinan terjadinya resesi global hingga akhir tahun meningkat menjadi 60 persen, dari sebelumnya 40 persen. Kenaikan ini mencerminkan betapa seriusnya dampak yang ditimbulkan oleh ketegangan perdagangan terhadap perekonomian global secara keseluruhan.

Kondisi ini menjadi tantangan baru bagi pasar energi, yang sebelumnya sempat optimistis terhadap pemulihan ekonomi pasca pandemi. Kini, pelaku pasar harus kembali mewaspadai ketidakpastian geopolitik dan kebijakan dagang yang berpotensi mengguncang stabilitas ekonomi dunia dalam waktu dekat.

Arab Saudi Turunkan Harga Minyak untuk Asia

Arab Saudi, negara eksportir minyak terbesar di dunia, kembali mengejutkan pasar global dengan menurunkan harga minyak mentahnya untuk kawasan Asia pada bulan Mei ke level terendah dalam empat bulan terakhir. 

Langkah ini diambil hanya beberapa hari setelah keputusan mengejutkan dari kelompok produsen minyak OPEC+ yang sepakat untuk meningkatkan pasokan global mulai bulan depan.

Perusahaan minyak negara Saudi Aramco memangkas harga jual resmi (official selling price/OSP) untuk minyak jenis Arab Light sebesar USD2,30 per barel, menjadikannya hanya USD1,20 di atas rata-rata harga minyak Oman dan Dubai. Penyesuaian harga ini tercantum dalam dokumen resmi harga dari Aramco dan mencerminkan penurunan besar mengikuti kondisi pasar yang terus melemah sejak awal tahun.

Tak hanya Arab Light, Aramco juga menurunkan harga seluruh varian minyak lainnya yang diekspor ke Asia untuk pengiriman bulan April, dengan besaran pemangkasan yang sama. Ini menjadi bulan kedua berturut-turut Aramco memangkas harga jualnya, menggarisbawahi tekanan berat yang dihadapi pasar energi saat ini.

Keputusan OPEC+ pada hari Kamis, 3 April 2025 sebelumnya menjadi pemicu utama langkah ini. Delapan negara anggota sepakat mempercepat rencana penghentian pemangkasan produksi minyak dan justru menaikkan pasokan sebanyak 411.000 barel per hari mulai Mei. Keputusan tersebut langsung memukul harga minyak global yang sudah lebih dulu melemah karena kekhawatiran perlambatan ekonomi dunia dan meningkatnya pasokan dari Rusia ke Asia sejak Maret.

Sebelum pengumuman resmi dari Aramco, survei Reuters telah memperkirakan bahwa harga Arab Light untuk Asia akan turun sekitar USD1,80 hingga USD2, seiring penurunan tajam harga acuan minyak mentah pada bulan Maret. Spot premium minyak Dubai, salah satu acuan utama di Asia, juga anjlok ke rata-rata USD1,38 per barel, jauh di bawah rata-rata USD3,33 per barel pada bulan Februari.

Langkah Arab Saudi ini menjadi sinyal kuat bahwa pasar minyak mentah global sedang memasuki fase penuh tantangan, di mana keseimbangan antara permintaan dan pasokan kembali terguncang oleh faktor geopolitik dan keputusan produsen utama dunia. 

Asia sebagai wilayah konsumen utama akan merasakan dampak langsung dari penurunan harga ini, yang bisa membuka ruang negosiasi lebih besar antara importir dan produsen di tengah dinamika pasar yang terus berubah.

China Tunjukkan Kekuatan

Pada perdagangan sebelumnya, harga minyak dunia kembali terguncang hebat setelah mengalami penurunan tajam pada hari Jumat, 4 April, menandai titik terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir. Sentimen negatif ini dipicu oleh peningkatan eskalasi perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat dan China, yang semakin memicu kekhawatiran akan ancaman resesi global.

Langkah balasan China terhadap kebijakan tarif impor Presiden AS Donald Trump menjadi pemicu utama gejolak di pasar energi. Negeri Tirai Bambu itu mengumumkan tarif tambahan sebesar 34 persen atas seluruh produk asal Amerika Serikat yang akan berlaku mulai 10 April. Kebijakan ini muncul setelah pemerintahan Trump lebih dulu menaikkan tarif ke level tertinggi dalam lebih dari satu abad, sebuah langkah yang kini dinilai oleh pasar sebagai berisiko besar terhadap stabilitas ekonomi global.

Sebagai konsumen minyak terbesar di dunia, setiap kebijakan ekonomi dan perdagangan dari China sangat mempengaruhi arah harga energi global. Tak heran jika pasar langsung bereaksi negatif atas langkah tersebut. 

Harga minyak mentah Brent, yang menjadi patokan internasional, tercatat turun sebesar USD4,56 atau 6,5 persen dan menetap di level USD65,58 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah acuan Amerika Serikat, West Texas Intermediate (WTI), merosot tajam sebesar USD4,96 atau 7,4 persen hingga menyentuh angka USD61,99 per barel. 

Kedua harga ini sempat menyentuh titik terendah dalam sesi perdagangan, masing-masing di USD64,03 dan USD60,45—level yang belum pernah terlihat dalam empat tahun terakhir.

Penurunan tajam ini juga mengakibatkan kerugian mingguan yang cukup signifikan. Brent mengalami penurunan lebih dari 10 persen, menjadi kerugian mingguan terparah dalam 18 bulan terakhir. Sementara WTI mencatat penurunan lebih dari 10 persen, menjadikannya sebagai minggu terburuk dalam dua tahun terakhir.

Kondisi ini memperkuat kekhawatiran bahwa dampak perang dagang kini telah merambah ke sektor energi secara lebih luas. Dengan ekonomi global yang semakin tersandera oleh ketidakpastian, permintaan terhadap minyak mentah pun dikhawatirkan akan melemah, terutama jika pelaku pasar mulai memperhitungkan kemungkinan perlambatan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara utama dunia.

Ketidakpastian ini membuat investor dan analis memperkirakan bahwa pasar minyak akan tetap berada dalam tekanan, setidaknya dalam jangka pendek, selama tensi perdagangan belum mereda dan belum ada kepastian mengenai arah kebijakan dari dua negara adidaya tersebut.(*)