KABARBURSA.COM – Gempa bumi berkekuatan 7,7 dan 6,4 magnitudo melanda Myanmar di bagian tengah negara tersebut, barat laut Sagaing. Kantor Koordinasi Bantuan PBB (OCHA) melaporkan pada Sabtu, 29 Maret 2025, bahwa rumah sakit di area tersebut kewalahan dengan kerusakan besar pada infrastruktur kesehatan.
Wilayah yang terdampak meliputi Bago, Magway, Mandalay, Nay Pyi Taw, Shan Timur Laut, dan Sagaing.
Komunikasi internet terputus di kota utama Mandalay, dengan jalur darat dan udara mengalami gangguan berat.
Mitra kesehatan bersiap untuk mengerahkan tim bedah dan medis keliling, serta rumah sakit lapangan ke area terdampak, untuk memberikan intervensi medis yang menyelamatkan nyawa bagi para korban gempa.
Laporan berita mengindikasikan bahwa ratusan orang terjebak di bawah reruntuhan di beberapa bangunan yang runtuh, termasuk setidaknya 50 pekerja konstruksi di ibu kota Thailand, Bangkok, yang hingga kini belum ditemukan.
Lebih dari 90 orang dilaporkan terjebak di reruntuhan satu blok apartemen di Mandalay.
Sekitar 1.690 rumah, 670 biara, 60 sekolah, dan tiga jembatan dilaporkan rusak, dengan kekhawatiran terhadap integritas struktural bendungan-bendungan besar.
Myanmar telah terjerat dalam perang sipil brutal sejak penindakan militer yang keras terhadap demonstran pro-demokrasi oleh otoritas militer, yang menggulingkan pemerintah dalam kudeta militer pada Februari 2021.
Militer telah meminta komunitas internasional untuk memberikan bantuan darurat di tengah kehancuran dan kehilangan nyawa yang meluas. Sementara itu, pasukan oposisi melaporkan bahwa beberapa serangan udara terus berlanjut setelah gempa, termasuk satu di wilayah Sagaing.
Potensi Kerugian Ekonomi
Gempa bumi tersebut tidak hanya menelan korban jiwa yang signifikan tetapi juga diperkirakan akan memberikan dampak ekonomi yang luar biasa besar.
Gempa tersebut menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur vital, termasuk jembatan, jalan raya, bandara, dan jaringan komunikasi. Kota Mandalay, sebagai kota terbesar kedua di Myanmar, mengalami dampak terberat dengan banyak bangunan yang runtuh dan fasilitas umum yang tidak dapat berfungsi.
Hingga Minggu, 30 Maret 2025, jumlah korban tewas akibat gempa ini telah meningkat drastis. Pihak berwenang Myanmar melaporkan setidaknya 1.644 orang meninggal dunia, 3.408 orang terluka, dan 139 lainnya masih dinyatakan hilang. Kota Mandalay menjadi salah satu area yang paling terdampak, dengan banyak bangunan runtuh dan infrastruktur rusak parah.
Meskipun angka pasti mengenai kerugian ekonomi belum tersedia, Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) memperkirakan bahwa kerugian ekonomi akibat gempa ini dapat melampaui Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan Myanmar, yang pada tahun 2024 tercatat sebesar USD64,2 miliar, mengingat jumlah korban jiwa diperkirakan dapat melebihi 10.000 orang.
Sebelum bencana ini, ekonomi Myanmar sudah berada dalam kondisi rentan akibat dampak dari kudeta militer pada tahun 2021 dan bencana banjir yang melanda pada tahun 2024. Bank Dunia bahkan memproyeksikan kontraksi ekonomi sebesar 1% untuk tahun fiskal berjalan sebelum gempa terjadi.
Dengan tambahan kerugian dari gempa ini, tantangan ekonomi Myanmar semakin kompleks. Pemerintah Myanmar telah mengumumkan keadaan darurat dan meminta bantuan internasional untuk menangani krisis ini. Negara-negara seperti China, Rusia, India, Korea Selatan, dan Uni Eropa telah mengirimkan tim penyelamat dan bantuan kemanusiaan.
Dampak ekonomi dari gempa ini diperkirakan akan dirasakan dalam jangka panjang, mengingat besarnya kerusakan pada infrastruktur dan gangguan terhadap aktivitas ekonomi. Para ahli menekankan pentingnya upaya rekonstruksi yang cepat dan efektif untuk memulihkan perekonomian Myanmar dan mencegah dampak sosial yang lebih luas.
Respons Bantuan PBB Meningkat
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berupaya mengirimkan Tim Medis Darurat (Emergency Medical Teams/EMT) ke Myanmar menyusul laporan tentang kurangnya pasokan medis, termasuk peralatan trauma untuk merawat korban luka, kantong darah untuk transfusi, anestesi, alat bantu, obat-obatan esensial lainnya, dan tenda bagi tenaga kesehatan.
Marcoluigi Corsi, Pejabat Koordinator Residen dan Kemanusiaan PBB untuk Myanmar, mengeluarkan pernyataan pada Sabtu yang menyatakan solidaritasnya yang mendalam kepada rakyat Myanmar "selama masa tragis ini."
"PBB dan mitranya segera bergerak untuk mendukung upaya tanggap darurat dan siap membantu semua masyarakat yang terkena dampak di mana pun mereka berada," ujarnya.
Myanmar sebelumnya telah "terpukul oleh krisis kemanusiaan yang mengkhawatirkan, sebagian besar disebabkan oleh konflik yang terus-menerus dan bencana berulang. Pada saat kritis ini, rakyat Myanmar sangat membutuhkan dukungan teguh dari komunitas internasional," tambahnya.
Dalam wawancara dengan UN News dari Yangon, kota terbesar di Myanmar, Corsi mengatakan bahwa sekitar 20 juta orang telah terdampak oleh gempa tersebut.
Ia menekankan bahwa PBB dan lembaga mitra memiliki "kehadiran signifikan" di area yang terkena bencana di sekitar Mandalay dan ibu kota Naypyidaw, dan yang terpenting, upaya bantuan segera dapat memanfaatkan stok yang sudah ada di tempat.
"Saya akan mengatakan bahwa meskipun tantangan logistik untuk beberapa hari pertama terus berlanjut, setidaknya kami akan dapat memberikan dan membantu," ungkap Corsi.
Negara ini sedang menghadapi berbagai krisis, tegasnya, dengan 19,9 juta orang membutuhkan bantuan bahkan sebelum gempa bumi terjadi. Hanya lima persen dari rencana tanggap kemanusiaan 2025 yang telah didanai.
Ia mengingatkan bahwa rakyat Myanmar telah mengalami banjir besar sekitar tujuh bulan lalu, dan siklon dahsyat pada tahun 2023. “Sehingga kami melihat bahwa ketahanan masyarakat dan komunitas terus terkikis,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pada saat kritis ini, rakyat Myanmar membutuhkan dukungan dari seluruh komunitas internasional, sekarang lebih dari sebelumnya. (*)