KABARBURSA.COM - Kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump yang menaikkan tarif ekspor ke sejumlah negara menjadi senjata makan tuan bagi Negeri Paman Sam.
Kebijakan ini memancing reaksi publik untuk memboikot produk-produk dari Amerika Serikat. Tagar “Boikot USA” tranding di media sosial tidak lama setelah Trump mengumumkan tarif baru.
Miliarder sekaligus sekutu dekat Trump, Elon Musk, juga tak luput dari amukan publik. Masa melakukan unjuk rasa di sejumlah showroom Tesla di Eropa, Australia dan Selandia Baru.
Bahkan, pihak keamanan AS mengungkapkan adanya tindakan vandalisme berupa pembakaran sejumlah mobil Tesla yang terparkir di jalan. Upaya vandalisme ini merupakan bagian dari kampanye “Tesla Take-Down”.
Selain menimbulkan ketakutan membeli produk mobil listrik Tesla, saham TSLA juga turun ke level USD239,34 per lembar atau turun 10,42 persen ke 27,83 poin pada penutupan perdagangan 4 April 2025.
Selain Tesla, beberapa merek asal AS lainnya seperti Coca-Cola, Starbucks, dan Budweiser juga turut menjadi sasaran boikot. Dilansir dari The New York Times, ratusan ribu demonstran membanjiri jalan-jalan di kota besar dan kecil di seluruh Amerika Serikat pada Sabtu, 5 April 2025 kemarin.
Gelombang massa itu menolak agenda-agenda Donald Trump. Mereka protes dengan aksinya yang bertajuk Hands Off untuk menunjukkan ketidaksetujuan atas kebijakan Trump dalam hal pemangkasan anggaran pemerintah, gejolak keuangan, hingga kekhawatiran terhadap kemunduran demokrasi.
Aksi Menentang Tarif Impor
Para peserta aksi berdiri membela taman nasional, usaha kecil, pendidikan publik, layanan kesehatan bagi veteran, hak aborsi, dan pemilu yang adil. Mereka juga menentang tarif impor, dominasi oligarki, pendanaan gelap politik, fasisme, deportasi imigran legal, dan pembentukan Departemen Efisiensi Pemerintahan yang kontroversial.
“Meski hujan deras, suhu 6 derajat Celsius, dan angin menggigit, ribuan orang tetap hadir di Albany,” tulis penulis komik Ron Marz di platform X, disertai foto kerumunan di Gedung Capitol Negara Bagian New York.
Penyelenggara mengklaim lebih dari 600.000 orang telah mendaftar untuk ambil bagian, dengan aksi berlangsung di seluruh 50 negara bagian AS, wilayah teritorial AS, dan setidaknya di 12 lokasi internasional.
Di Manhattan, aksi membentang hampir 20 blok di Fifth Avenue. Di Chicago, ribuan memadati Daley Plaza dan sekitarnya, sementara di Washington D.C., puluhan ribu massa mengelilingi Monumen Washington. Polisi di Atlanta memperkirakan lebih dari 20.000 orang turun ke jalan menuju gedung parlemen negara bagian.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai gelombang demonstrasi serentak yang melanda 50 negara bagian Amerika Serikat pada Sabtu, 5 April 2025, sebagai sinyal kuat bahwa masyarakat sipil AS tidak tinggal diam menghadapi kebijakan proteksionis dan otoriter Presiden Donald Trump.
Menurutnya, aksi bertajuk Hands Off! bukan sekadar perlawanan simbolik, melainkan bentuk keresahan mendalam atas ancaman terhadap demokrasi, ketimpangan sosial, dan tekanan ekonomi yang ditimbulkan oleh kebijakan sepihak pemerintah AS.
“Gelombang demonstrasi serentak di 50 negara bagian Amerika Serikat pada 5 April 2025 mengirim pesan keras: masyarakat sipil tidak tinggal diam menghadapi kebijakan proteksionis dan otoriter Presiden Donald Trump. Aksi bertajuk ‘Hands Off!’ ini bukan sekadar perlawanan simbolik. Ia mencerminkan keresahan mendalam publik AS terhadap ancaman demokrasi, ketimpangan sosial, dan tekanan ekonomi akibat kebijakan sepihak yang merugikan rakyat kecil," ujar Syafruddin Karimi pada Minggu, 6 April 2025.
Menurutnya, isu yang diangkat dalam aksi protes tersebut sangat beragam dan saling terhubung, mulai dari pemotongan dana pendidikan dan kesehatan, deportasi imigran legal, hingga tarif dagang yang berpotensi memukul daya beli dan menciptakan ketidakpastian pekerjaan.
Ia menyebut gerakan ini telah berevolusi dari aksi yang digalang kelompok seperti Indivisible dan MoveOn menjadi gerakan akar rumput luas, yang melibatkan pelajar, pensiunan, profesional muda, bahkan mantan tentara. Syafruddin menegaskan bahwa situasi ini patut menjadi perhatian Indonesia, khususnya dalam merumuskan strategi diplomasi dan kebijakan ekonomi luar negeri.
“Bagi Indonesia, gejolak ini mengandung pelajaran penting. Pertama, efek kebijakan tarif sepihak AS tak hanya berdampak ke luar negeri, tapi juga menimbulkan resistensi di dalam negeri. Kedua, diplomasi ekonomi Indonesia harus cermat membaca peta politik domestik AS, karena arah kebijakan luar negeri Trump sangat dipengaruhi oleh dinamika politik domestik dan tekanan masyarakat sipil,” terangnya.
Strategi diplomasi Indonesia, kata dia, sebaiknya tetap mengedepankan kerja sama yang adil dan berkelanjutan, termasuk membuka peluang kemitraan baru yang menyentuh kepentingan rakyat kedua negara.
“Kebijakan balasan seperti tarif resiprokal bisa dijadikan alat negosiasi, namun strategi Indonesia sebaiknya tetap mengedepankan kerja sama yang adil dan berkelanjutan. Dengan memahami keresahan publik AS, Indonesia dapat menggarap peluang diplomatik baru untuk membangun kemitraan ekonomi yang tidak hanya menguntungkan elite, tetapi juga menyentuh kepentingan rakyat kedua negara,” lanjutnya.
Syafruddin juga menyoroti munculnya boikot konsumen terhadap produk AS sebagai sinyal bahwa ekonomi global kini semakin politis dan berbasis nilai.
“Boikot konsumen global terhadap produk AS bukan sekadar gerakan simbolik. Ini adalah sinyal bahwa ekonomi dunia sedang bergeser ke arah yang lebih politis dan berbasis nilai,” ujar dia.
Ia menyarankan agar Indonesia tidak boleh pasif. Di tengah perubahan ini, sikap antisipatif dan kepemimpinan strategis sangat diperlukan. “Kita bisa memilih menjadi penonton dari pertarungan raksasa dunia, atau justru menjadi pemain cerdas yang memanfaatkan momen untuk memperluas pengaruh dan kepentingan nasional,” tambah Syafruddin.
Perkuat Ketahanan Pangan
Lebih jauh, ia menekankan urgensi memperkuat strategi ketahanan pangan nasional. Ia mengingatkan bahwa ketergantungan terhadap impor bahan pangan strategis seperti kedelai dari AS bisa memicu inflasi impor yang menggerus daya beli masyarakat.
Indonesia melakukan impor kedelai dari AS. Meski kedelai GMO, dipakai sebagai bahan baku utama tempe dan tahu. Akhirnya akan mengalir dan menyebar menjadi kenaikan harga-harga domestik, imported inflation. Semakin lemah rupiah, semakin luas dampaknya.
“Kalau dulu perdagangan internasional dipandang sebagai engine of economic growth, kini sedang menuju disaster for economic growth,” ujarnya.
Sebagai solusi, Syafruddin menekankan pentingnya sinergi kebijakan antara fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Ia juga menyarankan pemerintah perlu memperkuat strategi diversifikasi sumber impor, mendorong substitusi impor dengan produksi dalam negeri, dan membangun cadangan strategis untuk komoditas penting seperti kedelai.
“Selain itu, kebijakan fiskal dan moneter harus bersinergi dalam menjaga stabilitas harga dan nilai tukar," tegasnya.
Karena, menurutnya, di tengah ketidakpastian global, menjaga ketahanan pangan dan stabilitas makroekonomi adalah fondasi utama untuk menjamin kesejahteraan rakyat.(*)