KABARBURSA.COM — Pengamat mata uang Ibrahim Assuabi mengatakan bahwa pengumuman tarif baru oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang dijadwalkan nanti malam berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap berbagai instrumen keuangan, termasuk nilai tukar rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), serta harga emas dunia.
Menurut Ibrahim, Indonesia yang selama ini memiliki surplus dalam perdagangan dengan Amerika Serikat akan turut merasakan dampaknya. "Ketika Trump mengumumkan tarif baru, kemungkinan besar akan ada pergerakan signifikan pada Rupiah dan IHSG. Selain itu, harga emas yang sebelumnya sempat melemah juga berpotensi mengalami penguatan kembali," ujarnya ketika dihubungi Kabarbursa.com, Rabu, 2 April 2025.
Adapun, saat ini nilai tukar rupiah telah melemah ke level Rp16.730 per dolar AS. Ibrahim memprediksi bahwa setelah pengumuman tarif tersebut, IHSG kemungkinan besar akan dibuka dalam kondisi melemah pada perdagangan tanggal 7 atau 8 mendatang.
"Perang dagang ini memang melelahkan bagi pasar. Sejak Trump terpilih menjadi Presiden AS hingga kini, nilai dolar terus menguat dan memberikan tekanan negatif pada IHSG serta Rupiah. Namun, sebaliknya, harga emas global justru menunjukkan tren penguatan," katanya.
Terkait kondisi pasar yang sangat fluktuatif, Ibrahim menyarankan kepada para investor agar tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi. Ia menilai bahwa apabila IHSG mengalami koreksi tajam, maka itu bisa menjadi momen yang tepat untuk melakukan pembelian saham, terutama pada sektor-sektor yang memiliki fundamental kuat seperti perbankan, ritel, teknologi, dan komoditas.
"Sektor e-commerce juga menjadi salah satu yang berpotensi mendapatkan keuntungan dari situasi ini. Sebelumnya, sebelum libur Lebaran, Dana asing masuk ke dalam nilai cukup besar, kalau enggak salah Rp1,9 triliun. Artinya bahwa investor asing pun juga menunggu saham-saham di Indonesia (ketika mengalami penurunan)," tambahnya.
Meski demikian, Ibrahim tetap mengingatkan bahwa kondisi pasar masih sangat tentatif. "Pengumuman tarif oleh Trump nanti malam bisa membawa dampak yang cukup luar biasa, terlebih Bursa Efek Indonesia belum dibuka hingga tanggal 7 atau 8. Kekhawatiran terbesar adalah kemungkinan koreksi pasar yang bisa mencapai lebih dari 3 persen," jelas Ibrahim.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dijadwalkan mengumumkan kebijakan tarif timbal balik baru pada hari Rabu, 2 April 2025, yang berpotensi mengguncang sistem perdagangan global yang berbasis aturan selama beberapa dekade terakhir. Kebijakan ini diperkirakan akan meningkatkan biaya impor dan memicu tindakan balasan dari mitra dagang utama AS.
Pengumuman Tarif "Hari Pembebasan"
Melansir Reuters, rincian tarif "Hari Pembebasan" masih dalam tahap finalisasi dan dijaga ketat sebelum pengumuman resmi di Taman Mawar Gedung Putih pada pukul 16.00 waktu setempat (20.00 GMT).
Menurut juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, tarif ini akan mulai berlaku segera setelah diumumkan, sementara tarif 25 persen untuk impor mobil akan diberlakukan pada 3 April.
Trump menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menyamakan tarif AS yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan tarif yang dikenakan oleh negara lain serta menangkal hambatan non-tarif yang merugikan ekspor AS. Namun, format tarif tersebut masih belum jelas, meskipun ada laporan yang menyebutkan kemungkinan pemberlakuan tarif universal sebesar 20 persen.
Seorang mantan pejabat perdagangan pemerintahan Trump menyatakan bahwa kebijakan tarif baru ini kemungkinan besar akan diterapkan secara komprehensif dengan tarif yang lebih rendah untuk setiap negara. Sementara itu, Menteri Keuangan Scott Bessent sebelumnya menyebutkan bahwa tarif timbal balik ini akan dikenakan kepada lebih dari 15 negara dengan surplus perdagangan tinggi terhadap AS.
Dampak Ekonomi dan Respons Global
Diberitakan juga oleh Reuters, Ryan Majerus, mantan pejabat Departemen Perdagangan AS, menyatakan bahwa meskipun tarif universal lebih mudah diterapkan dan dapat meningkatkan pendapatan negara, kebijakan tarif individu akan lebih spesifik dalam menargetkan praktik perdagangan yang dianggap tidak adil oleh AS.
Sejak menjabat kembali, Trump telah menerapkan tarif 20 persen untuk semua impor dari China terkait fentanyl dan mengembalikan tarif 25 persen pada baja dan aluminium. Tarif baru ini akan meningkatkan biaya impor secara signifikan, terutama bagi negara-negara seperti Meksiko dan Kanada. Sebagai contoh, mobil buatan Meksiko yang sebelumnya dikenakan tarif 2,5 persen kini akan dikenai tarif fentanyl dan sektor otomotif, sehingga total tarif mencapai 52,5 persen ditambah tarif timbal balik tambahan yang mungkin diberlakukan.
Langkah ini meningkatkan ketidakpastian di kalangan investor, konsumen, dan bisnis, yang dapat menghambat aktivitas ekonomi dan meningkatkan inflasi. Para ekonom di Federal Reserve Bank of Atlanta mengungkapkan bahwa tarif baru ini diperkirakan akan menaikkan harga produk sekaligus mengurangi perekrutan tenaga kerja dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Pasar saham AS telah mengalami tekanan akibat kebijakan ini, dengan nilai pasar yang berkurang hampir 5 USD triliun sejak pertengahan Februari. Investor saat ini masih menunggu kepastian dari pengumuman Trump pada hari Rabu.
Tindakan Balasan dari Mitra Dagang
Sejumlah negara, termasuk Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko, juga telah mengancam akan menerapkan tarif pembalasan terhadap produk AS. Perdana Menteri Kanada Mark Carney dan Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum dalam pertemuan mereka hari Selasa membahas kemungkinan langkah-langkah untuk menghadapi kebijakan perdagangan AS yang dinilai tidak adil.
"Dengan masa-masa yang menantang di depan, Perdana Menteri Carney dan Presiden Sheinbaum menekankan pentingnya menjaga daya saing Amerika Utara sambil menghormati kedaulatan masing-masing negara," demikian pernyataan dari kantor Carney yang dikutip.
Perusahaan AS juga mengeluhkan bahwa kebijakan "Beli Kanada" telah mempersempit akses mereka ke pasar Kanada. Trump sendiri berpendapat bahwa kebijakan tarifnya bertujuan untuk melindungi industri domestik dari dampak negatif perdagangan bebas yang selama ini dianggapnya merugikan pekerja dan produsen Amerika.
Namun, para ekonom memperingatkan bahwa tarif tinggi ini justru dapat berdampak buruk bagi perekonomian AS dan dunia. Menurut Laboratorium Anggaran Universitas Yale, tambahan tarif sebesar 20 persen di atas yang sudah ada akan meningkatkan beban rumah tangga AS sebesar USD3.400 per tahun. (*)