Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Sepanjang 2025, Modal Asing Kabur Rp32,02 Triliun

Tekanan tersebut terjadi di tengah situasi ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 29 March 2025 | Penulis: Deden Muhammad Rojani | Editor: Yunila Wati
Sepanjang 2025, Modal Asing Kabur Rp32,02 Triliun Ilustrasi Danantara asing keluar dari Indonesia.

KABARBURSA.COM – Bank Indonesia (BI) mencatat tekanan serius terhadap aliran modal asing di pasar saham domestik sepanjang tahun 2025. Berdasarkan data setelmen hingga 26 Maret, investor nonresiden melakukan penjualan bersih (net sell) senilai Rp32,02 triliun dari pasar saham Indonesia.

“Selama tahun 2025, berdasarkan data setelmen s.d. 26 Maret 2025, nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp32,02 triliun di pasar saham, serta beli neto sebesar Rp16,08 triliun di pasar SBN dan Rp10,98 triliun di SRBI,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso, Jumat, 28 Maret 2025.

Tekanan tersebut terjadi di tengah situasi ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian. Kinerja pasar saham domestik pun sempat terguncang, termasuk munculnya aksi jual agresif pada pekan ketiga bulan Maret yang menyebabkan IHSG tertekan signifikan dan memicu penghentian perdagangan sementara (trading halt).

Ramdan menambahkan, pada periode 24–26 Maret, nonresiden mencatatkan beli neto Rp1,93 triliun, terdiri dari beli neto Rp2,63 triliun di pasar saham, jual neto Rp0,51 triliun di pasar SBN, serta jual neto Rp0,19 triliun di SRBI. Namun secara kumulatif, sepanjang 2025 arus modal asing di pasar saham tetap negatif.

Pada hari Rabu, 26 Maret 2025, nilai tukar Rupiah ditutup pada posisi Rp16.575 per dolar AS. Sementara pada pembukaan Kamis, 27 Maret 2025, Rupiah sedikit melemah ke Rp16.590 per dolar AS. Tekanan terhadap mata uang nasional juga tercermin dari penguatan indeks dolar AS (DXY) ke level 104,55 dan kenaikan yield US Treasury 10 tahun ke 4,352 persen.

Sementara itu, yield SBN 10 tahun pada Kamis pagi tercatat turun ke 7,09 persen, memberikan sinyal adanya penyesuaian risiko di pasar surat utang negara. Namun, premi risiko Indonesia meningkat. 

“Premi CDS Indonesia 5 tahun per 26 Maret 2025 sebesar 90,84 bps, naik dibanding dengan 21 Maret 2025 sebesar 90,41 bps,” ujar Ramdan.

Sebelumnya, Bank Indonesia juga mencatatkan bahwa sepanjang 17–20 Maret 2025, modal asing yang keluar dari pasar saham mencapai Rp4,78 triliun. Selama periode itu, investor asing melakukan jual neto Rp4,25 triliun, dengan rincian beli neto Rp1,20 triliun di SBN dan jual neto Rp0,67 triliun di SRBI.

Pada akhir perdagangan 20 Maret 2025, Rupiah ditutup melemah di level Rp16.470 per dolar AS, dan dibuka lebih rendah pada hari berikutnya. Penguatan DXY ke 103,85 serta turunnya yield UST ke 4,237 persen menandakan peningkatan minat terhadap aset safe haven, seiring ketegangan geopolitik dan prospek suku bunga global.

Dari sisi data historis, Bank Indonesia sebelumnya mencatat bahwa hingga 6 Maret 2025, investor asing masih melakukan pembelian bersih cukup signifikan, yakni Rp20,12 triliun di pasar saham, Rp19,01 triliun di SBN, dan Rp6,11 triliun di SRBI. Namun, tren tersebut berbalik arah dalam dua pekan terakhir bulan Maret.

Ramdan menjelaskan bahwa dinamika tersebut menunjukkan pembalikan sentimen yang tajam, dipicu oleh ketidakpastian global termasuk arah kebijakan suku bunga bank sentral AS (The Fed), serta meningkatnya risiko geopolitik di beberapa kawasan strategis dunia.

Untuk menjaga stabilitas pasar keuangan domestik, Bank Indonesia menegaskan komitmennya dalam memperkuat strategi bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran. 

“Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia,” jelas Ramdan.

Bank Sentral juga menekankan pentingnya menjaga ketersediaan likuiditas di pasar valas dan surat berharga, serta melakukan intervensi secara terukur di pasar spot, DNDF, dan SBN. Upaya ini diarahkan untuk mengurangi gejolak nilai tukar, menstabilkan ekspektasi pasar, serta menjaga kepercayaan investor terhadap aset keuangan dalam negeri.

Situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan otoritas moneter, terutama dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan menarik kembali minat investor asing. 

Sementara Bank Indonesia menyatakan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih siap dalam menghadapi tekanan global dibandingkan kondisi saat krisis moneter 1998. Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M. Juhro, menyampaikan bahwa pembenahan besar-besaran telah dilakukan sejak krisis Asia, mencakup perbaikan regulasi dan penguatan sistem pengawasan.

“Situasi yang kita hadapi sekarang sangat berbeda dengan tahun 1998. Setelah krisis keuangan Asia, kita melakukan banyak reformasi kebijakan, termasuk dari sisi regulasi dan pengawasan,” ujar Solikin.

Ia menyoroti bahwa pada 1998, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi tajam dari Rp2.500 ke lebih dari Rp16.000 per dolar AS, inflasi melonjak hingga 77 persen, dan ekonomi nasional mengalami kontraksi sekitar 13 persen. Saat ini, di tengah gejolak global, Indonesia masih mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi sekitar 4 persen.

Menurut Solikin, ketahanan sistem keuangan saat ini diperkuat oleh pemanfaatan instrumen makroprudensial yang terintegrasi serta koordinasi kebijakan yang solid melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Ia menegaskan bahwa stabilitas sektor keuangan tetap terjaga secara menyeluruh.

Data yang dirilis Bank Indonesia menunjukkan performa sektor keuangan yang sehat. Kredit perbankan tumbuh 10,30 persen secara tahunan pada Februari 2025. Pertumbuhan tertinggi tercatat pada kategori “lain-lain” sebesar 29,41 persen, diikuti industri pengolahan 11,45 persen dan perdagangan 7,22 persen. Dana pihak ketiga juga terus mengalami peningkatan, memperkuat peran intermediasi perbankan.

Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan berada pada level 27,01 persen, mencerminkan kekuatan modal untuk menghadapi risiko. Sementara itu, risiko kredit tetap terkendali dengan rasio kredit bermasalah (NPL) bruto sebesar 2,18 persen dan neto 0,79 persen.

Di sisi lain, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih menunjukkan perlambatan. Pertumbuhan kredit UMKM hanya sebesar 3,37 persen secara tahunan dan bahkan lebih rendah menjadi 2,51 persen di awal 2025. Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) tercatat baru mencapai Rp42,74 triliun dari target Rp280 triliun sepanjang tahun ini.

Permintaan domestik menjadi faktor yang tetap mendukung. Kinerja sektor korporasi tetap positif, dengan tren pertumbuhan penjualan yang berlanjut meskipun moderat. Belanja modal masih menunjukkan ekspansi dan rasio cakupan bunga (Interest Coverage Ratio) berada di atas 2,0. Jumlah perusahaan dengan rasio di bawah 1,0 pun semakin berkurang.

Sementara itu, indikator ekspektasi rumah tangga juga menunjukkan optimisme. Indeks keyakinan konsumen pada kelompok pengeluaran di atas Rp5 juta mencapai 158,88, kelompok Rp4 juta ke atas di 145,73, dan kelompok Rp1 juta ke atas di 139,87.

Rasio Loan at Risk (LAR) rumah tangga juga mencatatkan penurunan, menjadi 13,99 persen. Penurunan ini terutama terjadi pada kredit konsumsi 11,82 persen, kredit kendaraan bermotor 9,32 persen, KPR 4,82 persen, serta kredit peralatan rumah tangga 4,02 persen.

Kendati indikator ekonomi makro dan keuangan menunjukkan tren positif, terdapat kekhawatiran dari sebagian pihak terhadap persepsi menurunnya kredibilitas Bank Indonesia. Hal ini menjadi sinyal perlunya komunikasi yang lebih terbuka dan penguatan koordinasi kebijakan dari otoritas moneter.

Solikin menegaskan bahwa BI sedang menyusun kerangka penanganan krisis yang menyeluruh, termasuk untuk mengantisipasi risiko dari luar sektor ekonomi, seperti ancaman dari sisi teknologi dan digitalisasi.

“Dengan landasan hukum seperti Undang-Undang P2SK dan peraturan turunannya, kita memiliki struktur kebijakan yang kuat. BI meyakini tekanan yang muncul belakangan ini hanya bersifat sementara dan tidak menggambarkan adanya kelemahan struktural dalam ekonomi nasional,” pungkasnya. (*)