Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Efek Tarif Trump, Gelombang Barang Murah China Hantui Dunia

Tarif baru Trump atas impor China mencapai rata-rata 70 persen. Produk-produk murah yang tak terserap pasar AS kini mengancam pasar global yang sudah jenuh.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 04 April 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Efek Tarif Trump, Gelombang Barang Murah China Hantui Dunia Seorang pekerja di sebuah pabrik di Dongguan, Tiongkok. Foto: WSJ.

KABARBURSA.COM - Ketika Presiden Donald Trump kembali melempar tarif jumbo ke China, dunia harus bersiap menghadapi gelombang baru barang-barang murah asal Negeri Tirai Bambu. Nilainya tak main-main—diperkirakan mencapai USD400 miliar atau setara dengan sekitar Rp6.520 triliun yang kini harus cari pasar baru karena pintu Amerika Serikat makin disempitkan.

Mulai 9 April, semua barang impor dari China bakal dikenai tarif rata-rata sebesar 70 persen. Kebijakan ini diumumkan sebagai bagian dari “Hari Pembebasan”—sebutan khas Trump untuk manuver dagang terbarunya. Bagi konsumen dan pelaku usaha di AS, tarif ini artinya satu: harga-harga naik. Mulai dari mainan, elektronik rumah tangga, sampai mesin dan suku cadang industri, semuanya bisa kena imbas kenaikan harga.

Tapi bukan cuma Amerika yang harus bersiap. Para ekonom bilang, tarif setinggi itu juga berpotensi memicu limpahan barang-barang ekspor China ke seluruh dunia—terutama yang tadinya ditujukan ke pasar AS. Akibatnya, pasar global yang sudah jenuh dengan produk China bisa makin sesak. Ini yang disebut sebagai “China shock”. Belakangan sudah mulai memicu reaksi keras dari berbagai negara.

Menurut para analis, efek domino dari perang dagang bisa muncul cepat. Ketika satu negara pasang tarif, negara lain ikut membalas, lalu semua sibuk pasang pagar dagang. Dalam kondisi seperti ini, yang paling repot justru pelaku usaha lintas negara.

“Ledakan yang sebenarnya belum mulai,” ujar profesor keuangan dari Universitas Peking di Beijing, Michael Pettis, dikutip dari The Wall Street Journal, Jumat, 4 April 2025.

Trump juga mengumumkan bahwa tarif serupa bakal dikenakan ke negara-negara lain yang menurut dia “memanfaatkan Amerika”—dengan mengekspor barang ke AS dalam jumlah besar, tapi tetap mempertahankan hambatan impor tinggi di negaranya.

China jelas jadi target utama. Produk impor dari China bakal dikenai bea masuk baru sebesar 34 persen. Itu belum termasuk tarif 10 persen yang udah diberlakukan sejak Februari dan tambahan 10 persen pada Maret. Ditambah lagi dengan warisan tarif era Joe Biden dan periode pertama kepresidenan Trump. Jika diakumulasi, menurut hitung-hitungan para ekonom, tarif rata-rata untuk barang China tembus 70 persen.

Yang jadi masalah, tak semua negara bisa langsung menyerap barang-barang yang tadinya masuk ke pasar AS. Tahun 2024 saja, AS mengimpor sekitar USD440 miliar dari China. Menurut data Biro Sensus dan lembaga perdagangan internasional di bawah PBB dan WTO, China menyumbang:

Pangsa impor AS dari China.

Bahkan 91 persen dari seluruh payung yang dijual di AS itu buatan China.

Meski AS lagi berusaha memutus ketergantungan, tak semua bisa diganti dalam semalam. Banyak perusahaan di AS tetap mengandalkan komponen buatan China untuk produksinya. Jadi, meskipun sebagian produk bisa dialihkan ke pemasok lain, tetap ada ketergantungan yang tak gampang dicabut.

Dunia tak Siap Menampung Limpahan Pabrik China

Penurunan belanja AS terhadap produk China bisa menciptakan tumpukan barang tak terjual yang harus dikirim ke tempat lain. Tapi masalahnya, pasar dunia sudah penuh sesak. Ketegangan dagang antara China dan negara-negara besar bisa makin memanas, apalagi kalau barang-barang yang tadinya buat AS itu dibanting harganya di pasar lain.

Menurut catatan Global Trade Alert—lembaga pemantau kebijakan perdagangan berbasis di Swiss—sejak perang dagang dimulai tahun 2018, China sudah menjadi sasaran hampir 500 penyelidikan dan sanksi antidumping.

Untuk menjaga ekonominya tetap hidup, Presiden Xi Jinping memilih jorjoran di sektor manufaktur dan teknologi canggih. Di tengah krisis properti dan lesunya konsumsi domestik, ekspor jadi tumpuan utama pertumbuhan. Tahun lalu, China bahkan mencatat surplus dagang sebesar USD1 triliun.

Banyak negara kini berupaya melindungi industrinya dari banjir barang murah asal China. Tahun lalu:

  • Brasil menyelidiki jarum suntik, serat optik, dan jaring poliester dari China.
  • Meksiko dan Kanada membuka penyelidikan atas impor aluminium, baja, dan bahan kimia.
  • Inggris merekomendasikan tarif antidumping sampai 84 persen untuk ekskavator China.
  • Uni Eropa menaikkan tarif mobil listrik China karena dianggap disubsidi besar-besaran.


Menurut peneliti senior di Council on Foreign Relations, Brad Setser, yang pernah menjabat di Departemen Keuangan AS, dunia tak punya cukup kapasitas buat menyerap produksi industri China yang begitu masif. “Tidak ada pasar besar lain yang bisa menyerap skala manufaktur China sebesar itu,” katanya.

Satu-satunya cara untuk menurunkan tensi dagang, menurut ekonom, adalah mendorong belanja domestik China agar mereka lebih banyak konsumsi barang sendiri dan mengimpor lebih banyak dari negara lain.

Beijing memang sudah umumkan rencana untuk pinjam dan belanja lebih banyak demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga. Tapi, kata para ekonom, skala tarif baru Trump ini terlalu besar dan China mungkin perlu melangkah lebih jauh—seperti memotong suku bunga, memperluas pinjaman pemerintah, dan membangun lagi kepercayaan konsumen yang hancur akibat krisis properti.

Menurut kepala ekonom China di Citi, Yu Xiangrong, tanpa stimulus tambahan, pertumbuhan ekonomi China tahun ini bisa melorot antara 0,5 sampai 1 persen akibat tarif baru ini.

Pada Kamis, pemerintah China bilang bakal menyiapkan “langkah balasan tegas” terhadap tarif baru ini, meskipun belum merinci seperti apa bentuknya. Sebelumnya, ketika Trump menerapkan tarif serupa, China membalas dengan bea masuk 15 persen atas ayam, gandum, jagung, dan kapas dari AS, serta 10 persen untuk kedelai dan daging sapi. Sejumlah perusahaan AS juga masuk daftar hitam ekspor dan kontrol korporasi.

Kementerian Perdagangan China menegaskan, “Sejarah membuktikan bahwa menaikkan tarif tidak akan menyelesaikan persoalan AS sendiri dan justru akan merugikan ekonomi global.”

Negara lain juga kena imbas. Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Vietnam, dan banyak negara lainnya disasar tarif baru AS hari Rabu. Bahkan negara yang tak masuk daftar target “resiprokal” tetap kena tarif flat 10 persen untuk semua produk yang berlaku mulai 5 April.(*)