KABARBURSA.COM - Harga emas pada Jumat, 4 April 2025, mengalami penurunan seiring dengan pelemahan pasar saham AS. Para analis menyebutkan bahwa penurunan ini dipicu oleh aksi jual yang dilakukan investor untuk menutupi kerugian dari kelas aset lain, sebagai akibat dari margin call atau kewajiban menambah dana jaminan.
Meski sempat turun, prospek harga emas ke depan justru diperkirakan akan kembali naik seiring dengan meningkatnya ketidakpastian global.
Analis dari Standard Chartered Suki Cooper, menyampaikan bahwa ada potensi kenaikan harga emas lebih lanjut di tengah kondisi pasar yang cenderung menghindari risiko. Ia memperkirakan harga emas akan mencetak rekor baru pada kuartal kedua tahun ini.
Dalam laporan yang dikutip Reuters, bank tersebut bahkan memproyeksikan harga emas bisa mencapai level tertinggi di USD3.300 per ons.
Sebagai aset lindung nilai terhadap ketidakpastian, emas memang sering kali menjadi pilihan utama saat kondisi global tak menentu. Namun, perlu dicatat bahwa harga emas cenderung lebih kuat ketika suku bunga rendah. Dalam situasi suku bunga tinggi, investor biasanya lebih memilih instrumen lain yang memberikan imbal hasil lebih menarik.
HSBC, bank investasi terkemuka, juga menaikkan proyeksi harga emas untuk tahun 2025 dan 2026. Dalam catatan yang dirilis pada Rabu, 2 April 2025, mereka memperkirakan rata-rata harga emas akan mencapai USD3.015 per ons pada 2025 dan USD2.915 pada 2026. Angka ini lebih tinggi dibandingkan prediksi sebelumnya, yakni USD2.687 dan USD2.615 per ons.
Kenaikan proyeksi ini didorong oleh berbagai risiko geopolitik seperti perang di Ukraina, konflik di Timur Tengah, serta ketidakpastian kebijakan luar negeri AS dan prospek ekonomi global yang tidak stabil.
Selain itu, pembelian emas oleh bank sentral dunia juga diperkirakan akan berlanjut sepanjang tahun ini dan tahun depan. Namun, HSBC mengingatkan bahwa tingkat pembelian ini kemungkinan tidak akan setinggi periode 2022 hingga 2024.
Apabila harga emas melambung di atas USD3.000 per ons, pembelian bisa melambat. Sebaliknya, jika harga turun di bawah USD2.800, permintaan dari bank sentral mungkin kembali meningkat.
Secara keseluruhan, meski harga emas sempat terkoreksi, tren jangka menengah hingga panjang masih menunjukkan potensi kenaikan, terutama jika ketegangan geopolitik dan ketidakpastian ekonomi terus berlangsung.
Bagi investor, kondisi ini bisa menjadi momentum untuk mempertimbangkan emas sebagai bagian dari strategi diversifikasi aset.
Tekanan Jangka Pendek yang Cukup Berat
Diketahui, harga emas mengalami koreksi tajam pada akhir pekan, 4 April 2025, turun lebih dari 3 persen dan menghapus sebagian besar keuntungan yang tercatat di awal pekan. Aksi jual besar-besaran terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran atas kondisi pasar global, terutama dipicu oleh eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta bayang-bayang resesi global yang semakin nyata.
Para investor, yang sebelumnya mengandalkan emas sebagai aset aman (safe haven), kali ini justru melepaskan kepemilikan mereka untuk memenuhi margin call dari kerugian di aset lain.
Di pasar spot, harga emas turun 2,9 persen menjadi USD3.024,2 per ons, setelah sempat menyentuh level terendah harian di USD3.015,29. Ini merupakan pembalikan tajam dari hari sebelumnya ketika harga emas mencetak rekor tertinggi sepanjang masa di USD3.167,57 per ons.
Dalam skala mingguan, emas terkoreksi sebesar 1,9 persen. Kontrak berjangka emas Amerika Serikat juga berakhir melemah 2,8 persen di USD3.035,40 per ons. Walau begitu, secara teknis, emas masih mempertahankan posisinya di atas rata-rata pergerakan 21-hari sebesar USD3.023, menunjukkan adanya dukungan jangka pendek dari tren sebelumnya.
Penurunan drastis ini sebagian besar disebabkan oleh aksi likuidasi aset oleh para investor. Menurut Suki Cooper, analis dari Standard Chartered, emas sering dijadikan sumber dana cepat saat investor menghadapi margin call, terutama dalam kondisi pasar yang sangat volatil dan penuh risiko. Ia menyebut bahwa pola ini sejalan dengan tren historis, di mana emas dijual untuk menutup kerugian di pasar lain ketika krisis memburuk.
Tekanan juga datang dari sisi eksternal. China mengumumkan tarif tambahan sebesar 34 persen terhadap seluruh barang asal Amerika Serikat, yang akan berlaku mulai 10 April. Langkah ini memicu penurunan tajam di pasar saham global untuk hari kedua berturut-turut.
Indeks S&P 500 dan Nasdaq masing-masing anjlok hingga 5 persen, memicu kekhawatiran lebih luas mengenai dampak lanjutan terhadap perdagangan dan pertumbuhan global.
Sementara itu, penguatan dolar AS turut menekan harga emas. Indeks dolar (DXY) naik 0,7 persen, menjadikan harga emas lebih mahal bagi pembeli dari luar negeri. Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan tekanan ganda terhadap harga logam mulia tersebut.
Namun meskipun terkoreksi, kinerja harga emas secara keseluruhan sejak awal tahun masih menunjukkan kenaikan signifikan sebesar 15,3 persen. Hal ini didorong oleh pembelian agresif dari bank-bank sentral dunia dan peran emas sebagai aset pelindung nilai di tengah gejolak geopolitik dan ekonomi.
Matt Simpson dari City Index menyatakan bahwa volatilitas ekstrem yang terjadi saat ini tidak mengubah kenyataan bahwa emas tetap menjadi tempat berlindung yang aman bagi investor global.
Pernyataan dari Ketua Federal Reserve Jerome Powell juga turut membentuk sentimen pasar. Ia menegaskan bahwa tarif dagang yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump jauh lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya dan akan memberikan dampak signifikan terhadap inflasi serta pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, data ketenagakerjaan AS yang dirilis lewat laporan nonfarm payrolls menunjukkan hasil yang lebih kuat dari ekspektasi, membuka kemungkinan penundaan dalam pemotongan suku bunga oleh The Fed. Hal ini menjadi sentimen negatif tambahan bagi harga emas, mengingat logam mulia cenderung kurang diminati dalam lingkungan suku bunga tinggi.
Di luar emas, logam mulia lainnya juga turut mengalami tekanan hebat. Harga perak anjlok 7,3 persen ke USD29,54 per ons, menandai pekan terburuknya sejak September 2020. Harga platina merosot 3,6 persen menjadi USD918,35, sementara paladium juga melemah 2 persen ke USD909,75 per ons.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pasar logam mulia sedang menghadapi tekanan jangka pendek yang cukup berat, namun prospek jangka menengah hingga panjang masih menjanjikan, terutama jika ketegangan geopolitik dan tekanan ekonomi terus berlanjut.
Bagi investor jangka panjang, fase koreksi ini justru bisa menjadi peluang strategis untuk masuk ke pasar sebelum harga kembali menguat.(*)