KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia berkomitmen menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah gejolak pasar keuangan global akibat penerapan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS).
Bersama Bank Indonesia, pemerintah akan memastikan stabilitas nilai tukar rupiah serta likuiditas valas tetap terjaga agar dunia usaha tetap berjalan optimal. Pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi dan langkah untuk menghadapi kebijakan ini, termasuk melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah AS.
Tim lintas kementerian dan lembaga, serta perwakilan Indonesia di Washington DC telah berkoordinasi secara intensif guna merespons dampak kebijakan tersebut.
“Pemerintah Indonesia akan terus melakukan komunikasi dengan Pemerintah AS dalam berbagai tingkatan, termasuk mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk melakukan negosiasi langsung dengan Pemerintah AS,” tulis Kementerian Luar Negeri dalam keterangan resminya, Jumat, 4 April 2025.
Untuk diketahui, Pemerintahan Prabowo Subianto akhirnya melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat perihal kebijakan kenaikan tarif ekspor yang baru saja diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump.
Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto melalui keterangan resminya yang diterima KabarBursa.com pada Jumat, 4 April 2025.
Indonesia terkena imbas kebijakan kenaikan tarif yang baru saja diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump sebesar 32 persen.
Airlangga menyatakan telah menggelar pertemuan virtual dengan Anggota Kongres Amerika Serikat dari Partai Republik, Carol Miller, pada Selasa, 1 April 2025. Dalam pertemuan tersebut, Airlangga menyoroti dampak kebijakan tarif baru yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap ekspor Indonesia, terutama di sektor strategis seperti pangan dan mineral kritis.
“Indonesia sangat mengapresiasi hubungan bilateral yang baik dengan Amerika Serikat, baik dalam kerja sama ekonomi maupun bentuk lainnya. Untuk mendukung ketahanan pangan domestik, kami berharap kerja sama perdagangan pada komoditas pangan esensial seperti kacang kedelai dan gandum dapat diteruskan,” ujar Airlangga.
Indonesia Ajak ASEAN Hadapi Tarif AS
Sebagai bagian dari upaya negosiasi, pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah untuk merespons permasalahan yang diangkat oleh AS dalam laporan National Trade Estimate (NTE) 2025 yang diterbitkan oleh US Trade Representative.
Presiden Prabowo telah menginstruksikan Kabinet Merah Putih untuk segera mengambil langkah strategis guna memperkuat daya saing nasional. Langkah-langkah yang akan diambil mencakup perbaikan struktural, kebijakan deregulasi, serta penyederhanaan regulasi guna menghilangkan hambatan perdagangan, khususnya terkait Non-Tariff Barrier (NTB).
“Langkah kebijakan strategis lainnya akan ditempuh oleh Pemerintah Indonesia untuk terus memperbaiki iklim investasi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja yang luas,” lanjutnya.
Di sisi lain, Indonesia juga telah berkomunikasi dengan Malaysia sebagai pemegang Keketuaan ASEAN guna merumuskan langkah bersama, mengingat seluruh negara ASEAN terdampak oleh tarif AS.
“Indonesia telah berkomunikasi dengan Malaysia selaku pemegang Keketuaan ASEAN mengingat 10 negara ASEAN seluruhnya terdampak pengenaan tarif AS,” tutupnya.
Sebagai informasi, kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat berdampak luas, dengan setidaknya 100 mitra dagang terkena kebijakan ini. Di antara negara-negara tersebut, 10 di antaranya adalah anggota ASEAN. Artinya, seluruh negara di Asia Tenggara juga ikut merasakan dampaknya.
Adapun negara-negara seperti Kamboja dan Laos mengalami tarif tertinggi, masing-masing sebesar 49 persen dan 48 persen, dengan tarif balasan yang mereka kenakan terhadap AS mencapai 97 persen dan 95 persen.
Sementara itu, Vietnam dan Myanmar menghadapi tarif 46 persen dan 44 persen, dengan kebijakan balasan terhadap AS sebesar 90 persen dan 88 persen.
Thailand dan Indonesia juga tidak luput dari kebijakan ini, dengan tarif resiprokal masing-masing sebesar 36 persen dan 32 persen. Sebagai respons, Thailand mengenakan tarif 72 persen terhadap AS, sementara Indonesia memberlakukan tarif 64 persen.
Malaysia dan Brunei terkena tarif sebesar 24 persen dan merespons dengan tarif balasan sebesar 47 persen. Sementara itu, Filipina menghadapi tarif 17 persen dan menerapkan kebijakan balasan sebesar 34 persen.
Singapura dan Timor-Leste tercatat memiliki tarif paling rendah dalam daftar ini, yaitu sebesar 10 persen, dengan kebijakan balasan yang setara terhadap AS, yakni 10 persen.
Sektor-sektor yang Terdampak
Berdasarkan data yang dirilis oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Demokrat yang diterima oleh Kabar Bursa, Beberapa sektor industri terdampak cukup signifikan, dengan kategori dampak mulai dari “sangat rentan” hingga “moderate”. Namun, berbagai strategi mitigasi dapat diterapkan agar ekspor tetap kompetitif di pasar global.
1. Sektor Mesin Listrik dan Elektronik
Sektor mesin listrik dan elektronik diperkirakan menjadi salah satu yang paling terdampak. Dengan nilai ekspor yang diproyeksikan mencapai USD4,191 juta pada 2024, sektor ini menghadapi persaingan ketat dari Vietnam dan Meksiko di pasar AS.
Untuk mengatasi tantangan ini, industri disarankan mengalihkan fokus ke pasar Eropa dan Jepang yang memiliki permintaan tinggi terhadap produk bernilai tambah. Selain itu, investasi di Vietnam atau Malaysia bisa menjadi strategi alternatif agar produk tetap bisa memasuki pasar AS.
2. Sektor Pakaian
Sektor ini juga mengalami dampak serupa dengan nilai ekspor mencapai USD4,607 juta. Biaya produksi yang tinggi serta persaingan dari Vietnam dan Bangladesh menjadi tantangan utama.
Untuk menjaga daya saing, produk premium berbasis keberlanjutan perlu menjadi fokus utama. Ekspansi ke Timur Tengah serta produksi di Vietnam dapat menjadi solusi agar tetap bisa menembus pasar AS.
Di sektor alas kaki, dengan nilai ekspor USD 2,394 juta, tantangan utama terletak pada tingginya biaya tenaga kerja dan kompetisi dengan China serta Vietnam.
Diversifikasi ekspor ke Timur Tengah serta investasi dalam branding global dan pengembangan produk premium dapat menjadi langkah strategis untuk mempertahankan daya saing.
3. Sektor Minyak Nabati
Sektor minyak nabati, khususnya palm oil dan turunannya, dengan nilai ekspor USD1,786 juta, masuk dalam kategori dampak “moderate”. Meskipun regulasi di Uni Eropa cukup ketat, peluang ekspor tetap terbuka di pasar China, India, Afrika, dan Timur Tengah. Peningkatan sertifikasi RSPO serta pengembangan produk turunan seperti makanan, kosmetik, dan biofuel menjadi strategi yang perlu diperkuat.
4. Sektor Karet dan Produk Karet
Sektor ini menghadapi persaingan ketat dengan Thailand dan Malaysia. Dengan nilai ekspor USD1,690 juta, industri ini dapat mengalihkan ekspor ke China, India, Jepang, dan Korea Selatan. Fokus pada produk berkualitas tinggi serta peningkatan teknologi pengolahan menjadi solusi agar tetap kompetitif.
5. Industri Furnitur
Sementara itu, sektor furnitur masuk dalam kategori “sangat rentan”, dengan nilai ekspor USD1,434 juta. Amerika Serikat masih menjadi pasar utama, namun persaingan dengan Vietnam dan China semakin ketat. Oleh karena itu, industri perlu berfokus pada produk premium dan ramah lingkungan, serta melakukan ekspansi ke Timur Tengah dan Eropa dengan dukungan branding yang kuat.
6. Sektor Makanan Laut
Terakhir, sektor makanan laut dengan nilai ekspor USD 1,108 juta juga menghadapi tantangan meskipun masih bisa mengalihkan pasar ke Jepang dan Eropa. Peningkatan sertifikasi mutu internasional serta pemanfaatan perjanjian dagang ASEAN dan CPTPP dapat menjadi strategi efektif untuk mempertahankan daya saing di pasar global.(*)