KABARBURSA.COM - Pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini mengguncang pasar energi global. Trump mengancam akan menerapkan tarif sekunder sebesar 25 persen hingga 50 persen terhadap negara mana pun yang membeli minyak dari Rusia, kecuali jika Moskow menyetujui gencatan senjata dalam konflik Ukraina.
Trump menyatakan bahwa jika ia menilai Rusia bersalah, ia akan memberlakukan tarif sekunder pada semua minyak dari negara tersebut. Ia juga menegaskan bahwa perusahaan yang membeli minyak dari Rusia tidak akan diizinkan untuk berbisnis di Amerika Serikat. Trump menyampaikan pernyataan tersebut dengan nada emosional dan mengaku merasa kesal atas komentar Vladimir Putin terhadap Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy.
Tarif Sekunder: Alat Tekanan atau Bumerang?
Kebijakan ini tampak strategis, bahwa AS ingin menekan Rusia secara tidak langsung dan memaksa negara lain untuk meninggalkan pasokan energi dari Moskow. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini menimbulkan banyak permasalahan.
Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, mempertanyakan bagaimana Amerika Serikat akan memastikan bahwa suatu negara membeli minyak dari Rusia. Apakah semua mitra dagang AS harus membuka data kontrak energi mereka? Keraguan serupa juga disampaikan oleh William Reinsch dari Center for Strategic and International Studies, yang menilai kebijakan ini masih belum jelas secara teknis.
Syafruddin juga menilai langkah ini bisa menjadi bumerang bagi ekonomi global, terutama bagi negara-negara berkembang yang bergantung pada energi murah.
"Jika AS memaksakan tarif sekunder ini, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Rusia, tetapi juga akan mengganggu keseimbangan pasar energi dunia dan mempersulit negara berkembang yang sangat bergantung pada minyak murah," ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Senin 31 Maret 2025.
Lebih berbahaya lagi, kebijakan ini membuka babak baru dalam penggunaan hegemoni ekonomi AS untuk mengatur kebijakan luar negeri negara lain. “Ini bukan lagi tentang memerangi Rusia, tetapi tentang mengendalikan pasar global lewat jalur energi,” tambah dia.
Dilema Negara Berkembang
Bagi negara-negara berkembang seperti India, kebijakan ini menempatkan mereka dalam dilema. India telah menjadi pembeli utama minyak mentah Rusia, mencapai 35 persen dari total impor minyaknya pada 2024. Minyak Rusia ditawarkan dengan harga diskon besar, yang sangat menguntungkan untuk menjaga inflasi dan stabilitas fiskal.
Jika India harus menghindari minyak Rusia demi menghindari tarif AS, maka harga energi dalam negeri akan naik drastis. Situasi yang sama bisa terjadi di banyak negara Global South. Negara-negara ini tertekan antara kebutuhan energi murah dan risiko kehilangan akses ke pasar AS.
Indonesia sendiri bukan pembeli langsung minyak Rusia dalam jumlah besar, tetapi sangat rentan terhadap dampak global. Lonjakan harga minyak akibat gejolak pasar dapat meningkatkan beban subsidi BBM, memperlemah nilai tukar rupiah, dan pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat.
"Indonesia harus bersiap menghadapi ketidakpastian pasar energi global. Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, negara berkembang seperti kita harus mencari strategi diversifikasi energi agar tidak terlalu bergantung pada satu sumber,” tambah Syafruddin.
Industri Manufaktur Dalam Negeri
Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi mengumumkan tarif baru sebesar 25 persen untuk mobil impor. Gedung Putih mengklaim kebijakan ini bertujuan mendorong pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri. Namun, di sisi lain, langkah ini juga bisa menjadi tekanan finansial bagi para produsen mobil yang selama ini bergantung pada rantai pasok global.
“Kebijakan ini akan terus mendorong pertumbuhan,” ujar Trump kepada wartawan, dikutip dari AP di Jakarta, Kamis, 27 Maret 2025. “Kita akan benar-benar mengenakan tarif 25 persen.”
Gedung Putih memperkirakan tarif ini akan menghasilkan pemasukan sebesar USD100 miliar (Rp1.650 triliun dengan kurs Rp16.500) setiap tahun. Tapi, pelaksanaannya diprediksi tidak akan mudah karena pabrikan mobil asal AS pun menggunakan suku cadang dari berbagai negara.
Kenaikan pajak yang mulai berlaku April nanti bisa menambah beban biaya bagi pabrikan dan membuat harga jual naik, sementara Trump bersikeras tarif ini justru akan membuka lebih banyak pabrik di Amerika dan mengakhiri sistem rantai pasok “konyol” yang selama ini melibatkan produksi komponen dan perakitan kendaraan di AS, Kanada, dan Meksiko.
Untuk menegaskan keseriusannya, Trump berkata, “Ini bersifat permanen.”
Setelah pengumuman ini, saham General Motors langsung merosot sekitar 3 persen dalam perdagangan Rabu. Saham Ford sedikit menguat. Sementara saham Stellantis—pemilik merek Jeep dan Chrysler—terpeleset nyaris 3,6 persen.
Trump sejak lama menyebut tarif mobil impor sebagai salah satu pilar utama kebijakan ekonominya. Ia yakin tarif akan memicu relokasi produksi ke dalam negeri sekaligus mempersempit defisit anggaran. Tapi dalam praktiknya, baik produsen dalam negeri maupun luar negeri sudah memiliki pabrik di berbagai penjuru dunia demi melayani pasar global dan menjaga harga tetap bersaing. Membangun pabrik baru di Amerika, seperti yang dijanjikan Trump, tentu butuh waktu bertahun-tahun. (