KABARBURSA.COM - DPR memperingatkan bahwa lonjakan tarif dari Amerika Serikat bukan sekadar urusan dagang, melainkan ancaman nyata bagi industri padat karya dan jutaan pekerja di Indonesia. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Hanif Dhakiri, menyebut kebijakan Presiden Donald Trump sebagai “alarm bahaya” yang tidak bisa direspons dengan sikap pasif.
“Ini bukan sekadar urusan dagang, tapi pukulan langsung ke industri padat karya dan jutaan pekerja. Pemerintah tak bisa hanya berdiri di pinggir lapangan. Harus turun tangan penuh,” kata Hanif saat ditemui awak media di Jakarta, Jumat, 4 April 2025.
Sejak 2 April 2025, pemerintahan Trump resmi menerapkan tarif dasar sebesar 10 persen untuk seluruh impor global. Namun khusus Indonesia, tarif tersebut ditambah lagi sebesar 32 persen—lebih rendah dari Vietnam (46 persen), namun masih di bawah China (34 persen). Penambahan ini, menurut Trump, merupakan bentuk koreksi terhadap mitra dagang yang dinilai memberlakukan hambatan pasar tidak setara, melemahkan stabilitas mata uang, atau menciptakan defisit kronis bagi Amerika.
“Kalau tidak diantisipasi, dampaknya bisa meluas—ekspor turun, PHK meningkat, inflasi naik, dan daya beli masyarakat tertekan,” ujarnya.
Kondisi makro Indonesia pun tak sedang prima. Nilai tukar rupiah terus melemah hingga menyentuh Rp16.675 per dolar AS, meskipun Bank Indonesia sudah menggelontorkan lebih dari USD4,5 miliar cadangan devisa untuk menahan laju depresiasi. “Strategi moneter penting, tapi tak cukup. Tanpa penguatan sektor riil dan fiskal, ekonomi kita bisa limbung,” ujar mantan Menteri Ketenagakerjaan ini.
Hanif mendorong pemerintah segera melakukan diversifikasi pasar ekspor, terutama ke kawasan BRICS dan Afrika. Di saat bersamaan, ia menekankan pentingnya penguatan sektor UMKM dan industri berbasis bahan baku lokal, agar lebih tangguh menghadapi tekanan eksternal. “Tarif AS harus kita jawab dengan keberanian industrialisasi. Produk lokal tak boleh hanya bertahan—harus maju dan menembus pasar baru,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya investasi jangka panjang pada pembangunan sumber daya manusia. Menurut Hanif, pekerja migran Indonesia memiliki peran vital dalam ekonomi nasional. Tahun lalu saja, mereka menyumbang devisa sebesar USD14 miliar. “Mereka bukan beban, tapi kekuatan. Kalau dikelola serius, lima hingga sepuluh tahun ke depan mereka bisa jadi pilar ekonomi nasional,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Hanif menyebut bahwa tekanan global seperti ini merupakan ujian arah kebijakan nasional. Respons pemerintah, kata dia, tak boleh reaktif atau setengah hati. “Ini saatnya melangkah dengan strategi yang berani dan keberpihakan yang nyata,” katanya.
Asia Tenggara Diguncang Tarif Trump
Indonesia memang tidak sendirian. Di saat negeri ini masih merumuskan langkah menghadapi tarif Trump, sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara sudah lebih dulu terguncang oleh keputusan sepihak dari Washington. Indeks saham di berbagai negara langsung memerah pada Kamis, 3 April 2025. Indeks acuan Vietnam sempat longsor hingga 6,7 persen, sementara saham-saham di Thailand turun 1,4 persen. Bursa Malaysia hanya melemah 0,5 persen, sedangkan pasar Indonesia tengah libur.
Vietnam, Thailand, Indonesia, dan Malaysia—yang menjadi simpul penting dalam rantai pasok global—resmi masuk daftar “aktor nakal” versi Washington dengan beban tarif resiprokal mulai dari 24 persen hingga 46 persen.
AS akan mengenakan tarif dasar sebesar 10 persen untuk seluruh impor, plus tambahan tarif spesifik untuk negara-negara yang dianggap bermasalah dalam perdagangan. Dalam daftar itu, Vietnam dibebani tarif tertinggi 46 persen, disusul Thailand 36 persen, Indonesia 32 persen, dan Malaysia 24 persen.
Para analis dibuat kaget oleh besarnya lonjakan tarif ini. Langkah Trump tersebut dinilai akan menjadi tantangan berat bagi kawasan yang selama ini sangat bergantung pada ekspor. “Dengan AS menyumbang sekitar 15 persen dari total ekspor kawasan, lonjakan tarif sebesar 20 hingga 35 persen jelas jadi penghambat pertumbuhan yang signifikan, terutama untuk negara-negara yang sangat terbuka terhadap perdagangan,” ujar Kepala Strategi Makro Pasar Berkembang T. Rowe Price, Chris Kushlis, dikutip dari The Wall Street Journal.
Dalam catatan resminya, analis dan ekonom Barclays menambahkan, “Dalam jangka pendek, tarif-tarif ini kemungkinan akan mengerem ekspor kawasan secara keseluruhan.”
Namun efeknya tak hanya datang dari tarif langsung. China—mitra dagang terbesar ASEAN—juga terkena tarif resiprokal sebesar 34 persen di luar tarif sebelumnya. Jika eksportir China mengalihkan barang ke pasar Asia Tenggara sebagai pelarian, itu bisa membanjiri pabrikan lokal dan memicu tekanan deflasi.
Ekonom Maybank, Erica Tay, menyatakan, “Tarif yang lebih tinggi bisa memangkas ekspor dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.” Ia juga memperingatkan soal kemungkinan barang-barang asal China berpindah ke Thailand dan Indonesia yang bisa menciptakan guncangan harga.
Kini pasar menunggu reaksi dari negara-negara Asia Tenggara. Beberapa negara disebut-sebut telah mencoba melobi Washington di menit-menit akhir, namun gagal. “Vietnam sempat melakukan upaya terakhir untuk menghindari tarif, tapi tidak berhasil,” kata Kepala Riset Asia-Pasifik ING, Deepali Bhargava.
Ekonom Morgan Stanley yang dipimpin Chetan Ahya menyebut Vietnam akan kesulitan menegosiasikan tarif yang lebih rendah. Prospek untuk Thailand dan India juga tidak mudah, namun mereka melihat ada lebih banyak peluang negosiasi untuk Indonesia.
Dari sisi respons resmi, tampaknya pembalasan tidak menjadi pilihan untuk saat ini. Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, dalam pernyataan di X (dulu Twitter), mengatakan negaranya memahami kebutuhan AS untuk menyeimbangkan perdagangan dengan para mitra. Media lokal juga melaporkan bahwa pejabat Thailand tengah menyusun langkah negosiasi dengan Washington.
Malaysia pun menyatakan tengah aktif berdiskusi dengan otoritas AS demi menjaga hubungan dagang yang adil. Kementerian Perdagangan negara itu menekankan bahwa meskipun memandang serius kebijakan tarif ini, mereka tidak berencana melakukan tindakan balasan, dan tetap berkomitmen pada perdagangan bebas dan adil.
Sementara itu, menurut portal berita resmi Vietnam, pemerintah telah menggelar rapat darurat membahas langkah setelah pengumuman tarif ini. “Vietnam berharap AS akan memiliki kebijakan yang selaras dengan hubungan baik antara kedua negara,” demikian bunyi pernyataan mereka.
Bhargava dari ING masih melihat adanya peluang bagi negara-negara ASEAN untuk menegosiasikan pengurangan beban tarif. “Vietnam kemungkinan akan terus bernegosiasi dengan AS dengan menawarkan konsesi tambahan, seperti menurunkan bea impor,” katanya.
Sementara itu, di Indonesia, belum terlihat adanya langkah negosiasi resmi yang diumumkan pemerintah. Meskipun sejumlah menteri telah menyampaikan kekhawatiran, belum ada sinyal kuat bahwa Jakarta telah membuka jalur diplomasi langsung dengan Washington. Namun, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dalam dokumen kebijakan terbarunya justru telah mendesak pengiriman delegasi tingkat tinggi ke lingkaran ekonomi Trump guna membuka ruang dialog dan mencegah kerugian yang lebih besar.
Dalam dokumen tersebut, DEN menyarankan agar pemerintah mengambil strategi serupa seperti yang dilakukan Vietnam—yakni menawarkan kompensasi atau konsesi tertentu, seperti penghapusan hambatan non-tarif atau penyesuaian tarif untuk produk strategis asal Amerika. Langkah ini dinilai bisa menjadi “pintu masuk” menuju negosiasi yang lebih konstruktif, sembari memperkuat posisi tawar Indonesia di tengah situasi perdagangan global yang semakin tidak ramah.(*)