KABARBURSA.COM - Presiden Amerika Serikat (AS) secara resmi menetapkan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap Indonesia. Tarif ini dihitung berdasarkan tarif dasar 10 persen yang berlaku untuk semua negara, ditambah tarif tambahan yang sebelumnya telah diterapkan AS. Kebijakan ini dijadwalkan mulai berlaku pada 9 April 2025.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menilai, kebijakan tersebut akan berdampak signifikan terhadap daya saing produk ekspor Indonesia di pasar AS.
“Selama ini produk ekspor utama Indonesia di pasar AS antara lain adalah elektronik, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, palm oil, karet, furnitur, udang dan produk-produk perikanan laut,” tulis Kemlu dalam keterangan resmi, Jumat, 4 April 2025.
Menanggapi hal ini, pemerintah akan segera melakukan kajian untuk mengukur dampak tarif baru terhadap berbagai sektor industri serta perekonomian nasional secara keseluruhan.
“Pemerintah Indonesia juga akan mengambil langkah-langkah strategis untuk memitigasi dampak negatif terhadap perekonomian nasional Indonesia,” tambahnya.
Sektor-sektor yang Terdampak
Berdasarkan data yang dirilis oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Demokrat yang diterima oleh Kabar Bursa, Beberapa sektor industri terdampak cukup signifikan, dengan kategori dampak mulai dari “sangat rentan” hingga “moderate”. Namun, berbagai strategi mitigasi dapat diterapkan agar ekspor tetap kompetitif di pasar global.
1. Sektor Mesin Listrik dan Elektronik
Sektor mesin listrik dan elektronik diperkirakan menjadi salah satu yang paling terdampak. Dengan nilai ekspor yang diproyeksikan mencapai USD4,191 juta pada 2024, sektor ini menghadapi persaingan ketat dari Vietnam dan Meksiko di pasar AS.
Untuk mengatasi tantangan ini, industri disarankan mengalihkan fokus ke pasar Eropa dan Jepang yang memiliki permintaan tinggi terhadap produk bernilai tambah. Selain itu, investasi di Vietnam atau Malaysia bisa menjadi strategi alternatif agar produk tetap bisa memasuki pasar AS.
2. Sektor Pakaian
Sektor ini juga mengalami dampak serupa dengan nilai ekspor mencapai USD4,607 juta. Biaya produksi yang tinggi serta persaingan dari Vietnam dan Bangladesh menjadi tantangan utama.
Untuk menjaga daya saing, produk premium berbasis keberlanjutan perlu menjadi fokus utama. Ekspansi ke Timur Tengah serta produksi di Vietnam dapat menjadi solusi agar tetap bisa menembus pasar AS.
Di sektor alas kaki, dengan nilai ekspor USD 2,394 juta, tantangan utama terletak pada tingginya biaya tenaga kerja dan kompetisi dengan China serta Vietnam.
Diversifikasi ekspor ke Timur Tengah serta investasi dalam branding global dan pengembangan produk premium dapat menjadi langkah strategis untuk mempertahankan daya saing.
3. Sektor Minyak Nabati
Sektor minyak nabati, khususnya palm oil dan turunannya, dengan nilai ekspor USD1,786 juta, masuk dalam kategori dampak “moderate”. Meskipun regulasi di Uni Eropa cukup ketat, peluang ekspor tetap terbuka di pasar China, India, Afrika, dan Timur Tengah. Peningkatan sertifikasi RSPO serta pengembangan produk turunan seperti makanan, kosmetik, dan biofuel menjadi strategi yang perlu diperkuat.
4. Sektor Karet dan Produk Karet
Sektor ini menghadapi persaingan ketat dengan Thailand dan Malaysia. Dengan nilai ekspor USD1,690 juta, industri ini dapat mengalihkan ekspor ke China, India, Jepang, dan Korea Selatan. Fokus pada produk berkualitas tinggi serta peningkatan teknologi pengolahan menjadi solusi agar tetap kompetitif.
5. Industri Furnitur
Sementara itu, sektor furnitur masuk dalam kategori “sangat rentan”, dengan nilai ekspor USD1,434 juta. Amerika Serikat masih menjadi pasar utama, namun persaingan dengan Vietnam dan China semakin ketat. Oleh karena itu, industri perlu berfokus pada produk premium dan ramah lingkungan, serta melakukan ekspansi ke Timur Tengah dan Eropa dengan dukungan branding yang kuat.
6. Sektor Makanan Laut
Terakhir, sektor makanan laut dengan nilai ekspor USD 1,108 juta juga menghadapi tantangan meskipun masih bisa mengalihkan pasar ke Jepang dan Eropa. Peningkatan sertifikasi mutu internasional serta pemanfaatan perjanjian dagang ASEAN dan CPTPP dapat menjadi strategi efektif untuk mempertahankan daya saing di pasar global.
Harga Komoditi Logam Tertekan
Kebijakan tarif baru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberikan tekanan di sektor logam global. Bahkan harga emas yang sebelumnya meroket, malah ikut tertekan.
Berdasarkan data Trading Economics pada Jumat, 4 April 2025, mayoritas harga komoditas logam melemah akibat peningkatan kekhawatiran pasar terhadap kebijakan proteksionisme perdagangan AS yang berdampak terhadap rantai pasok dan biaya produksi.
Harga emas dunia turun 0,45 persen ke USD3.098,85 per troy ons. Padahal harga emas sebelumnya mencapai rekor tertinggi pada 31 Maret 2025, dengan harga spot mencapai USD3.128,06 per troy ons.
Sementara harga perak melemah lebih dalam dengan koreksi 1,13 persen menjadi USD31,54 per troy ons. Penurunan juga terjadi pada harga tembaga yang turun 1,06 persen ke USD4,75 per pon. Sementara itu, platinum relatif stabil dengan koreksi tipis 0,02 persen ke USD935,50 per troy ons.
Di sektor logam industri, harga baja di pasar Tiongkok turun 0,22 persen ke CNY3.175 per ton, sejalan dengan harga baja canai panas (HRC Steel) yang terkoreksi 0,22 persen ke USD913,00 per ton.
Harga bijih besi di pasar global melemah 0,07 persen ke USD104,18 per ton, sedangkan harga bijih besi di pasar Tiongkok turun lebih dalam sebesar 0,54 persen ke CNY =743,50 per ton.
Lithium, yang menjadi bahan utama untuk baterai kendaraan listrik, turun 0,27 persen ke CNY73.900 per ton, melanjutkan tren penurunan yang telah berlangsung dalam beberapa bulan terakhir.
Sementara itu, harga titanium justru mengalami kenaikan 1,04 persen ke CNY48,50 per kilogram, menjadi satu-satunya logam yang bergerak positif di tengah pelemahan sektor ini. (*)