KABARBURSA.COM - Pasar keuangan global terguncang pada Kamis pagi waktu Asia, hanya beberapa jam setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi mengumumkan tarif baru sebesar 10 persen untuk seluruh mitra dagang AS—kecuali Kanada dan Meksiko. Tak hanya itu, tarif tambahan yang lebih tinggi diberlakukan terhadap puluhan negara mitra utama lainnya, seperti China, Uni Eropa, Jepang, bahkan Indonesia.
Reaksi pasar berlangsung cepat. Kontrak berjangka indeks S&P 500, yang memungkinkan investor memperdagangkan indeks di luar jam perdagangan normal, langsung anjlok lebih dari tiga persen. Di Asia, indeks acuan di Jepang rontok lebih dari tiga persen, sementara indeks Hang Seng di Hong Kong dan Kospi Korea Selatan masing-masing jatuh hampir dua persen.
Dalam pidato yang disampaikan langsung dari Rose Garden di Gedung Putih pada Rabu waktu setempat, Trump menyatakan akan menerapkan tarif dasar sebesar sepuluh persen terhadap seluruh impor, ditambah tarif khusus terhadap negara-negara tertentu. Sebagai contoh, barang dari China akan dikenakan tarif tambahan sebesar tiga puluh empat persen di atas tarif dua puluh persen yang sudah berlaku sebelumnya. Barang dari Uni Eropa terkena tarif dua puluh persen, sedangkan produk asal Jepang dikenakan tarif dua puluh empat persen.
Pasar jelas tidak mengantisipasi angka setinggi itu. Banyak analis masih sibuk mencari tahu dari mana angka-angka tersebut berasal. “Saya pikir angka-angka ini mengejutkan dibandingkan dengan ekspektasi publik dan cukup sulit dijelaskan. Saya rasa ini sebuah bencana,” kata Kepala Strategi Makro di Academy Securities, Peter Tchir, dikutip dari The New York Times, Kamis, 4 April 2025.
Pemerintahan Trump menyatakan mereka telah menyesuaikan perhitungan tarif dengan mempertimbangkan dugaan manipulasi mata uang serta hambatan perdagangan lain, meskipun dasar analisisnya menuai tanda tanya. “Trump sedang mengajak perang dagang dengan negara-negara ini,” ujar Andrew Brenner dari National Alliance Securities. “Ini konyol. Tidak ada pemahaman soal dampaknya terhadap negara lain, dan justru akan menyakiti AS sendiri.”
Volatilitas memang sudah menjadi makanan sehari-hari pasar dalam beberapa pekan terakhir. Investor terus diombang-ambingkan oleh sinyal campur aduk dari Gedung Putih soal kebijakan perdagangan. Bahkan sebelum tarif resmi diumumkan, indeks Nikkei 225 Jepang sudah menyentuh area koreksi pada Senin.
Dan Kamis pagi, pasar Jepang kembali terperanjat. Tarif sebesar dua puluh empat persen terhadap produk Jepang jelas membuat Tokyo kelimpungan. Padahal, rata-rata tarif Jepang terhadap barang non-pertanian hanya sekitar dua koma empat persen—salah satu yang paling rendah di dunia. Ketidakpastian ini membuat investor kesulitan mengukur dampak nyata terhadap konsumen, bisnis, hingga ekonomi secara keseluruhan.
Menurut analis Fitch Ratings, Olu Sonola, tarif rata-rata AS terhadap semua impor kini melonjak dari dua koma lima persen pada 2024 menjadi 22 persen. “Ini benar-benar mengubah permainan, tidak hanya untuk ekonomi AS, tapi juga global,” katanya. “Banyak negara kemungkinan besar akan masuk ke jurang resesi. Semua proyeksi bisa dibuang ke tong sampah.”
Sejak puncaknya pada Februari, indeks S&P 500 telah turun 7,7 persen. Dari 19 Februari hingga akhir Maret, sepuluh dari sebelas sektor saham di AS melemah. Indeks Nasdaq yang dipenuhi saham teknologi ambles hampir 13 persen sejak Desember. Indeks Russell 2000 yang berisi perusahaan-perusahaan kecil bahkan anjlok lebih dari 16persen dari puncaknya di bulan November.
Saham perusahaan teknologi dan eksportir otomotif di Asia ikut terseret. Saham Honda dan Toyota masing-masing anjlok lebih dari 4 persen, sementara Samsung Electronics di Korea Selatan turun hampir 3 persen.
Nikkei 225 sudah turun lebih dari 11 persen sejak awal tahun. Analis memprediksi penguatan yen terhadap dolar akan makin menekan profit para eksportir Jepang. Sementara itu, harga emas—safe haven klasik—melonjak 19 persen sepanjang kuartal pertama 2025, kenaikan kuartalan terbesar sejak 1986.
Di Indonesia, analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, memprediksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bakal mengalami tekanan cukup dalam saat perdagangan dibuka kembali pada Senin, 8 April 2025. Ia memperkirakan indeks berpotensi terkoreksi antara dua hingga tiga persen. “IHSG kemungkinan besar akan mengalami penurunan 2 sampai 3 persen dalam perdagangan hari Senin (08/04),” ujar Ibrahim dalam keterangannya, Kamis, 3 April.
Tak hanya pasar saham yang terancam tertekan, nilai tukar rupiah juga diperkirakan ikut terbawa arus sentimen negatif. Menurut Ibrahim, jika kondisi terus memburuk, rupiah bisa menyentuh kisaran Rp16.900 per dolar AS, bahkan membuka kemungkinan ‘pecah telur’ di level psikologis Rp17.000.
Sebagai respons atas tekanan ini, Ibrahim menyarankan agar pemerintah tidak tinggal diam. Ia mendorong agar Indonesia mengambil langkah setara, yakni dengan menerapkan tarif balasan sebesar 32 persen, sama seperti yang dikenakan AS terhadap produk-produk asal Indonesia.
Namun, di luar tindakan balasan semata, Ibrahim juga mendorong pemerintah untuk segera mencari pasar ekspor alternatif. Sebagai anggota BRICS, katanya, Indonesia memiliki peluang memperluas jaringan perdagangan di luar pasar tradisional seperti Amerika Serikat. “Supaya tadinya ekspor Indonesia ke AS mengalami surplus, itu dialihkan,” katanya.
Ironisnya, meski tarif biasanya identik dengan inflasi, pasar obligasi justru mencerminkan kekhawatiran akan perlambatan ekonomi. Yield obligasi jatuh dan dolar AS melemah ketika Trump menyampaikan pidatonya. Sebagian investor berharap pengumuman tarif akan membawa kejelasan. Namun, harapan itu pupus. “Ketidakpastian ini telah ‘melumpuhkan’ investor, konsumen, dan pelaku usaha,” kata George Goncalves dari MUFG Securities. “Aktivitas ekonomi makin melambat.”
Mandy Xu dari Cboe Global Markets menambahkan, harga opsi saham menunjukkan konsensus pasar bahwa volatilitas tidak akan reda dalam waktu dekat. “Investor tidak lagi melihat tarif sebagai risiko sekali waktu, tapi sebagai risiko yang selalu hadir,” kata Xu.(*)