KABARBURSA.COM — Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) mengatakan bahwa pertumbuhan kredit sepanjang tahun 2025 akan diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun tetap berada dalam kisaran pertumbuhan positif.
Ketua Bidang Pengembangan Kajian Ekonomi Perbankan (PKEP) Perbanad, Dr. Aviliani, mengatakan pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan akan berada di level 10,6 persen ±1,0 persen (year on year/yoy) sepanjang tahun ini. Merujuk pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tentang rata-rata pertumbuhan kredit pada 2024 yang tercatat sebesar 10,4 persen (yoy).
Sementara pada Januari 2025, pertumbuhan kredit mencapai 10,3 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Tren ini sesuai dengan perkiraan Perbanas yang memperkirakan pertumbuhan kredit tahun ini akan lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.
Selain faktor struktural seperti daya beli, menurut Aviliani, ketidakpastian ekonomi juga menjadi variabel penting yang memengaruhi laju kredit. Hal ini tercermin dari pertumbuhan kredit tahun 2023 yang lebih rendah dibandingkan 2024, akibat sikap "wait and see" pelaku ekonomi menjelang Pemilu 2024. Namun, setelah kepastian kemenangan Prabowo dalam satu putaran pada Februari 2024, pertumbuhan kredit kembali stabil dan mencapai dua digit.
Lebih lanjut, Perbanas berharap momen Ramadan dapat menjadi katalisator pertumbuhan kredit pada Maret 2025. Berdasarkan tren tahun sebelumnya, periode Maret-April mencatat pertumbuhan kredit tertinggi dalam setahun, berkisar antara 12 persen hingga 13 persen.
“Momentum Ramadan selalu mendorong peningkatan konsumsi dan belanja masyarakat, yang secara historis berdampak positif pada pertumbuhan kredit. Kami berharap pola ini dapat kembali terjadi tahun ini,” tambahnya.
BI Suntik Rp291,8 Triliun
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa hingga minggu kedua Maret 2025, Bank Indonesia telah menyalurkan insentif Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) sebesar Rp291,8 triliun kepada berbagai kelompok bank. Dari total insentif tersebut, bank-bank BUMN menerima Rp125,7 triliun, Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Rp132,8 triliun, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Rp27,9 triliun, dan Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) Rp5,4 triliun.
“Insentif ini dialokasikan ke berbagai sektor prioritas seperti pertanian, real estate, perumahan rakyat, konstruksi, perdagangan, manufaktur, transportasi, pergudangan, pariwisata, ekonomi kreatif, serta pembiayaan bagi UMKM, Ultra Mikro, dan sektor hijau,” jelas Perry dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan kredit juga didukung oleh kinerja penjualan korporasi yang tetap positif. Berdasarkan kelompok penggunaan, kredit investasi tumbuh sebesar 14,62 persen (yoy), kredit modal kerja naik 7,66 persen (yoy), dan kredit konsumsi meningkat 10,31 persen (yoy).
Sementara itu, pembiayaan berbasis syariah juga mengalami pertumbuhan sebesar 9,15 persen (yoy), sedangkan kredit untuk UMKM mencatatkan pertumbuhan sebesar 2,51 persen (yoy). Ke depan, Bank Indonesia berkomitmen untuk terus mendorong penyaluran kredit melalui kebijakan makroprudensial yang lebih akomodatif. Salah satunya adalah dengan meningkatkan batas KLM dari sebelumnya 4 persen menjadi 5 persen dari total DPK yang mulai berlaku pada 1 April 2025.
BI memastikan ketahanan sektor perbankan tetap solid guna menjaga stabilitas sistem keuangan. Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) pada Februari 2025 tercatat berada di level 26,32 persen, mencerminkan kondisi likuiditas yang masih cukup baik.
Dari sisi permodalan, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan tetap tinggi di angka 27,01 persen pada Januari 2025. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) perbankan masih terjaga dengan baik, berada di level 2,18 persen (bruto) dan 0,79 persen (neto).
Perry juga menegaskan bahwa hasil stress-test yang dilakukan BI menunjukkan sistem perbankan Indonesia tetap memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi berbagai potensi risiko. BI pun akan terus memperkuat koordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk memastikan stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh.
Kebijakan Beri Dampak Langsung
Sejumlah kebijakan ekonomi Presiden Prabowo Subianto dinilai dapat berdampak langsung terhadap sektor perbankan.
Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo mengatakan, optimalisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi faktor yang paling signifikan karena berhubungan langsung dengan ekspansi kredit produktif bagi UMKM.
“Perluasan KUR dapat meningkatkan total kredit yang disalurkan perbankan, tetapi juga berpotensi meningkatkan Non-Performing Loan (NPL) jika tidak disertai mitigasi risiko yang baik,” kata Arianto saat dihubungi Kabarbursa.com, Senin 24 Februari 2025.
Dia melanjutkan, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan peningkatan bansos akan berpengaruh pada daya beli masyarakat, yang dapat mendorong pertumbuhan kredit konsumtif seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA) dan kartu kredit.
Arianto menyoroti bahwa optimalisasi KUR dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan memperluas akses kredit bagi UMKM. Namun, jika persyaratan KUR diperlonggar tanpa pengawasan yang ketat, moral hazard bisa muncul, di mana kredit dialokasikan kepada usaha yang kurang layak atau digunakan untuk konsumsi daripada modal usaha.
“Peningkatan penyaluran KUR yang tidak diimbangi dengan evaluasi kapasitas bayar debitur dapat memperburuk rasio loan at risk, yang bisa berdampak negatif terhadap profitabilitas perbankan dan stabilitas sistem keuangan nasional,” ujar dia.
Lebih lanjut, program stimulus ekonomi seperti PPN DTP Otomotif dan diskon tarif listrik diprediksi akan meningkatkan konsumsi rumah tangga dalam jangka pendek. Namun, dampaknya terhadap ekspansi kredit perbankan bergantung pada kesinambungan daya beli masyarakat.
Jika stimulus hanya menciptakan lonjakan konsumsi sesaat tanpa meningkatkan pendapatan jangka panjang, pertumbuhan kredit perbankan akan lebih terkonsentrasi di sektor konsumtif tanpa dorongan yang kuat terhadap kredit modal kerja atau investasi.
Arianto juga menilai bahwa kenaikan UMP dan belanja bansos berpotensi meningkatkan daya beli masyarakat, tetapi di sisi lain menghadirkan tantangan bagi perbankan dalam mengelola likuiditas.(*)