Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

CELIOS Peringatkan Tarif AS bisa Jadi Mimpi Buruk Rupiah

Ekonom Bhima Yudhistira menilai tekanan terhadap rupiah dan IHSG bisa makin dalam akibat kenaikan tarif dagang dari Presiden AS Donald Trump. Pemerintah diminta segera ambil peluang dan jaga stabilitas.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 03 April 2025 | Penulis: Dian Finka | Editor: Moh. Alpin Pulungan
CELIOS Peringatkan Tarif AS bisa Jadi Mimpi Buruk Rupiah Prden AS Donald Trump. Foto: Instagram @potus.

KABARBURSA.COM – Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menaikkan tarif resiprokal bikin pasar keuangan global terguncang. Di Indonesia, dampaknya bisa sangat nyata, yakni nilai tukar rupiah melemah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terancam terkoreksi pasca-Lebaran

“Pelemahan kurs rupiah diperkirakan berlanjut karena investor akan mencari aset yang lebih aman dan keluar dari negara berkembang,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, dalam keterangan tertulis, Kamis, 3 April 2025.

Bhima menilai, pelemahan rupiah tersebut berisiko memicu imported inflation. Harga barang-barang impor, terutama pangan dan produk sekunder seperti peralatan rumah tangga dan elektronik, akan terdongkrak. Daya beli masyarakat kelas menengah bawah pun terancam ikut terkikis.

Dari sisi pasar modal, Bhima memprediksi tekanan jual akan meningkat usai libur Lebaran. Risiko capital outflow masih tinggi dan dalam skenario terburuk, bukan tak mungkin terjadi trading halt jika panic selling melanda.

Namun di tengah badai tarif ini, ia menilai Indonesia justru bisa memanfaatkan peluang relokasi industri dari negara-negara yang terkena tarif tinggi. Tapi syaratnya tidak bisa semata mengandalkan tarif yang lebih rendah dibanding negara tetangga seperti Vietnam dan Kamboja.

Bhima menekankan pentingnya reformasi regulasi yang konsisten, penyederhanaan perizinan, serta stabilitas kebijakan domestik. Wacana-wacana kontroversial seperti RUU Polri dan RUU KUHAP, menurutnya, sebaiknya ditunda dulu demi menjaga iklim investasi.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya kesiapan infrastruktur industri, ketahanan energi dari sumber terbarukan, dan pengembangan sumber daya manusia untuk mendorong daya saing jangka panjang. Ruang untuk memberikan insentif fiskal pun dinilai terbatas karena keberlakuan Global Minimum Tax, yang membuat negara-negara tak lagi bisa bebas bersaing lewat insentif pajak.

Namun dari sisi moneter, Indonesia dinilai masih punya ruang manuver. Bank Indonesia disebut Bhima masih memiliki cadangan devisa yang cukup untuk melakukan operasi pasar dan menjaga stabilitas nilai tukar. Bahkan, ruang untuk menurunkan suku bunga acuan dinilai terbuka demi memberi stimulus ke sektor riil yang terpukul dampak perang dagang.

“Bank Indonesia masih punya ruang untuk operasi moneter, saat cadangan devisa gemuk. BI bahkan bisa turunkan suku bunga acuan 50 bps, untuk stimulus sektor riil yang terdampak perang dagang,” kata Bhima.

Analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, memprediksi IHSG bakal mengalami tekanan cukup dalam saat perdagangan dibuka kembali pada Senin, 8 April 2025. Ia memperkirakan indeks berpotensi terkoreksi antara dua hingga tiga persen. “IHSG kemungkinan besar akan mengalami penurunan 2 sampai 3 persen dalam perdagangan hari Senin (08/04),” ujar Ibrahim dalam keterangannya, Kamis, 3 April.

Tak hanya pasar saham yang terancam tertekan, nilai tukar rupiah juga diperkirakan ikut terbawa arus sentimen negatif. Menurut Ibrahim, jika kondisi terus memburuk, rupiah bisa menyentuh kisaran Rp16.900 per dolar AS, bahkan membuka kemungkinan ‘pecah telur’ di level psikologis Rp17.000. 

Sebagai respons atas tekanan ini, Ibrahim menyarankan agar pemerintah tidak tinggal diam. Ia mendorong agar Indonesia mengambil langkah setara, yakni dengan menerapkan tarif balasan sebesar 32 persen, sama seperti yang dikenakan AS terhadap produk-produk asal Indonesia.

Namun, di luar tindakan balasan semata, Ibrahim juga mendorong pemerintah untuk segera mencari pasar ekspor alternatif. Sebagai anggota BRICS, katanya, Indonesia memiliki peluang memperluas jaringan perdagangan di luar pasar tradisional seperti Amerika Serikat. “Supaya tadinya ekspor Indonesia ke AS mengalami surplus, itu dialihkan,” katanya.

Rudal Tarif Menghantam Banyak Negara

Beberapa negara yang terkena dampak tarif Trump. Foto: Instagram @potus.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebelumnya resmi mengumumkan daftar panjang tarif baru yang disodorkan ke negara-negara dunia. Dari China hingga Indonesia, puluhan negara ditetapkan sebagai target kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Trump dalam pidatonya di Rose Garden, Gedung Putih.

Trump menyebut kebijakan ini sebagai upaya mengembalikan keadilan dalam perdagangan internasional. “Negara kita telah dijarah, dirampok, diperkosa, dan dijadikan korban dalam sistem dagang global yang timpang,” kata Trump dalam pidato yang mengundang tepuk tangan sebagian pendukungnya, namun juga kritik keras dari sejumlah ekonom dan anggota parlemen.

Menurut data resmi yang diunggah akun Instagram @potus, tarif baru diberlakukan berdasarkan besarnya defisit perdagangan bilateral AS dengan negara mitranya. China, sebagai eksportir terbesar ke Amerika, ditetapkan mendapat tarif sebesar 34 persen. Vietnam menyusul dengan 46 persen. Indonesia tak luput dari daftar, dikenakan tarif sebesar 32 persen—angka yang jauh lebih tinggi dibanding tarif normal yang sebelumnya berkisar di bawah 5 persen.

Daftar ini bukan asal tunjuk. Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) bahkan menyusun perhitungan matematis untuk menetapkan tarif resiprokal tersebut. Rumusnya adalah:

Δτᵢ = (xᵢ - mᵢ) / (ε * φ * mᵢ)


Artinya, besaran perubahan tarif ditentukan oleh selisih antara ekspor dan impor masing-masing negara terhadap AS, dikalikan dengan dua parameter teknis, yakni elastisitas permintaan impor (ε) dan tingkat pengaruh tarif terhadap harga (φ). Jika suatu negara memiliki surplus besar terhadap AS, maka tarifnya akan tinggi, karena dianggap mengambil keuntungan lebih banyak dari pasar AS.

Menurut ringkasan dokumen USTR, parameter ε ditetapkan sebesar 4, sedangkan φ sebesar 0,25. Data ekspor dan impor digunakan dari statistik tahun 2024. Dengan pendekatan ini, tarif resiprokal yang ditetapkan bervariasi antara 10 persen hingga 99 persen. Rata-rata tarif secara global mencapai 41 persen bila dihitung berdasarkan volume impor.

China menjadi sasaran utama dalam perang dagang ini. Negeri Tirai Bambu itu dikenakan tarif 34 persen. Tarif ini disebut “diskon” karena nilai awal perhitungan mencapai 67 persen. Vietnam yang selama ini dipandang sebagai alternatif bagi banyak investor yang keluar dari China, ternyata kena lebih besar, yakni 46 persen dari semula 90 persen. Indonesia, yang dianggap memiliki hambatan dagang non-tarif cukup tinggi, juga masuk daftar dengan angka 32 persen, turun dari hitungan mentah sebesar 64 persen.

Beberapa negara tetangga juga tak lepas dari jeratan. Malaysia dikenai tarif 24 persen, Thailand 36 persen, sementara Singapura tetap mendapat tarif minimal 10 persen. Negara-negara seperti Bangladesh (37 persen), Kamboja (49 persen), dan Sri Lanka (44 persen) juga masuk kategori “dijatuhi tarif tinggi”.