KABARBURSA.COM – Pemerintah Indonesia menggelar rapat darurat menyusul keputusan Amerika Serikat (AS) untuk memberlakukan tarif resiprokal terhadap Indonesia. Kebijakan yang diumumkan Presiden AS pada 2 April 2025 ini menetapkan tarif sebesar 32 persen, yang akan mulai berlaku pada 9 April 2025.
“Pengenaan tarif resiprokal AS ini akan memberikan dampak signifikan terhadap daya saing ekspor Indonesia ke AS,” ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso dalam keterangannya di Jakarta, pada Kamis, 3 April 2025.
Terkait dengan produk Indonesia yang bakal terdampak karena akan diekspor ke AS, antara lain: elektronik, tekstil, alas kaki, kelapa sawit, karet, furnitur dan udang.
Agar dapat mengantisipasi dampaknya terhadap sektor terdampak secara nasiona, pemerintah mulai menghitung konsekwensinya dan menyiapkan langkah mitigasi.
Saat ini fokus utama pemerintah adalah menjaga stabilitas pasar keuangan domestik di tengah ketidakpastian global. Oleh karena itu, pemerintah bersama Bank Indonesia menciptakan stabilitas nilai tukar rupiah dan memastikan likuiditas valuta asing agar dapat mendukung sektor usaha dan menjaga stabilitas eonomi secara keseluruhan.
“Pemerintah Indonesia berkomitmen menjaga stabilitas yield Surat Berharga Negara (SBN) di tengah gejolak pasar keuangan global pasca pengumuman tarif resiprokal AS,” tambahnya.
Negosiasi dengan AS dan Koordinasi ASEAN
Susiwijono juga mengungkapkan bahwa sejak awal tahun, pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi untuk menghadapi kebijakan ini.
Tim lintas kementerian dan lembaga, perwakilan Indonesia di AS, serta para pelaku usaha telah melakukan koordinasi intensif untuk menghadapi penerapan tarif tersebut.
Pemerintah bakal mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington DC guna melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah AS. Selain itu, Indonesia telah berkomunikasi dengan Malaysia selaku pemegang Keketuaan ASEAN untuk membahas langkah kolektif, mengingat seluruh negara ASEAN terdampak oleh kebijakan tarif AS.
“Pemerintah Indonesia akan terus melakukan komunikasi dengan Pemerintah AS dalam berbagai tingkatan, termasuk mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk melakukan negosiasi langsung dengan Pemerintah AS,” jelasnya.
Sebagai bagian dari strategi negosiasi, pemerintah juga telah menyiapkan berbagai langkah untuk menjawab permasalahan yang disoroti AS dalam laporan National Trade Estimate (NTE) 2025 yang diterbitkan oleh US Trade Representative.
Reformasi Regulasi dan Peningkatan Daya Saing
Presiden Prabowo Subianto telah memberikan instruksi kepada Kabinet Merah Putih untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam menghadapi dampak tarif ini.
Salah satu kebijakan utama yang akan ditempuh adalah deregulasi, yakni penyederhanaan dan penghapusan regulasi yang dinilai menghambat daya saing, terutama yang berkaitan dengan Non-Tariff Measures (NTMs).
“Presiden Prabowo telah menginstruksikan Kabinet Merah Putih untuk melakukan langkah strategis dan perbaikan struktural serta kebijakan deregulasi, yaitu penyederhanaan regulasi dan penghapusan regulasi yang menghambat,” ujar Susiwijono.
Pemerintah juga akan terus berupaya meningkatkan iklim investasi dan memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional guna menciptakan lebih banyak lapangan kerja.
Negara Paling Terdampak
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali membuat gebrakan di panggung ekonomi global. Kali ini, bukan sekadar retorika, melainkan dengan daftar panjang tarif baru yang diberlakukan terhadap berbagai negara.
Dari China hingga Indonesia, kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Trump dalam pidatonya di Rose Garden, Gedung Putih, menargetkan puluhan negara.
Trump mengklaim langkah ini sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan dalam perdagangan internasional.
"Negara kita telah dijarah, dirampok, bahkan dieksploitasi dalam sistem perdagangan global yang tidak adil," ujarnya.
Pidato tersebut mendapat sambutan meriah dari sebagian pendukungnya, tetapi juga menuai kritik dari para ekonom dan anggota parlemen.
Berdasarkan data resmi yang dipublikasikan melalui akun Instagram @potus, penerapan tarif ini didasarkan pada besarnya defisit perdagangan bilateral AS dengan negara mitranya.
China, sebagai eksportir terbesar ke AS, dikenai tarif sebesar 34 persen, diikuti Vietnam dengan 46 persen. Indonesia juga masuk dalam daftar dengan tarif 32 persen—jauh lebih tinggi dibandingkan tarif normal yang sebelumnya berada di bawah 5 persen.
China menjadi target utama dengan tarif sebesar 34 persen. Angka ini dianggap sebagai “diskon,” mengingat perhitungan awalnya mencapai 67 persen.
Vietnam, yang selama ini dianggap sebagai alternatif bagi investor yang hengkang dari China, justru dikenakan tarif lebih tinggi, yakni 46 persen dari sebelumnya 90 persen. Sementara itu, Indonesia—yang dinilai memiliki hambatan dagang non-tarif cukup besar—ikut masuk daftar dengan tarif 32 persen, turun dari perhitungan awal sebesar 64 persen.
Sejumlah negara tetangga pun tak luput dari kebijakan ini. Malaysia dikenakan tarif 24 persen, Thailand 36 persen, sedangkan Singapura tetap mendapat tarif minimal sebesar 10 persen. Selain itu, Bangladesh (37 persen), Kamboja (49 persen), dan Sri Lanka (44 persen) juga termasuk dalam kategori negara yang terkena tarif tinggi.
Uni Eropa, sebagai blok perdagangan yang memiliki hubungan dagang erat dengan Amerika Serikat, dikenakan tarif sebesar 20 persen. Sementara itu, Jepang dan Korea Selatan masing-masing mendapat tarif 24 persen dan 25 persen. Bahkan negara seperti Australia, Kanada, dan Inggris tetap tidak luput dari kebijakan ini, dengan tarif dasar sebesar 10 persen.
Menariknya, mayoritas negara kecil tetap dikenakan tarif minimum sebesar 10 persen, termasuk negara-negara di kawasan Afrika, Karibia, dan Pasifik Selatan.
Kebijakan ini dapat diartikan sebagai strategi Trump untuk menjaga hubungan diplomatik dengan negara-negara yang secara ekonomi tidak terlalu besar, tetapi memiliki nilai strategis dalam geopolitik. (*)