KABARBURSA.COM - Langit dagang global kembali memanas setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan tarif resiprokal yang menyasar negara-negara dengan neraca dagang negatif terhadap AS. Di tengah arus retorika proteksionis itu, nama Indonesia perlahan mulai naik ke permukaan. Bukan karena telah memberlakukan kebijakan tak adil terhadap produk Amerika, tetapi karena masuk dalam daftar negara dengan defisit dagang terbesar. Nilainya pun tak main-main—mencapai USD17,88 miliar (Rp295,02 triliun).
Peringatan dini ini tidak datang dari luar, melainkan dari dalam tubuh pemerintah sendiri. Dokumen resmi Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang diperoleh KabarBursa.com mencatat bahwa Indonesia saat ini menempati peringkat ke-15 dalam daftar mitra dagang dengan defisit tertinggi terhadap AS. Meski belum termasuk negara yang secara resmi dikenai tarif tinggi seperti China atau Vietnam, posisi tersebut sudah cukup menempatkan Indonesia dalam radar sasaran berikutnya.
Yang membuat situasi kian mengkhawatirkan adalah ketimpangan struktur tarif yang selama ini berjalan. Barang-barang ekspor Indonesia ke Amerika dikenai bea masuk yang jauh lebih tinggi dibanding sebaliknya. Untuk komoditas sepatu, misalnya, produk Indonesia dikenai tarif sebesar 11,4 persen di AS. Sementara barang serupa asal Amerika hanya dikenai tarif rata-rata 4,18 persen (simple average) atau 4,16 persen jika dihitung berdasarkan volume perdagangan. Ketimpangan ini membuka celah bagi Washington untuk berdalih bahwa hubungan dagang dengan Indonesia tidak setara, dan oleh karenanya perlu dikoreksi lewat kebijakan resiprokal.
Sektor Padat Karya di Ujung Tanduk
Persoalan tarif bukan sekadar perkara angka. Ia bisa menjelma jadi pukulan telak bagi sektor-sektor padat karya yang selama ini menopang ekspor Indonesia. Dalam dokumen DEN, disebutkan bahwa sektor seperti tekstil, alas kaki, karet, minyak sawit, hingga produk elektronik adalah yang paling rentan terhadap kebijakan tarif semacam ini. Produk-produk itu selama ini menyumbang besar pada volume ekspor Indonesia ke AS. Sebagian besar pelaku usahanya adalah industri berskala kecil hingga menengah yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Jika bea masuk dinaikkan secara sepihak, barang Indonesia akan kehilangan daya saing harga. Permintaan menurun, produksi pun ikut melambat. Dalam jangka pendek, ancaman paling nyata adalah pemutusan hubungan kerja massal. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menggagalkan target besar pemerintah dalam industrialisasi sektor manufaktur dan transformasi ekonomi berbasis ekspor bernilai tambah.
Sayangnya, di tengah ancaman yang kian jelas, pemerintah baru menyampaikan sedikit sikap resminya tanpa menjabarkan strategi menghadapi tarif tersebut. Dalam keterangan tertulis yang dirilis Kementerian Luar Negeri, Indonesia menegaskan bahwa tarif resiprokal sebesar 32 persen dari basis tarif 10 persen akan berdampak besar terhadap ekspor produk-produk unggulan seperti elektronik, tekstil, sepatu, furnitur, dan udang ke pasar Amerika Serikat. Kebijakan tersebut berlaku efektif mulai 9 April 2025.
Pemerintah mengaku telah mempersiapkan sejumlah langkah mitigasi, mulai dari perhitungan dampak terhadap sektor prioritas, koordinasi lintas kementerian dan pelaku usaha, hingga rencana pengiriman delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk bernegosiasi langsung. Dalam pernyataan yang sama, Presiden Prabowo disebut telah menginstruksikan jajarannya agar segera melakukan perbaikan struktural dan deregulasi terhadap berbagai hambatan non-tarif yang kerap dikritik Amerika.
Komitmen pemerintah menjaga stabilitas ekonomi juga ditegaskan melalui koordinasi dengan Bank Indonesia untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan menjaga arus valas. Selain itu, Indonesia menyatakan telah menjalin komunikasi dengan Malaysia untuk mendorong respons kolektif ASEAN atas pengenaan tarif ini, mengingat seluruh negara di kawasan turut terdampak.
Negosiasi atau Menepi?
Sementara itu, negara-negara lain sudah melangkah lebih dulu. Vietnam misalnya, segera meneken komitmen pembelian produk AS senilai USD4,15 miliar sebagai bentuk goodwill. India menyatakan siap memangkas tarif atas 55 persen produk asal Amerika. Langkah-langkah itu bukan semata-mata bentuk tunduk pada tekanan, melainkan strategi negosiasi yang pragmatis untuk menyelamatkan kepentingan ekspor domestik.
Indonesia, menurut DEN, harus menempuh langkah serupa jika ingin keluar dari tekanan ini tanpa kehilangan muka. Dalam dokumen setebal 21 halaman itu, DEN menyarankan langkah-langkah antisipatif dan strategi negosiasi dengan Amerika Serikat.
Pertama, Indonesia harus segera memetakan tarif yang selama ini dikenakan terhadap produk asal Amerika. DEN mencatat bahwa tarif Indonesia terhadap barang dari AS rata-rata masih lebih rendah dibandingkan tarif AS terhadap produk Indonesia. Maka, perlu dilakukan identifikasi terhadap tarif-tarif yang masih bisa diturunkan secara selektif untuk menciptakan kesan resiprokal.
Kedua, hambatan non-tarif yang dihadapi produk AS juga harus dievaluasi. Dalam hal ini, larangan terbatas atau Lartas impor disebut sebagai salah satu yang bisa dikurangi sebagai bagian dari agenda deregulasi. Narasi penghapusan hambatan ini bisa sekaligus menjadi tawaran goodwill dalam proses negosiasi.
Ketiga, untuk mengurangi defisit perdagangan AS, Indonesia diminta menyusun daftar produk asal Amerika yang dapat ditingkatkan volumenya secara realistis. Ini menjadi bagian dari pendekatan positif yang dapat meredam tekanan tarif dan menunjukkan kesediaan Indonesia untuk menyeimbangkan hubungan dagang.
Keempat, DEN juga mengingatkan perlunya pendekatan lintas isu. Misalnya dengan memastikan kebijakan PPN tidak diskriminatif terhadap produk impor AS, serta menyelesaikan berbagai kendala investasi yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan Amerika yang sudah beroperasi di Indonesia.
Jika pada akhirnya Indonesia tetap dimasukkan ke dalam daftar “Dirty 15” dan terkena tarif resiprokal, DEN merekomendasikan agar tim lintas kementerian segera mempelajari secara rinci struktur tarif yang dikenakan, serta menyiapkan respons yang setara dari sisi kebijakan fiskal, industri, dan diplomasi.
Untuk memperkuat posisi tawar, DEN juga mendorong pengiriman delegasi tingkat tinggi ke Washington DC, dengan misi menjalin komunikasi langsung dengan figur-figur strategis di lingkaran ekonomi Trump seperti Scott Bessent, Howard Lutnick, dan Jamieson Greer. Diplomasi yang dijalankan harus multijalur dan intensif agar Indonesia tidak hanya bersikap reaktif.
Lebih jauh, DEN menekankan jika ingin mengambil manfaat dari perubahan lanskap dagang global yang dipicu oleh kebijakan Trump, Indonesia harus menjadikan momen ini sebagai titik tolak reformasi struktural. Tujuannya jelas adalah menarik relokasi investasi, memperkuat daya saing ekspor, dan mendiversifikasi pasar tujuan. Penyelesaian perundingan dagang strategis seperti Indonesia–European Union CEPA pun ditekankan sebagai salah satu prioritas jangka menengah.
Yang perlu dicermati, efek dari perang tarif bukan hanya akan terasa di sektor ekspor. Ada potensi limpahan barang dari negara-negara lain yang gagal masuk ke pasar Amerika, dan berujung membanjiri Indonesia. Jika tidak disiapkan proteksi pasar yang memadai, Indonesia justru akan menjadi tempat pembuangan produk gagal ekspor yang berisiko mematikan industri lokal dari dalam. Dalam konteks inilah, DEN menegaskan perlunya filter non-tarif yang berbasis kualitas, lingkungan, dan standar keberlanjutan, tanpa secara terang-terangan bersifat proteksionis.
Dalam situasi seperti ini, waktu bukan sekadar soal efisiensi, melainkan soal penyelamatan. Setiap minggu yang terbuang tanpa arah bisa berarti hilangnya pangsa pasar yang telah dibangun bertahun-tahun. Pemerintah perlu segera keluar dari pola tunggu-dan-lihat dan masuk ke medan diplomasi dengan strategi yang terukur dan nyali yang cukup besar untuk bersaing.(*)